blog visitors

Nafsu Terlarang 3

Agak siangan Deni sampai. Ibunya senang sekali bertemu anak semata wayang kesayangannya ini. Tapi Deni nampak lesu. Menjawab seadanya. Bahkan saat ibunya menjelaskan kalau project kantor ayahnya sukses dan klientnya sangat puas sehingga menginginkan perusahaan ayahnya mengurus project baru di daerah secepatnya. Ayahnya terpaksa harus menetap sementara di daerah itu selama sebulan ke depan. Baru tadi pagi ayahnya berangkat, menyesal tak bisa bertemu Deni. Namun Deni tak terlalu antusias. Deni cuma bilang ia capek habis menempuh perjalanan, mau tidur dulu, meninggalkan ibunya yang rada bingung. Deni masuk ke dalam kamarnya. Ia berbaring sambil berpikir, sebulan lebih yang menakjubkan sudah usai. Deni terus berpikir...lama, menjelang sore ia mantap, keluar kama mencari ibunya...nah itu dia

”Bu...Deni, mau ngomong sebentar..penting.”
“Iya..ngomong saja, kamu kayak pejabat saja gayanya. Ayo bicaralah, ibu dengarkan.”
”Eh..be...besok Deni tak mau masuk sekolah lagi.”
”HAH...? Kenapa, kamu ada masalah di sekolah sebelum kenaikan dulu yangibu tak tahu...?”
”Ti...tidak, bukan itu bu. Maksud Deni, Deni tak mau masuk sekolah lagi. Deni mau sekolah di kampung.”
”Lho...lho ada apa ini, bukannya biasanya kamu tak terlalu suka kehidupan di kampung ibu. Ada apa sih, ibu tak paham.”

Dan memang Santi bingung sama perubahan sikap anaknya yang mendadak ini. Ia menunggu jawaban Deni.

”Begini bu...Deni jenuh di Jakarta. Liburan yang lama di kampung kemarin telah membuka mata Deni. Di sana ternyata menyenangkan. Lingkungannya asik, orangnya ramah dan bersahabat. Juga Deni sempat melihat sekolah di sana, sepertinya bagus. Lagian memang Deni sangat kerasan dan menyukai kehidupan di sana. Pindhin sekolah Deni ya bu.”
”Wah..wah...nggak bisa semudah itu nak. Ibu harus berdiskusi sama ayahmu. Tak bisa mendadak. Lagipula ibu sendiri keberatan. Sudh kamu pikirkan dulu, mungkin in hanya perasaan sesat karena kamu baru saja menghabiskan waktu di sana.”
”Nggak. Pokoknya harus. Kalau tak mau...Deni tak mau sekolah lagi.”

Deni nyelonong pergi, memanting pintu kamarnya. Santi membiarkan sudah hafal tabiat anak semata wayangnya ini kalau lagi ngambek. Bingung dia memikirkan hal ini, mana suaminya lagi dinas keluar. Santi paham adat Deni, kalau dia sudah bilang tak akan sekolah, maka itu betul – betul akan dilaksanakannya. Santi bingung, kenapa anaknya mendadak kepingin sekali sekolah di kampung. Santi lalu mengambil HP-nya menelepon suaminya, menceritakan permasalahan, setelah berunding, mereka sepakat untuk membujuk Dni mengatakan alasan yang sebenarnya, pemikirn mereka, pasti deni ada masalah di sekolahnya yang tak mereka ketahui. Suaminya menyerahkan urusan ini sepenuhnya kepada Santi.

Senin ini Santi menelepon kantornya, alasan sakit. Ia sengaja tak masuk kerja, bertekad membujuk Deni. Dan memang Deni keras dengan niatnya, ia benar – benar tak masuk sekolah. Deni tak mengurung diri dalam kamar, tapi dibujuk dan dirayu bagaimanapun jawaban anak itu sama, nggak mau sekolah di Jakarta, pindah sekolah titik. Sampai lelah ibunya membujuk. Sepanjang hari. Jawaban Deni tak berubah. Malamnya Santi menyerah. Sulit, adat anaknya keras. Deni sudah tidur, Santi duduk melamun.

Santi bukannya tak mau anaknya sekolah di kampung, tapi jujur saja, Deni anak satu – satunya. Kalaupun memang dalam menempuh pendidikannya Deni harus pisah darinya, boleh, tapi nanti semasa Deni masuk bangku kuliah. Tidak di masa SMA. Santi sangat tidak mau berpisah dengan anaknya. Lagian alasan anaknya mengenai sekolah di kampung tak masuk akal, nggak, itu bukan alasan sebenarnya. Pasti terjadi sesuatu hal yag luar biasa pada anaknya selama ia berlibur di kampung...ya di kampung...semua jawaban ada di sana.

Besoknya Santi masuk kerja. Membiarkan anaknya, biar saja dulu. Dikantor Santi mengurus ijin selama 3 hari, Rabu sampai Jumat. Senin baru ia masuk kerja. Malamnya ia memanggil Deni, Santi bilang sebenarnya ia tak enak meninggalkan Deni sendirian, tapi ibu ada tugas kantor penting selma 3 hari, keluar kota. Deni bilang tak masalah. Santi meninggalkan sejumlah uang untuk jajan dan makan Deni. Di kulkas juga banyak bahan makanan kok. Sama sekali ibunya tak menyinggung soal sekolahnya, membuat Deni rada BeTe. Ibunya pura – pura cuek, memilih masuk kamar, tidur. Dan paginya Santi sudah berada di bis yang akan membawanya ke kampungnya.

Deni berbaring di kamarnya, ia rindu sama bibi Ratna dan bi Lasmi, terutama bi Ratna, mengenang moment – moment panas mereka. Memang dulu ia suka membayangkan ibunya, tapi setelah melewatkan masa indah bersama bi Ratna, kini bi Ratna adalah segalanya buat Deni. Harus...pokoknya aku harus bisa pindah sekolah di sana. Biar bisa dekat kembali dengan bibinya. Deni lalu tidur ditemani mimpi indahnya tentang bi Ratna. Selama 3 hari ditinggal pergi, Deni hanya di rumah saja tak keluyuran seperti biasa. Teman sekolahnya memang menelepon HP-nya, menanyakan kabarnya yang tak masuk sekolah, juga diminta tolong sama wali kelasnya untuk mengecek, Deni bohong saja, bilang sedang sakit, waktu sohibnya bialng mau datang jenguk, Deni bohong, saat ini ia di kampung ibunya. Deni mengakhiri pembicaraan dengan bilang tolong titip kabar ke wali kelasnya, setelah sembuh ia akan segera masuk. Deni mulai gusar lagi. Ini sudah hari Jumat, belum ada kepastian mengenai kepindahan sekolahnya....

