blog visitors

Pertama Kali Aku Selingkuh

Ternoda - Sebenarnya umurku sudah tidak bisa dibilang muda lagi, bahkan bisa dibilang sudah kakek-kakek karena saat ini umurku sudah 58 tahun. Namun demikian banyak orang mengira umurku masih di bawah 40 tahun. Orang-orang di kantorku mengatakan kalau secara fisik aku memang hebat. Otot masih kencang dan wajah hampir tidak ada keriput. Demikian juga isteriku, masih seksi dan kenyal, kulitnya juga masih kencang. Yang menunjukkan berapa umurku sebenarnya adalah rambutku yang sudah hampir tidak ada hitamnya lagi. Atas saran isteriku, rambutku aku cat hitam sehingga lengkap sudah penampilanku bagai lelaki yang masih berumur 30-an. Mungkin ini khasiat kami rajin berolah raga. Di samping itu kami selalu menyertakan sayuran atau buah sebanyak mungkin dalam menu makan kami, di samping sumber-sumber protein utama. 

Kehidupan seksualku juga masih normal, walaupun isteriku yang tiga tahun lebih muda dariku sudah menopause, tapi seminggu tiga-empat kali kami melakukan hubungan sex. Memang harus memakai lubricant gel agar isteriku tidak kesakitan ketika ML karena lendir vaginanya sudah tidak produktif lagi. Tapi semua terasa indah dan bisa kami menikmati. Akupun tak pernah selingkuh. Bagiku isteriku adalah segala-galanya.
Secara ekonomi hidupku sukses besar. Beberapa perusahaan sudah aku miliki dan semuanya telah berkembang dengan baik. Dalam kehidupan berkeluarga pun aku cukup bahagia. Aku punya isteri masih cantik dan seksi dan dua orang anak laki-laki yang gagah, ganteng, dan cerdas yang kuberi nama Arga Putra Pratama dan Bagas Putra Sentosa. Mereka sudah dewasa dan sedang menyelesaikan program S3 di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT). Di samping anak-anak kandungku, aku juga membiayai dan menghidupi sejumlah anak asuh. Mereka kebanyakan berasal dari anak-anak jalanan, anak yatim, dan anak yatim piatu, di samping ada pula yang berasal dari keluarga lengkap tetapi kurang mampu. 

Aku menerapkan syarat yang ketat bagi anak-anak asuhku. Syarat pertama adalah mereka wajib mengikuti pertemuan anak asuh di rumahku sebulan sekali. Syarat kedua, mereka tidak boleh menjadi anak jalanan, terutama bagi mereka yang berasal dari anak jalanan. Bagi yang tidak punya rumah, termasuk anak jalanan dan yatim piatu, mereka wajib tinggal di rumah asuh yang aku bangun untuk menampung mereka. Setelah mereka lulus sekolah atau perguruan tinggi, jika mau, mereka aku beri pekerjaan di salah satu perusahaanku. Akupun mempersilahkan mereka jika mereka mau mencari pekerjaan sendiri atau membuka usaha sendiri. 

Isteriku sendiri yang secara langsung menangani rumah asuh itu. Metode yang diterapkan dalam pengelolaan rumah asuh berdasarkan kebutuhan anak, bukan berdasarkan keinginan kami, selaku penyedia dana dan pengelola rumah asuh. Tak heran anak asuh yang ada di rumah asuh sangat akrab dengan isteriku.

Pertemuan dengan anak-anak asuhku, selain bermanfaat untuk memantau aktivitas mereka, juga bermanfaat untuk mengobati kerinduanku dengan anak-anak kandungku yang tidak lagi pulang di awal bulan seperti waktu SMA dulu, tapi mereka pulang sesuka hati mereka. Memang di era informasi sekarang, komunikasi bisa dilakukan lewat email, chatting dan telepon tetapi terasa tidak puas jika hanya bertemu anak-anakku lewat layar monitor. 

Hasil pertemuan itu, aku juga bisa akrab dengan mereka. Hubungan kami lebih sebagai keluarga atau orang tua dengan anak-anaknya daripada pemberi dan penerima dana. Aku dan isteriku biasa bercanda dengan mereka dan mereka tidak lagi sungkan untuk sekedar ngobrol dengan kami. Tak jarang mereka datang di luar jadwal pertemuan untuk sekedar bertemu atau bersalaman dan mencium tangan kami sambil berkata, “Apa kabar Ayah dan Ibunda?” atau “Ayah dan Ibunda sehat kan?” Kalimat-kalimat yang mereka ucapkan cukup sederhana, tetapi dalam artinya bagi kami. Bukan karena merasa dihormati, tetapi kami merasa seolah menemukan kembali anak-anak kami yang seolah hilang dalam kedewasaan mereka.