Jumat siang, Santi sudah berada di bis yang membawanya ke Jakarta. Lelah dan tertekan. Santi memejamkan mata, memikirkan apa yang ia dapat 3 hari ke belakng. Jawaban yang ia dapatkan sangatlah mengejutkannya. Awal ia datang, tentu teteh dan adiknya menyambut gembira, tak ada hal yang aneh dengan kedatangannya. Ia memutuskan menginap di rumah adiknya Ratna. Waktu ia menceritakan perihal Deni yang aneh tak mau sekolah lagi di Jakarta, lalu mau pindah sekolah di sini, juga menanyakan apa mereka tahu apa yang terjadi selama liburan, teteh dan adiknya nampak aneh. Sepintas wajar saja saat mereka bilang tak ada masalah. Tapi ia amat mengenal kedua saudarinya ini, juga nalurinya mengatakan ada yang aneh di sini. Cara keduanya menjawab sangat dibuat – buat. Ia bertekad berusaha sekuat tenaga mencari tahu jawabannya. Cari teh Lasmi sulit, ia juga tak mungkin mendesak tetehnya, sangat sulit. Paling mungkin adiknya Ratna, hubungan mereka sangat dekat. 2 hari pertama Ratna masih menjawab dengan jawaban yang sama, ditanya macam apapun tetap sama jawabannya. Mungkin memang Deni sendiri yang tahu jawabannya, ya sudahlah nanti ia akan coba membujuk Deni untuk berterus terang. Akhirnya malam harinya, seperti biasa kalau lagi ada kesempatan ia mengajak bicara adiknya, bukan membahas soal Deni, membahas urusan si Ratna, biar bagaimanapun Santi itu kakaknya, berkewajiban mengetahui rencana masa depan adiknya.

”Rat..gimana, belum mau berumah tangga lagi...?”
”Alah si teteh, ada – ada saja nanyanya. Itu melulu yang ditanyakan”
”Ya nggaklah, kan kamu juga harus mikirin si Ucil.”
”Maksud teteh apa...?”
”Iyalah..si Ucil kan butuh sosok ayah.”
”Ah itu mah nggak harus selalu begitu, toh Ratna menyayanginya sepenuh hati. Soal biaya juga nggak masalah, kan teteh juga sudah tahu.”

Santi diam, membenarkan tidak, membantahpun tidak.

”Ya sudah, kalau buat Ucil tak masalah, gimana sama kamu...?”
” Maksudnya...”
”Alah kamu suka begitu Rat. Memangnya kamu sudah nggak butuh gituan, ayo deh sama teteh jujur saja, ngomongnya vulgar juga nggak kenapa...nggak ada orang ini, bebas ngomong yang jorok hehehe.”
”Ah, jadi malu deh...ya jujurnya sih umurnya Ratna masih doyan ngewek, tapi itu kan caranya nggak melulu mesti dengan kawin. Memuaskan diri banyak caranya”

Santi agak mengernyitkan keningnya, jawaban adiknya tak bisa ia benarkan, mana mungkin ia mau membiarkan adiknya menyalurkan hasratnya sembarangan.

”Ya ampun Ratna, kalau maksud kamu dengan kumpul kebo ya teteh Santi nggak bakalan setuju.”
”Bukan itu teh..maksud Ratna. Kan kita bisa eh...memuaskan sendiri, biar tak maksimal, lumayan bisa nurunin tegangan hehehe.”
”Bisa saja kamu. Ya, teteh sih masih berharap kamu mau berumah tangga, tapi pilihlah calon yang baik dan sesuai, jangan kayak si Wawan geblek itu.”
”Ya pastilah teh. Asli itu mah pengalaman pahit. Geblek banget tuh lelaki, orangtuanya mampu, bisa menyekolahkan dia, bisa memberikan pekerjaan malah disia – siakan. Sudah foya – foya melulu, doyan ngewek sembarangan, mending kalau becus, nafsu doang gede...huh paling sebel kalau sudah ngebahas dia.”

Santi nyengir, memang adiknya ini selalu marah kalau membahas si Wawan. Perkataan Ratna terakhir tadi membuatnya sedikit teringat masalah Deni. Ia pun kembali berucap, serius juga sedikit guyon biar adiknya nggak marah terus. Ratna masih emosi

”Itulah...makanya teteh sedih banget si Deni nggak mau sekolah, berkeras mau pindah. Teteh keberatan, lain halnya kalau si Deni sudah kuliah. Kalau masih SMA di Jakarta saja. Tapi sekarang tuh anak tak mau sekolah. Teteh nggak mau tuh anak kayak si Wawan, orangtuanya mau menyekolahkan tapi si Deni menyia – nyiakan.”
”Nggaklah teh. Mana bisa si Deni disamain sama si Wawan. Si Deni mah anak baik, sekolahnya pinter nggak bego kayak si Wawan. Lagian si Deni ngeweknya juga lebih pintar dari....”

Ratna tak menyelesaikan ucapannya. Dia memang emosi banget tiap membahas si Wawan, lagianngapain juga tetehnya nyamain si Deni sama si Wawan. Ratna yang sayang sama keponakannya tentu membelanya dengan penuh semangat dan emosi. Saking semangatnya sampai kebablasan. Ekspresi muka Ratna kini seperti orang salah tingkah. Sedang Santi yang sudah hapal karakter adiknya tahu banget kalau ekspresi adiknya sudah seperti ini, maka ada rahasia yang adiknya sembunyikan. Sementara Ratna salah tingkah, Santi memandangnya dengan ekspresi pemuh minat...

”Rat...teteh dengar kata – katamu yang terakhir walau tak kamu selesaikan. Kamu nggak usah bohong, teteh sudah tahu kalau sekarang gayamu seperti ini maka ada suatu rahasia yang kamu sembunyikan. Gimana kamu bisa ngomong dan bisa menilai kalau si Deni ngeweknya lebih pintar, jelas ada sesuatu yang tak teteh ketahui...nah sekarang kamu ceritakan saja semuanya dari awal sejujurnya...”

Dan meski adiknya Ratna mencoba berkelit, akhirnya mengalir juga penjelasannya dari awal, sungguh membuat Santi sangat terkejut, sangat tak menyangka. Ratna hanya diam saja setalah memberikan penjelasan. Sementara Santi juga diam, selain terkejut, otaknya juga mulai bisa merangkai serpihan – serpihan jawaban yang tadinya terpencar, mulai bisa memahami alasan Deni. Mau marah juga sulit, di satu sisi Deni anaknya, di sisi lain ada Ratna, adiknya. Ratna memang telah berterus terang, tapi Ratna tidak jujur sepenuhnya, Ratna memilih untuk tidak melibatkan atau membawa nama teh Lasmi, bisa tambah runyam urusannya. Agak lama berdiam diri, Ratna memulai kembali percakapan.