Suatu hari isteriku diajak teman-temannya jalan-jalan ke Australia. Tentu saja isteriku antusias menanggapi ajakan mereka, karena sekalian menengok Arga dan Bagas anak-anak kami. Dan benar saja (walaupun kalau minta ijin pasti aku berikan) tanpa minta persetujuanku mereka berangkat ke Australia. Setengah delapan pagi mereka pamit. Aku tertawa mengiring kepergian mereka di pintu rumahku. 

“Dasar nenek-nenek centil…” gumamku saat dengan manja isteriku pamitan. Dia hanya tersenyum mendengarnya. Sambil tetap tersenyum dia melambaikan tangannya dari balik jendela mobil yang akan membawa ke Bandara Ahmad Yani.

Setelah mereka berangkat kesepian menyergapku. Kulampiaskan rasa sepi dengan berlatih fitness di gym pribadiku yang ada di lantai dua. Setelah warming up dengan cukup, aku memacu treadmill dengan kecepatan agak tinggi sambil mendengarkan musik lewat ipod. Setengah jam aku berpacu di atas treadmill. Keringat yang mengucur deras akibat pacuan treadmill membuat aku gerah. Rupanya aku masih memakai kemeja yang aku pakai waktu mengiring kepergian isteriku. Tanpa berhenti berlari di atas treadmill aku lepas bajuku dan kulempar ke sudut ruang gym lalu kulanjutkan memacu treadmill dengan penuh semangat. 

Tiba-tiba dari pantulan cermin di depanku nampak pintu gym pribadiku terbuka dan muncullah seorang gadis dengan seragam putih abu-abu yang sangat kukenal. Dia adalah Laras, anak asuhku yang paling aku banggakan. Selain cantik dia juga cerdas dan cekatan. Rencananya setelah lulus SMA nanti, Laras akan kubiayai untuk kuliah di RMIT agar bisa aku tempatkan di salah satu perusahaanku sebagai manajer setelah lulus kelak. Terlalu sayang kalau anak cerdas dan cekatan seperti Laras tidak mendapatkan pendidikan yang terbaik. Namun aku tak pernah memberi tahu rencana ini kepada siapapun kecuali isteri dan anak-anakku.

“Ayah…” sapanya manja sambil mendekat. “Bunda pergi ya..?”
“Yups” sahutku sambil terus memacu treadmill. “Darimana kamu tahu?”
“Mbak Ayu yang kasi tahu, Yah” kata Laras sambil duduk di shoulder press machine. Ayu adalah pembantuku.
“Baru jam sembilan lebih sedikit kok sudah pulang? Bolos ya..?” kataku sambil senyum
“Tidak ada kata membolos dalam kamus anak Ayah” kata Laras sambil tertawa. “Laras habis uji coba ujian nasional, Ayah. Hari ini hari terakhir uji cobanya, jadi setelah uji coba selesai, Laras langsung kemari.” Kata Laras menjelaskan. “Sayang Laras tidak ketemu Ibunda…” katanya dengan wajahnya berubah jadi sedih.
“Ada perlu sama Ibunda?” tanyaku ketika melihat wajahnya yang sedih 
“Kangen sama Ayah dan Ibunda. Dua minggu Laras tidak kemari rasanya lama sekali”

Bangga dan bahagia merembes dalam hatiku ketika mendengar Laras merasa kangen pada kami. Aku tatap mata Laras sambil tersenyum. Laras memang yatim piatu. Orang tuanya bercerai waktu dia masih bayi, dan ibunya meninggal ketika dia baru berumur dua tahun. Saat itulah aku lewat dan melihat orang bergerombol di trotoar sebuah taman kota. Ada dua mobil polisi dan sebuah ambulan. Aku suruh sopir untuk berhenti dan melihat apa yang terjadi. Ternyata ada seorang tunawisma tewas dengan anak masih berumur dua tahun. Segera aku turun dari mobil dan menghampiri perwira polisi yang sedang memberi komando kepada anak buahnya. Ternyata dia mengenal aku sebagai bapak asuh dari anak-anak jalanan. Ketika aku bilang agar anak kecil itu di antar ke rumah asuh-ku , mereka langsung setuju. Sejak saat itu anak tadi aku beri nama Larasati karena tidak ada catatan tentang nama dia yang sebenarnya. Kini, empat belas tahun kemudian, anak itu sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan ada di depanku. Seandainya aku punya anak perempuan…

“Ayah melamun?” Tanya Laras mengejutkanku
“Ah tidak” kataku sambil senyum “Kamu sudah besar sekarang”
“Kelihatannya Ayah sedih..?” katanya sambil mendekat.
“Enggak… Ayah enggak apa-apa” kataku meyakinkan Laras. “Oh ya! Suruh Ayu menyiapkan makan siang sementara Ayah mandi. Banyak keringat.. lengket nih..” kataku sambil turun dari treadmill.