”Teh, jadi begitulah ceritanya. Eh..ma..maafin Ratna yah teh.”
”Untuk apa...? Ini bukan masalah dimaafkan atau tidak, semuanya telah terjadi. Kenapa Rat...? Kenapa..? Den...Deni itu kan keponakanmua sendiri...apa tidak ada lelaki lain...?”
”Teh...sungguh...awalnya Ratna juga menolak. Terserah teteh mau percaya atau tidak, tapi itu benar. Tapi yang namanya laki dan perempuan dalam satu rumah...akhirnya apapun bisa terjadi. Be..benar Ratna ini bibinya, tapi kalau digoda dan juga dari Ratna sendiri memang ada kebutuhan...ya..eh...itu akhirnya terjadi.”
”Tidak harus terjadi kalau kau bisa menahan diri dan menolak secara sungguh – sungguh.”

Santi memandang adiknya tersebut. Hatinya marah, namun juga menyadari, sesalah apapun Ratna, tetap saja ia harus bisa objectif, Santi juga memikirkan kemungkinan lainnya, ya anaknya sendiri Deni, biar bagaimanapun sedang dalam usia yang sedang puncak – puncaknya penasaran mengenai wanita dan seks. Yang satu sedang penasaran, yang satu laginya juga punya kebutuhan...klop ketika mereka bertemu. Tak peduli kalaupun itu tak boleh dilakukan.

”Teh...Ratna tak akan atau tak bisa bilang kalau Ratna menyesalinya..nggak..nggak bisa. Biar bagaimanapun sebagai wanita, Ratna mengakui kalau ratna menikmatinya. Diri ratna mendapatkan rasa nyaman. Teteh boleh bilang ini edan, tapi jelas dengan eh Deni, Ratna menemukan sesuatu yang telah lama hilang. Bukan hanya urusan eng...seks semata, tapi juga melibatkan rasa nyaman, rasa senang, hati Ratna bahagia. Setelah sakit karena perlakuan kasar si Wawan, entahlah..Ratna merasakan Deni telah mengobatinya.”
”Cukup Rat. Cukup...jangan kau teruskan perkataanmu. Teteh memang memikirkan keadaanmu yang terluka dan terpuruk akibat rumah tangga yang berantakan karena ulah suamimu yang tak bertanggung jawab itu. Berharap kau bisa bangkit lagi, tetapi jelas bukan sama anakku.”
”Iya teh. Ratna sadar itu tak mungkin. Ratna hanya mengungkapkan kalau saat itu Ratna bahagia. Bagi Ratna walau hanya sebentar, tapi saat itu telah membahagiakan Ratna. Mungkin setelah ini teteh akan benci sama ratna, tak mau ketemu lagi, Ratna bisa menerimanya, tapi tolong jangan salahkan Deni. Ini bukan salahnya sepenuhnya, Ratnalah yang pantas disalahkan.”
Santi hanya diam saja, adiknya nampak bersungguh – sungguh dengan perkataannya yang terakhir. Bahkan kini Ratna nampak menahan air matanya. Berat buat Santi untuk memutuskan atau memikirkan apa yang mau ia lakukan atau katakan selanjutnya. Ia berdiri, menuju dapur, membuat 2 cangkir teh. Dirinya perlu menyegarkan diri. Ia membuat teh. Setelah selesai ia membawanya ke sofa, ditaruhnya di meja. Satu untuknya satu untuk Ratna. Ia meminumnya, hanya mengangguk memberi tanda pada adiknya juga untuk minum. Setelah minum teh, Santi merasa lebih segar dan mulai bisa berpikir lebih jernih. Ia diam sebentar untuk berpikir. Ratna hanya diam sambil memegang cangkir tehnya. Akhirnya Santi memulai bicara.

”Rat, seperti yang tadi teteh bilang, semua sudah terjadi. Jelas teteh kecewa. Sangat. Tapi juga sadar, anak teteh pasti juga punya andil dalam kesalahan ini. Pasti, teteh yakin mengingat usianya yang puber. Biar bagaimanapun kamu adik teteh, selain kamu hanya ada teh Lasmi yang tersisa, tak mungkin teteh memutuskan hubungan.”
”I..iya teh.”
”Tapi kini masalahnya adalah si Deni.”
”Den..Deni teh..? Maksudnya..?”
”Selain masalah sekolahnya, ada hal lain yang teteh harus pikirkan setelah mendengar pengakuanmu. Kamu dan teteh sama – sama tahu, kalau kita sudah merasakan dan menikmati enaknya ngewek, pasti akan mau lagi dan lagi. Ibarat orang yang sudah terbiasa merokok atau ngopi, kalau tak ketemu rokok atau kopi, pasti rasanya tak enak. Kamu paham kan..?”
”I..iya teh.”

Ratna meminum kembali tehya, kembali berbicara.

”Dan Deni telah melakukan sesuatu yang seharusnya belum waktunya ia lakukan. Jelas sudah membuatnya terbiasa. Alasannya mau pindah sekolah pasti karena itu. Kini sulit untuk teteh. Kalaupun ada sisi baiknya dalam hal ini, paling tidak Si Deni itu mengenal hubungan seks bukan dari pelacur dan sejenisnya. Namun tetap saja setelah merasakan enaknya hubungan seks, tubuhnya akan dan sudah terbiasa, pasti mau lagi, teteh khawatir anak itu...eh...bakalan mencari kepuasan melalui pelacur. Seumurannya belum mengerti resiko dan bahayanya.”
”Teh....benar juga kata teteh...”
”Ya...ini masalah yang harus dipikirkan. Soal sekolahnya, teteh akan berusaha membujuknya. Oh ya, Rat, tolong ceritakan lagi...jangan malu, ini penting. Kalau teteh mau bicara sama Deni, teteh perlu pahami dan mengerti jelas situasinya. Nah, kamu bilang tadi si Deni ngeweknya lebih pintar...eh, mana bisa si Rat. Dia itu anak baru gede...baru mau 17...?”

Ratna wajahnya bersemu merah, malu juga dia menceritakan hal ini, tapi tetehnya benar, tetehnya perlu kejelasan. Kalau tetehnya mau membujuk keponakannya buat kembali bersekolah dan juga agar tidak melakukan hal yang beresiko, maka tetehnya perlu segala informasi.