Laras menghampiri aku dengan membuka tangannya lebar-lebar ingin memeluk.
“Hei… Ayah masih berkeringat… bau lagi!” kataku sambil berusaha menahan pelukan Laras. “Nanti saja peluknya setelah ayah mandi hehehe…”
“Ahhh.. Ayah…” kata Laras sambil merengek. “masa obat kangennya nunggu ayah mandi sih..” 

Akhirnya kudekap Laras dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang seorang lelaki tua yang merindukan anak perempuannya. Kuangkat wajah Laras dan kucium ubun-ubun dan keningnya. Pelukan Laras makin erat. Kubelai rambut Laras yang dipotong pendek. 

“Ih… dada Ayah asin…” kata Laras tiba-tiba sambil tertawa
“Kamu sih… ngotot minta peluk, Ayah sudah bilang, masih berkeringat…” jawabku sambil menjatuhkan kepalan tangan kananku pelan ke atas ubun-ubunnya. “Udah Ayah mandi dulu, setelah mandi kita makan di luar aja…”
“Ayah bau.. asin dan asem jadi satu” kata Laras sambil tertawa ketika berlari menuruni tangga. 
“Hahaha… Salah sendiri minta dipeluk” sahutku setengah berteriak. Aku segera mengambil baju yang tadi aku lempar dan turun menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarku di lantai satu. Semburan shower benar-benar menyegarkan tubuhku. Selesai mandi aku keluar dengan handuk melilit tubuhku. Ternyata Laras ada di dalam kamarku. 
“Hey… ayo keluar dulu. Ayah mau ganti pakaian” kataku.

Laras berdiri sambil tersenyum. Tangannya mengembang dan setengah berlari menubruk aku.

“Aku masih kangen.. aku pengen dipeluk Ayah lagi..” kata Laras sambil memeluk ku. Sekali lagi kubelai rambut Laras yang sedang mengelus-elus dadaku kiriku sambil menyandarkan kepalanya di bahu kananku. 
“Berapa sih umur ayah?” katanya sambil menatap dada dan six packs di perutku. 
“Emang kenapa dengan umur Ayah?”
“Pengen tahu aja.. Kok badannya masih bagus dan kecang. Juga nggak ada di kerutan wajah Ayah…” suara Laras seperti kagum.
“Tumben nanya-nanya umur… Coba kamu tebak aja”
“Empat puluh sekian”
“Ah.. anak Ayah kok jadi o’on sekarang..” kataku sambil tertawa. “Masa orang berumur empat puluhan sudah punya anak berumur 32 tahun. Emangnya ayah nikah umur berapa?”
“Masa Ayah umurnya lebih dari 50 tahun sih…” jawab Laras. “tuh.. badannya aja masih kenceng dan berotot gini..” kata laras sambil berusaha mencubit dadaku, tapi gagal karena ototnya terlalu penuh dan padat kencang untuk dicubit. 
“Nyubitnya aja susah…” katanya lagi.
“Ayah sudah 58 tahun, Laras… Ini semua karena Ayah rajin berolah raga dan selalu makan sayuran dan buah” jawabku. 

Kurasakan tangan Laras mengelus-elus punggungku. Sementara tangan satunya mempererat pelukannya. Wajahnya menempel ketat di dadaku. Mulutnya tersenyum damai sambil matanya terpejam. Laras mengelus punggungku dengan ujung kukunya dengan lembut. Ujung kukunya terasa meraba, bukan mengelus dari pangkal leher turun sepanjang tulang belakangku dan berhenti di bagian bawah pinggangku karena terhalang handuk, tapi gerakan ujung kuku Laras tidak berhenti tetapi bermain-main melingkar pinggangku. Gerakan kuku Laras membuat kelaki-lakianku bangkit. Aku angkat wajah Laras. Aku cium lagi ubun-ubun dan keningnya. Laras masih terpejam, tapi bibirnya tidak lagi tersenyum melainkan setengah terbuka. 

“Ayaahhh…” Laras melenguh. Tiba-tiba dia menjilat dadaku dan menggigit putingku sambil memainkan lidahnya. 
Sesaat aku sadar. Laras adalah anak asuhku dan sudah aku anggap anak sendiri. 

“Sudah Laras… Ayah mau pakai pakaian dulu, terus kita makan di resto..” kataku sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Laras. Bagaimanapun juga aku harus menghentikan rangsangan yang sudah hampir menghancurkan akal sehatku. Bukannya melepaskan, Laras malah makin mempererat pelukannya. Bibirnya dan lidahnya terus bermain di dadaku. Tak lagi aku mampu mencegah, penisku langsung ereksi.
“Apakah aku nggak boleh merasakan kasih sayang Ayah?” sahut Laras sambil terus mengigit-gigit dadaku. Lidahnya menjilat-jilat. Aku sudah tak lagi mampu membendung nafsuku. Kuangkat wajah Laras, Kucium keningnya, lalu mata kiri dan kanannya. 
“Ahhh.. Ayah… Laras sayang Ayah… Ahhh” Laras mendesah dengan dengusan nafas yang tersengal. 

Matanya terbuka sedikit, tapi hanya putih bola matanya yang nampak. Bibirnya yang merekah basah mengkilat mengundangku untuk mengulum dan menghisapnya. Tanpa sadar aku mengecup bibir Laras dan melumatnya dengan lebut. Laras membalas dengan menghisap bibirku. Lidahnya menjulur masuk ke dalam mulutku. Menyapu seluruh relung rongga mulutku dan menggosok-gosok gusiku. Aku hisap lidah Laras sambil aku kaitkan lidahku pada lidahnya. Agak lama kami bermain-main dengan lidah. Kami saling hisap, saling gosok rongga mulut, dan saling mengaitkan lidah. Tanganku meremas pelan payudara Laras dari luar baju seragam. Bra yang dikenakan cukup tipis membuat aku bisa merasakan kenyal dan lembutnya payudara Laras. 

Aku benar-benar dikuasai nafsu sekarang. Kulepas bibirku dari bibirnya, lalu aku susuri lehernya yang jenjang dengan bibir dan lidahku. Kugunakan kedua bibirku untuk menggigit leher Laras. Kemudian kucium dan kuhisap telinga Laras. Aku korek telinganya dengan lidahku sambil sekali-sekali menjilat dan menghisap bagian belakang telinganya. Akibat tindakanku itu Laras menggelinjang. Nafasnya terengah-engah. Mulutnya berkali-kali mengerang melampiaskan nafsunya yang makin meledak.

“Ayaaahhh… sayangi Laras… Yaaahhh…” Laras mendesah. 
“Ayyaahh ssaayyang Larasss… sshhh” jawabku sambil terus mencium dan menghisap lehenr dan telinganya.
Tangannya mengapai penisku dari luar handuk lalu meremasnya. Laras kemudian menyibakkan handuk yang aku pakai dan merogoh penisku yang sudah sangat tegang. Handuk yang melilit di pinggangku dilepaskannya. Sejenak dia diam sambil menatap penisku. 

“Kenapa sayang..” tanyaku saat Laras berdiam diri.
“Enggak apa-apa… Cuma heran… kok penis Ayah segede ini ternyata…” jawab Laras sambil meraih penisku dan meremas-remas. 

Cairan kenal bening sedikit mengalir keluar dari penisku. Laras menggunakan cairan itu untuk mengusap kepala penisku dengan jempolnya yang mungil dan halus. Jempol itu diputar-putar di kepala penisku yang licin karena cairan yang keluar dari ujung penisku. Nikmat sekali rasanya.

“Laraasss.. hhh…” aku mendesah karena nikmat. 

Segera aku buka kancing baju seragamnya. Tampak bra ukuran 34-B warna kulit membungkus payudara Laras yang bulat dan kencang. Bra itu terlalu tipis sehingga mencetak bentu payudara Laras dan putingnya. Aku kecup dan jilat pangkal payudaranya, kemudian aku gigit dengan bibirku sambil menghisapnya. Dengan tak sabar segera aku buka baju seragam Laras, lalu aku raih kait bra yang ada di punggung Laras untuk melepasnya. Laras telanjang dada sekarang. Payudaranya bulat indah dengan puting yang mengeras berwarna cokelat muda kemerahan. Kurendahkan tubuhku agar dapat kukecup puting Laras. Laras memeluku sambil mendesis-desis.

Dengan penuh kelembutan aku nikmati sepenuhnya payudara Laras. Dengan cara menghisap, menjilat, dan mengulumnya. Lidahku menelusuri tiap sentimeter payudaranya yang kenyal. Puting yang mengeras aku hisap dan aku pilin dengan lidahku. Erangan demi erangan keluar dari mulut Laras. Erangan yang menggairahkan naluri birahiku.