”Eh...gimana ya teh...aduh...anu...”
”Sudah jangan gugup begitu, ceritakan saja....”
”Ba..baik...eh begini teh, memang sih awalnya si Deni itu eh..per..perjaka, masih hijau, tapi karena eh...giat belajarnya jadi pintar. Bakat juga sih....”
”Iya, gurunya kamu sih. Terus ada lagi..?”
”Eh se..selain itu, teteh mungkin tak akan paham, tapi eh kont01nya itu sangat eh mengesankan. Sulit menolaknya, makanya ratna juga sampai melakukan hal ini.”
”Ah...itu sih kamu terlalu berlebihan. Mungkin kamu saja yang sudah lama nggak ngewek, makanya pas ketemu pelampiasannya jadi berlebihan menilainya. Sudah...sudah, soal itunya si Deni, nggak perlu dibahas.”

Ratna menghela nafs, lelah, banyak yang masih harus ia pikirkan. Ia butuh istirahat.

”Rat, teteh nggak bisa ngomong banyak lagi, semua sudah terjadi. Tapi tolong....tolong untuk ke depannya, tahan dirimu, jangan kamu lakukan lagi sama anakku. Teteh anggap ini hanyalah gairah sesaat saja...seiring waktu baik kamu atau Deni akan melupakannya, akan menemukan lagi jalannya yang baru. Paham...?”
”Pa..paham teh.”
”Satu hal lagi, setelah ini, jangan kamu hubungi Deni. Biar saja, dia tahunya teteh sedang dinas kantor. Bukan ke kampung. Jangan kau bocorkan kalau teteh sudah tahu hal ini. Awas kalau kamu telepon dia. Urusan ini biar teteh yang selesaikan. Sudah, besok pagi teteh pulang. Sekarang mau tidur dulu.”
”Teh...sekali lagi, maafin Ratna.”

Santi tak menjawab, hanya mengangguk kecil lalu masuk ke kamar. Dan sekarang Santi kembali membuka matanya. Bis sudah memasuki tol dalam kota, sebentar lagi ia akan sampai di rumah. Dia masih bingung harus bagaimana, satu hal tak mungkin ia memberitahu suaminya mengenai masalah ini. Bisa runyam urusannya. Memang ia seharusnya marah besar pada adiknya Ratna. Tapi ikatan di antara mereka juga membuatnya tak mampu marah secara berlebihan. Selain itu ia memakai rasionya juga...urusan ini terlepas dari masalah Ratna adalah bibi sedang Deni keponakan, sebenarnya simpe...sangat simple...ini semata karena masalah kont01 dan m3mek saja. Yang pria yaitu anaknya, memandang dan menilai Ratna dengan segala daya tariknya, yang wanita yaitu Ratna memandang dan menilai Deni dengan segala daya tariknya. Waktu dan tempat mendukung. Ketika segala rangsangan dan nafsu sudah bicara maka yang namanya etika, adat, moral, tidak boleh, tidak pantas dan sejenisnya akan masuk tong sampah. Memang ia menyalahkan Ratna juga, tapi juga tetap ada bagian dalam diri Santi yang membelanya, biar bagaimanapun andil Deni pasti besar. Dia tahu anaknya punya adat dan kemauan. Santi yakin sekali Ratna yang walaupun menyimpan hasrat dan gairah yang terpendam pasti di awalnya menolak, dan anaknya pasti akan membujuk dan berusaha terus samapi akhirnya Ratna tergoda. Insting Santi sangat yakin akan hal itu, makanya dia tak bisa terlalu menyalahkan Ratna. Ya...memang ia sedikit beruntung, karena Ratna kelepasan bicara maka akhirnya semuanya terungkap.

Menjelang sore Santi sudah di rumah, istirahat. Deni, di kamarnya masih ngambek. Santi memutuskan tak akan membicarakan hal itu hari ini terlalu lelah. Sabtu siang, ia mengajak Deni ke mall, menyenangkan hati anaknya. Malamnya Santi masih berusaha membujuk anaknya untuk sekolah dan tak usah pindah sekolah, tapi ya itulah Deni masih berkeras. Santi sengaja tak mau menyinggung atau membeberkan kalau ia sebenarnya sudah tahu yang terjadi. Santi masih berusaha, tak ada hasil. Santi maih bersabar, memilih menutup hari ini dahulu. Besok ia akan berusaha lagi, dan kalau gagal, baru ia akan mendesak Deni dengan fakta yang ia ketahui.

Minggu siang dia melihat Deni sedang menonton TV. Dia pikir dia akan coba bujuk anak kesayangannya itu lagi.

”Den, besok kamu sekolah ya sayang...”
”Bu, ngapaon sih bahas hal itu lagi. Kan sudah jelas, Deni nggak mau. Deni baru akan sekolah lagi kalau pindah sekolah di kampung. Bosan deh ibu terus saja begitu padahal sudah tahu maunya Deni.”

Ya..sudah, anak ini terlalu keras kemauannya...sudah waktunya anak ini diberi terapi, Santi membatin.

” Ibu tahu itu, dan ibu belum rela kamu tinggalkan. SMA ya di Jakarta saja. Alasan kamu pindah sekolah juga terlalu mengada – ada.”
”Nggak. Memang itu alasannya.”
”Den..dengar ya, kemarin ibu 3 hari itu bukan dinas kantor. Ibu pergi ke kampung mencari tahu kenapa kamu sampai berniat sekali pindah sekolah.”

Deni agak kaget mendengar hal ini, tapi masih PeDe kalau ibunya tak akan tahu alasan sebenarnya. Dia masih kukuh sama kemauannya.

”Terus kenapa ? Nah, Deni rasa setelah ibu ke kampung, ibu akan setuju sama alasan Deni kan ? Sekolah di sana lebih enak, juga sekolahnya bagus, hawanya sejuk,orangnya bersahabat, pemandangannya bagus, nggak sumpek kayak di Jakarta.”

Deni memandang ibunya dengan menantang. Yakin akan mampu membuat ibunya mengabulkan keinginannya. Ibunya menghela nafas, memndang wajahnya sejenak sebelum berbicara....

”Dan kamu bisa ngewek sama bi Ratna, begitu kan alasanmu yang sebenarnya ?”

Duaaarrr....Deni membisu, wajahnya pucat. Ibu....ibu tahu...gimana caranya ? Masa sih bi Ratna bisa membocorkan hal kayak gini. Hei...hei tunggu, tadi ibu hanya berkata bi Ratna. Nampaknya ibu tak tahu soal bi Lasmi. Baik...jadi aku harus waspada, jangan sampai ibu tahu hal itu. Tapi kenapa sampai bi Ratna bicara...aduh gimana sih bi Ratna. Tapi ya...ini kan ibu, biar bagaimanapun caranya pasti ibu akan berusaha cari tahu, pasti ibu mendesak atau memarahi bi Ratna sampai akhirnya ia mengakui hal ini. Deni masih diam. Ibunya kembali bicara....

”Nah betul kan...? Den..kok kamu sampai begitu sih..? Apa yang kamu pikirkan ?”
”Bi Ratna. Ya...Deni memikirkan Bi Ratna. Deni suka kepadanya.”
”Den, sudah...sudah, ibu tak akan membahas apa, kenapa, bagaimana hal itu sampai terjadi, sudah percuma, sudah terlambat, lagipula ibu sudah banyak bicara panjang lebar sama bibimu. Sekarang sudahi semua ini, alasanmu sudah jelas, besok kamu sekolah lagi. Mengerti.”

Deni hanya diam, tak tahu musti bicara apalagi. Santi memandang anaknya. Tahu anaknya pasti kaget karena dirinya mengetahui semua ini. Tapi ia yakin anaknya besok pasti sudah akan sekolah lagi. Tak ada lagi alasan Deni untuk berkeras hati. Hanya satu hal lagi yang harus ia bicarakan.

”Den...ibu juga tak nyaman membicarakan ini, tapi ibu harus bicarakan. Kenyataannya adalah seharusnya belum saatnya kamu melakukan dan belum waktunya kamu merasakan eh...berhubungan seks, tapi kamu sudah terlanjur melakukan dan merasakannya. Nah ibu hanya bisa bilang...anggaplah semua yang sudah terlanjur terjadi itu hanya gairah sesaat juga romansa sesaat saja. Seiring waktu akan terlupakan. Juga ibu harap kamu sekarng konsentrasi saja belajar dan berbuat sesuai usiamu. Jangan sampai kamu mencari kenikmatan dengan pelacur ya. Jangan...kalau sudah waktunya kamu juga akan merasakan. Sekarang yang penting, sibukkan dirimu maka dengan sendirinya eh...keinginan untuk....itu akan surut. Sudah, sekarang kamu renungi semua perkataan ibu. Ingat, besok kamu harus sekolah lagi.”

Santi meninggalkan anaknya, membiarkannya berpikir, proses pendewasaannya. Santi merasa tak perlu membahas lagi soal Ratna dan Deni, semua sudah terjadi, juga dia tak mau membuat Deni makin terkenang hal itu, sebisa mungkin menjauhkan anaknya dari memikirkan hal itu. Santi sendiri juga sudah tahu semua penyebab dan alasan semua itu dari Ratna. Sekarang biarlah Deni menata hidupnya ke depan.

Besoknya Senin, Santi bersiap berangkat kerja, biasanya dia dan suaminya berangkat terlebih dahulu. Deni belakangan, karena sekolahnya dekat. Deni sudah memakai seragamnya. Santi tesenyum melihatnya. Sudah normal kembali. Begitupun esoknya dan esoknya lagi. Memang Deni jadi diam saja, tapi itu wajarlah, mungkin anak itu butuh waktu untuk merenungi semua ini pikir Santi. Maka alangkah terkejutnya Santi ketika pada hari Jumat HP-nya berbunyi,dari sekolah Deni, mereka menanyakan kenapa Deni sudah 2 minggu ini tak masuk sekolah. Santi dengan cepat berlasan kalau anaknya sedang sakit, setelah basa – basi sebentar, percakapan selesai. Karena masih jam kerja maka Santi sulit buat memikrkan hal itu. Menjelang sore pekerjaannua sudah selesai, Santi di ruangannya hanya menunggu jam pulang. Dia mulai memikirkan anak kesayangannya ini...duh, Deni apa sih maumu kali ini ? Santi teingat sudah lama tak menghubungi suaminya, ia mengambil HP-nya menelepon suaminya, menanyakan kabar dan bagaimana pekerjaannya di daerah. Suaminya menanyakan apakah Deni sudah sekolah lagi, juga kenapa sampai kemarin anak itu minta pindah sekolah. Santi berbohong saja, dia bilang anak mereka sudah bersekolah, kemarin itu hanya karena masih terbawa suasana menyenangkan liburan di kampung saja, makanya Deni bilang mau sekolah di sana. Setelah bercakap – cakap beberapa lama lagi, Santi mengkhiri pembicaraan.

Santi melirik jam di dinding ruangan kerjanya, masih belum jam pulang.Akhirnya ia memilih menunggu sambil mencek email, lalu membuka accout FB-nya. Saat melihat halaman FB-nya wajahnya berkernyit, pada bagian recent comment dia melihat apa yang Deni posting : Kangen sama R di Tasikmalaya. R...? tentu saja itu inisial untuk Ratna. Santi menghela nafasnya, anaknya belum cukup matang, belum bisa mengatasi beban akibat perbuatannya. Akhirnya ia mematikan komputer, bersiap pulang.

Lalu sebenarnya kemana dan ngapain saja Deni selama seminggu ini ? Memng setiap pagi ia memakai seragam sekolah, menunjukkan siap berangkat sekolah. Tapi ketika ibunya berangkat kerja, Deni akan segera menukar seragamnya dengan baju biasa. Menghabiskan waktu di luar. Entah ke teman dekat rumahnya yang sekolahnya masuk siang atau paling sering ia nongkrong di Warnet dekat rumahnya, browsing sambil ngobrol sama teman – temannya di sana. Setelah terbiaa melakukan hubungan seks, tentunya saja tubuhnya mulai terbiasa dan menuntut melakukannya lagi. Seminggu di awl ia pulang hal itu belum terlalu terasa, setelahnya baru lumayan nyusahin. Belum lagi ia selalu memikirkan bi Ratna. Memang ia mencoba mengatasinya dengan bermasturbasi, tapi jelas rasanya beda dan kurang memuaskan. Dia juga berpura – pura mau sekolah lagi agar ibunya tak banyak membujuknya lagi. Soal ibunya yang akhirnya tahu hubungannya dengan Bi Ratna, Deni tak peduli, dia masih tetap kukuh ingin sekolah dan tinggal di kampung.
Santi duduk di ruang tamu, melirik jam, jam 7 lewat, kemana anaknya itu ? Waktu pulang, rumah sepi. Dicoba menelepon dan SMS anaknya, tak ada jawaban. Tak lama terdengar suara pagar dibuka. Saat deni masuk, Santi menyuruhnya duduk.

”Darimana kamu Den ?”
”Main...”
”Den, kamu bohong ya sama ibu. Ternyata seminggu ini kamu juga tak sekolah. Apa sih maumu ? ”
”Ibu sudah tahu kan mau Deni, jadi tak perlu tanya lagi.”
”Dan jawaban ibu tetap sama...tidak.”
”Ya sudah....Berhentikan saja Deni sekolah. Deni juga akan pergi ke kampung. Percuma ibu larang.”
”DENI !! Kamu itu berpikir dengan otakmu atau tidak sih...?”
”Bu, dengar ya, Deni sebenarnya sudah tak masalah untuk tetap sekolah di sini. Sayangnya Deni punya kebutuhan bu...buat ngewek sama bi Ratna.”

PLAK...Santi tak bisa menahan amarahnya, menampar pipi Deni. Deni hanya diam, lalu ke kamarnya membanting pintu dan menguncinya. Santi duduk berdiam diri. Belum pernah ia menampar anak kesayangannya itu. Tapi kali ini Deni sudah kelewatan, bagaimana mungkin anak itu bisa sesantai itu mengatakan dia butuh ngewek sama bibinya. Gila...apa yang harus kulakukan ? Sampai jam 10 Santi mengetuk pintu kamar Deni menyuruhnya keluar untuk makan, tak ada jawaban. Akhirnya ia mengunci pintu rumah. Karena khawatir, ia tidur di sofa, ia takut anaknya akan kabur. Sulit sekali ia tidur, otaknya terus bekerja memikirkan anaknya.

Ini yang paling Santi khawatirkan, sebenarnya walau Deni bicara tentang ngewek sama bi ratna, bukan itu inti permasalahan anak itu. Deni HANYA MERASA di kampung ada bi Ratna yang siap memenuhi kebutuhannya. Yang jadi masalah adalah lebih pada kebutuhan ngeweknya sendiri. Membawa nama bibinya karena perwujudan emosinya semata. Ini intinya. Masih lama Santi berpikir, mengnalisa, merenung, menjelang pagi baru ia tertidur...belum yakin dengan solusinya.

Saat Santi terbangun, hampir jam 9 pagi. Dia terkejut, langsung duduk melihat kamar anaknya, sudah terbuka, panik jadinya...lalu lega, Deni nampak sedang duduk di meja makan, sudah mandi, nampaknya baru selesai makan mi. Kini anak itu sedang merokok. Santi kembali terkejut ketika Deni bicara.

”Bu...maafin Deni ya. Semalam sudah buat ibu marah.”
”I..iya, ibu juga minta maaf sudah menamparmu.”
”Nggak itu memang salah Deni, ngomong seenaknya. Pantas ditampar. Maaf juga membuat ibu khawatir sampai seperti ini. Deni kaget waktu tadi membuka pintu kamar melihat ibu tidur di sofa. Maafin Deni bu.”
”Ya sudah kalau kamu menyadarinya. Ibu mau mandi dulu sudah jam 9.”

Santi lalu berdiri, masuk ke kamar mandi. Untunglah sepanjang siang itu Deni nampaknya sudah mulai tenang, sekarang sedang nonton TV. Santi saat ini sedang duduk di kamarnya, wajahnya serius. Akhirnya ia menghela nafas, ia memanggil Deni. Tak lama Deni masuk ke kamarnya, duduk di pinggir ranjang, siap mendengar apa yang mau ibunya katakan.
”Den, ibu langsung saja ngomongnya, nanti kalau kamu mau jawab, jawab saja sejujurmu. Dari omonganmu semalam, ibu akhirnya yakin, masalah kamu sampai tak mau sekolah sebenarnya karena kamu sudah terbiasa dan butuh dengan eh..hubungan seks. Sampai mau pindah sekolah segala. Intinya sebenarnya hal tadi.”
”Eh..itu benar bu.”
”Bagaimana kalau ibu katakan kalau ibu memahami dan akan membiarkan kamu memenuhi hal itu supaya sekolahmu bisa lancar lagi ?.”
”Maksud ibu...ibu akan mengijinkan Deni sekolah di kampung ?”
”Tidak.”
”Lalu..kenapa ibu mengatakan akan membiarkan Deni memenuhi kebutuhan seks Deni ? Kalau tidak pindah sekolah di sana, bagaimana bisa ketemu bi Ratna ?”
”Siapa bilang kamu boleh melakukan hal itu dengan bibi kamu ?”
”Maksud ibu ? makin nggak ngerti jadinya nih.”
”Kamu akan kembali sekolah. Tidak di kampung, tapi di Jakarta. Kebutuhanmu juga akan terpenuhi. Bukan dengan bi Ratna. Tapi dengan ibu.
”APA ? MAKSUD I...IBU...?”

Ya, Santi memang sudah berpikir matang. Adat Deni yang sangat keras tak akan bisa dilunturkan. Karena semuanya sudah jelas, akar permasalahannya sudah ditemukan. Anak itu harus menyalurkan hasratnya. Dan kalau dibiarkan berlarut akan parah, anak itu bisa mencari kepuasan secara sembarangan, dengan pelacur misalnya. Lebih baik Santi yang memenuhinya. Ya, Santi merasa itulah solusi terakhir yang paling baik buat Deni dan dirinya.

”Kamu sudah dengar. Kamu bisa memenuhi kebutuhanmu ke ibu. Ibu sudah pikirkan hal ini baik – baik. Jika hal ini akhirnya bisa membuatmu benar – benar bersekolah kembali, maka ibu siap.”

Deni terdiam, tak menyangka ibunya sampai sejauh itu memikirkan dan menyayanginya. Tentu saja Deni terkejut, bahkan tak tahu harus bagaimana. Tapi dorongan keinginan, juga kesadaran bahwa dirinya memang sering membayangkan ibunya telah menggelitik gairahnya. Diliriknya ibunya yang mengenakan daster biasa itu. Deni segera berkata...

”Ibu Yakin...?”

Hanya anggukan kepala saja sebagai jawaban. Deni segera mendekati ibunya, bersandar di bahu ibunya, memeluknya erat, lama hanya memeluknya, tetap memiliki keraguan. Ia mendongakkan kepalanya, matanya beradu dengan mata ibunya. Deni melihat mata ibunya, ibunya juga melihat matanya. Mata ibunya telah menjawab keraguannya. Mata ibunya nampak penuh keyakinan dan juga keseriusan akan ucapannya. Deni melepaskan pelukannya, mengangkat kepalanya yang bersandar di bahu ibunya. Ia segera memiringkan tubuh ibunya, berhadapan dengannya. Deni mendekatkan wajahnya ke wajah ibunya, ia mulai menciumi pipi ibunya, lalu bibir ibunya, ibunya hanya menutup rapat mulutnya tak membalas ciumannya. Deni menarik daster ibunya, agak sulit karena ibunya dalam posisi duduk. Ibunya membantunya, ibunya mengangkat sedikit pantatnya. Deni segera menarik daster ibunya, melepaskannya. Santi duduk diam, kini hanya berCD saja.

Deni diam terpesona, apa yang biasa hanya bisa ia lihat saat mengintip ibunya mandi, kini di hadapannya. Ia mendorong pelan ibunya, membaringkannya. Deni masih menatap tubuh ibunya itu, teteknya besar dan sekal, bulat keras. Belum lagi pentilnya. Deni segera memakai tangannya untuk meremas tetek ibunya. Perlahan, menikmati rasa kenyal dan lembutnya. Kedua tangannya meremas tetek ibunya itu. Telapak tangannya merasakan pentil ibunya yang mulai mekar dan mengeras, terasa menggelitik telapak tangannya. Jarinya mulai menelusuri pentil itu dan lingkaran coklat di sekelilingnya, terasa nyaman. Pentil itu kini dijepitnya menggunakan ujung jari telunjuk dan ujung jari jempolnya, ia pilin – pilin, makin mekar dan mengacung jadinya pentil itu. Ibuny masih diam saja. Deni membuka kaos dan celana pendeknya, hanya menyisakan kolor yang menonjol besar. Ibunya hanya diam saja melihat Deni tanpa komentar. Deni mendekatkan mulutnya, mulai menjilati kedua pentil yang sudah besar mengacung itu, menggelitiknya dan menggoyang – goyangnya dengan lidahnya, menghisapnya lembut, mengemutnya, lalu menghisapnya lagi kuat. Tubuh ibunya sedikit bergetar, juga sedikit mendesah. Deni masih terus menghisap pentil ibunya, tangannya juga kembali meremas – remas tetek ibunya. Sambil menghisap pentil itu, lidahya beraksi mengoyang – goyangkan pentil itu, ibunya mendesah kecil. Cukup lama ia fokus di tetek dan pentil ibunya, kont01nya sendiri sudah ngaceng sekali. Deni mengangkat lengan Santi, tampaklah rimbuan hiam yang menggoda, tangannya segera mengelus dan memainkan bulu ketek itu, menariknya lembut. Lalu Deni menciumi dan menjilatinya. Harum juga menebarkan rangsangan tersendiri yang menggelitik nafsu Deni. Lama ia menjilati kedua pangkal lengan ibunya, sesekali ibunya menahan rasa geli saat lidah Deni terasa sangat menggelitik.

Deni lalu menciumi belahan tetek ibunya, turun ke bawah sampai ke perut yang rata,, ia elus – elus dengan tangannya, lalu diciuminya perut ibunya, makin ke bawah, kini matanya memandang CD putih yang tebal. Tangannya diletakkan di sana merasakan rasa hangat. Terasa sekali jembut tebal di baliknya. Tangannya mengelus CD itu sebentar. Lalu mulutnya menciumi permukaan Cd itu. Tangannya segera menarik turun CD ibunya itu, ibunya mengangkat sedikit pantatnya, memudahkan Deni meloloskan CD itu. Deni diam, meneguk ludahya, matanya menatap keindahan m3mek ibunya itu, jembut yang lebat nan hitam menghiasinya sampai belahan pantatnya, sangat kontras dan menambah pesona m3mek itu. Belahannya nampak dalam mengundang. Tangannya mulai meraba dan mengelus jembut itu, Tebalnya terasa di telapak tangannya. Lalu dengan ujung jari telunjuknya ia mengelus belahan m3mek itu, naik turun, belahan itu mulai merekah, makin lama makin lebar, nampak kemerahan isi di baliknya, juga mulai basah. Ibunya hanya menggoyangkan pantatnya sedikit, masih tetap diam.

Mulutnya mulai menciumi belahan m3mek itu dengan penuh gairah dan perasaan. Aroma harum yang khas memenuhi rongga hidungnya. Diciuminya seluruh permukaan m3mek ibunya. Lobang m3mek ibunya nampak kemerahan dan rapat. Deni mulai menjulurkan lidahnya, it1l ibunya agak besar, lidahnya mulai menyapu dan mengelus it1l itu, menggoyangkannya, perlahan lalu makin cepat, pantat dan tubuh ibunya mulai kerap bergoyang. Desahannya mulai sering terdengar. Jari tengah Deni segera menyodok lobang m3mek yang sudah basah itu. Disodokkan dengan sangat cepat, dengan cepat jari itu terasa licin dan lengket. Hampir 5 menit sudah ia memainkam m3mek itu. Ibunya makin sering menggoyangkan pantatnya, kakinya menekuk dan mengangkang lebar. It1lya sangat nyaman di lidah Deni, terus dan cepat Deni memainkannya...tangan ibunya mulai meremas rambut anaknya itu. Desahannya yang tadi hanya pelan mulai keras.

”Ahhh...Dennnn....”
”Sudaaahhh....Ohhhhh”
”Arghhhhh......Ughhhhh”

Santi mengejang, badannya bergetar, pantatnya terangkat tinggi. Terasa hangat cairan orgasme yang baru saja ia keluarkan. Anak ini sudah mahir memainkan lidahnya pikir Santi. Tubuhnya masih lemas merasakan kenikmatan. Deni berdiri, menurunkan kolornya, kont01nya mengacung. Mata Santi menatap ke kont01 anaknya itu...pantas saja si Ratna sampai tak bisa menahan godaan. Santi merasakan tubuhnya terbakar gairah, m3meknya berdenyut saat ia memandan lekat – lekat kont01 Deni. Deni berdiri agak kikuk mau ngomong...

”Eh...bu..hi..hisapin ya.”

Santi mengangguk, Deni mendekat, duduk di tempat tidur, Santi yang tadi terlentang, memutar tubuhnya menjadi tengkurep, mendekat ke selangkangan anaknya. Jarinya mulai meremas dan mengelus kont01 anaknya ini. Biji Pelernya ia mainkan sesaat, diremasnya lembut. Saat tangannya menggenggam batang kont01 Deni, terasa batang kont01 itu berdenyut. Ia masih memainkan tangannya pada kont01 Deni, mengocoknya bergantian pelan lalu cepat. Lidahnya mulai menjilati kepala kont01 Deni, lalu batangnya, gerakannya sangat cepat dan penuh tekanan yang kuat. Deni mendesah sambil merem – melek. Mulut ibunya mulai menelan kont01nya, mengemut, menghisap, mengulum, saat menarik kont01nya keluar, ibunya selalu melakukannya samapai batas leher kepala kont01nya lalu menelannya lagi, sangat cepat. Batas leher kepala kont01nya sangat geli bersentuhan dengan bibir ibunya yang basah dan sensual. Ampuuunnn....enak sekali pikir Deni. Ibunya masih lama mengulum dan menghisap kont01nya, terakhir ibunya menelan sedalam mungkin kont01nya. Lalu mengemutnya dengan kuat, bikin Deni kelojotan. Ibunya menghentikan Oral nya, segera turun, berlutut di pinggir tempat tidur, ditariknya kaki Deni hingga menjuntai ke bawah. Dilebarkannya kaki itu, lalu ibunya memposisikan diri di tengah kakinya itu.

Tangan ibunya menggenggam kont01 Deni, ditaruhnya kont01 itu di belahan tetek besarnya. Kedua tangannya lalu mengapit erat pinggiran teteknya, menjepit erat kont01 itu di tengahnya. Deni melihat ibunya sedikit meludahi kont01nya dan belahan teteknya. Ibunya lalu menaik turunkan badannya, juga menggoyangkan teteknya, mengocok kont01 itu. Uffff.....Sangat Enaaaakkk....belum pernah Deni merasakan hal seperti ini, kont01nya sangat nyaman dikocok di antara tetek ibunya yang besar dan kenyal. Deni mengerang penuh kenikmatan. Tetek yang besar itu terasa membelai lembut sekaligus menekan erat kont01nya, kombinasi rasa nikmat yang tiada tara bagi Deni. Masih lama ibunya melakukan gerakan ini, Deni msih meraa nyaman, tapi sudah tak tahan mau memasukkan kont01nya di m3mek ibunya.
”Bu...su...sudah duluuu...Deni sudah nggaaakk tahan mau masukkin.”
”Ya sudah kalau begitu maumu.”

Ibunya menghentikan kegiatan tadi. Segera naik dan berbaring, melebarkan kakinya. Deni segera menindih ibunya, Deni mengangkat sedikit pantatnya, mengarahkan kont01nya, lalu blessss....gilaaa...saat kont01nya sudah amblas seluruhnya Deni diam dan merasakan rasa nyaman dan nikmat di sekujur tubuhnya, m3mek ibunya terasa sangat hangat, sangat rapat dan nyaman. Sementara Santi merasakan sesak namun nikmat dalam m3meknya. Penaasaran menjalari pikirannya....sebentar lagi ia akan tahu apa yang telah membuat Ratna sampai begitu terlena.

Deni ulai bergerak, memompa kont01nya perlahan, cairan di m3mek ibunya terasa pas dan memudahkan pompaannya. Kont01nya ia tarik keluar sejauh mungkin dan ia tekankan sedalam mungkin. Saat ia menyodok sedalam mungkin, ibunya mendesah penuh kenikmatan. Perlahan namun pasti gerakan memompa dan menyodoknya makin cepat. Tetek ibunya bergoyang – goyang dengan sangat seksi, ibunya mendesah, matanya merem melek, kedua tangannya terangkat ke atas. Deni terus menyodok, sambil sibuk kembali menciumi ketek Santi. Lalu ia jilati leher dan telinga ibunya, membuat Santi kegelian. Deni memompa dengan penuh nafsu, desahan dan wajah ibunya makin membuatnya terpacu, ibunya samapi kelojotan menahan sodokannya...

”Den...pelaaannnn....Ughhh...”
”Ssssstttt....Yeaaahhhh....Ooo ohhh...”
”Ampuuunnnn....Aaaahhhh....Aww ww....”

Ibunya mendapatkan orgasme, dan Deni malah menjadi semakin nafsu. Tak memperdulikan ibunya yang lemas, ia makin asik menyodok. Santi sendiri sampai kelojotan, rasa nikmat yang tak henti menghantamnya, ja...jadi inikah yang telah membuat Ratna tak bisa menolak Dini, kini Santi paham sepenuhnya. Godaan ini terlalu sulit dan juga terlalu enak buat ditolak. Pantat ibunya nampak bergoyang liar mengimbangi sodokan Deni. Terasa membetot kont01nya. Tangan Deni mulai meremas kuat tetek ibunya itu. Sodokannya juga tetap stabil. Dua minggu tanpa ngewek membuatnya benar – benar disalurkannya sekarang. Bibir Deni mencium bibir ibunya, kini ibunya membalas, mereka berciuman dengan panas. Setelah itu Deni mulai menghisap pentil ibunya kuat – kuat, sodokannya mulai agak berkurang kecepatannya, sudah maksimal ia bertahan...denyut nikmat terasa pada kont01nya. Kembali ia mencium ibunya, memeluknya erat, dan dengan sodokan yang kuat.....crooot...crooot....cr oott...kuat dan banyak sekali pejunya, membuat ibunya bergetar saat pejunya menyemprot kuat. Deni terkulai sesaat, akhirnya dicabutnya kont01nya, berbaring....

”Bu terimakasih ya sudah muasin hasrat Deni.”
”Ya...sekarang sudah mau sekolah lagi kan...?”
”Iya.”
”Kalau kamu nanti sedang kepengen bilang ke ibu ya. Tapi jangan sampai ayahmu tahu.”

Dan akhirnya memang Deni kembali ke sekolah. Nilainya bahkan meningkat. Kini setiap ia ingin, ibunya akan memenuhinya. Ayahnya akhirnya sudah menyelesai proyeknya dan kembali pulang, namun mereka tetap melakukannya. Waktu terus berjalan....

Santi merasa sudah melakukan solusi yang paling tepat. Kini anaknya dapat memuaskan hasrat yang merongrongnya. Tahu kini ibunya selalu ada untuk membantunya. Bersekolah seperti sediakala dan tak pernah membicarakan lagi niat untuk pindah sekolah ke kampung. Santi bahkan amat menikmati melakukan hubungan seks dengan Deni, bisa sangat mengerti dan sangat memahami kenapa adiknya sampai tak kuasa menahan diri dari godaan Deni. Santi bahkan bisa toleran saat Ratna datang menginap ke Jakarta ( Ucil dititipkan ke abahnya. mungkin Ratna kangen sama Deni pikir Santi ). Rumah mereka hanya memiliki 2 kamar. Jadi Ratna tidur di kamar Deni. Suaminya tentu saja tak curiga dan berpikiran macam – macam. Tapi Santi tahu bahwa di kamar itu setiap malam Deni dan Ratna bukan hanya sekedar tidur. Deni pasti ngewek sama bibinya itu. Santi diam saja, membiarkan kedua orang yang ia sayangi itu memuaskan hasrat masing – masing.

Deni sedang merokok di kamarnya, menatap jam di dinding....tik...tik...tik...y ak sudah jam 12 malam, resmi sudah kini ia berusia 17. Banyak yang terjadi belakangan ini, dan semuanya menyenangkannya. Ibu, Bi Ratna, Bi Lasmi akan selalu menjadi wanita yang ia sayangi. Ia tak akan pernah tahu apa yang akan ia temui di masa depan. Tak akan pernah tahu wanita seperti apa yang akan menjadi pasangan hidupnya nanti. Tapi satu hal yang pasti, sampai kapanpun bi Ratna akan selalu menjadi cinta pertama dan menempati ruang khusus di hatinya. Deni tersenyum, mematikan rokoknya, lalu tidur.

0 komentar:

Posting Komentar