“Ahhh.. sshhh… Ayaaahh… nikmaatt…terussss…. Aaahhh…” Laras mendesis-desis. 

Tangan kanannya menekan kepalaku sementara tangan kirinya meremas dadaku dan memilin putingku. Berganti-ganti payudara kanan dan kirinya aku jilat, aku sedot dan aku gigit pelan-pelan. Setelah puas menghisap payudara Laras, aku arahkan lidahku ke perut Laras. Lidahku menari dengan penuh perasaan di permukaan perut Laras. Agar tak menghalangi aksiku, segera kuraih kancing rok seragam Laras dan membukanya. Aku tarik resletingnya ke bawah. Rok yang dipakai Laras pun melorot dan lepas. Kini Laras hanya memakai celana dalam berwarna kulit senada dengan branya. Lidahku berpindah menari di pusarnya. Perlahan lidahku bergerak ke bawah. Di antara pusar dan karet celana dalamnya aku jilat dan aku sedot dengan bibirku. 

Kemudian sambil jongkok, kulihat celana dalam Laras basah di bagian vaginanya. Segera aku gigit perlahan-lahan vagina Laras dari luar celana dalamnya sambil kuletakkan kedua tanganku di pantatnya untuk meremas-remas pantat yang masih kencang dan padat. 

“Aahhh Ayaahh…” desah Laras sambil menekan kepalaku ke vaginanya. 

Pinggulnya bergerak maju mundur perlahan. Sambil meremas pantatnya, aku selipkan jariku ke dalam celana dalamnya. Aku usapkan jari-jariku di belahan pantat Laras. Laras menggelinjang lagi sehingga vaginanya menabrak mukaku dengan agak keras karena kepalaku juga ditarik ke arah vaginanya. Segera aku pelorotkan celana dalam Laras ke bawah hingga terlepas. Vagina Laras benar-benar menawan. Vaginanya tebal dan penuh dengan selakang putih bersih di kanan kirinyanya. Bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar vagina masih belum sempurna menambah daya tarik vagina yang baru matang. Ada cairan yang merembes keluar. Rupanya Laras benar-benar telah terangsang. Aku usap bibir vagina luarnya dengan jempol kananku. Cairan vaginanya membuat jempolku dengan licin mengusap vagina Laras. Permainaku aku lanjutkan ke klitoris Laras. Mula-mula aku usap klitoris Laras dengan jempolku, kemudian sambil menekan klitorisnya, jempolku bergerak memutar mengitari klitorisnya. Setelah itu dengan jari dan jempol aku pijit klitoris Laras lalu aku urut dari atas ke bawah. 

“Ayahhh.. aku sayang Ayah…” Laras mengerang sambil menggelinjang.
“Iya.. Ayah juga sayang Laras…”

Kupuaskan mataku untuk melihat vagina gadis yang baru mekar ini sambil terus memainkan jempol dan jariku di bibir vagina dan klitorisnya. Dengan jari-jari dan jempol tangan kiriku, kusibak kedua bibir vagina Laras. Tampak bagian dalam vagina laras berwarna merah muda yang terus mengeluarkan cairan sedikit demi sedikit. Jempol kananku kupercepat mengusap mengitari klitoris Laras. Tiba-tiba Laras menjambak rambutku dan menariknya mendekatkan wajahku ke vaginanya. Segera aku hisap vagina Laras. Lidahku perlahan menjilat-jilat vagina dan klitoris Laras seperti kucing mandi. 

“Ayah.. uh… nikmat….”

Kujawab lenguhan Laras dengan memainkan lidahku di lubang vaginanya. Lalu dengan cepat aku sedot klitoris Laras sambil memasukkan lidahku ke dalam lubang vaginanya. Kugunakan lidahku untuk menusuk dan mengorek lubang vaginanya. Laras menggerakkan pinggulnya mengikuti gerakan lidah dan mulutku yang melumat vaginanya. Kusedot vaginanya sambil memutar lidahku di klitoris Laras. Jambakan pada rambutku makin kencang. Kepalaku dihentak-hentakkan ke arah vaginanya. Tak kubiarkan gadis yang masih segar ini untuk berlama-lama tersiksa menanti orgasme. Kutusukkan lidahku ke dalam vaginanya sambil kugetarkan dengan cepat. Lalu dan tubuh Laras menggelinjang hebat, dia berdiri sambil meliuk-liuk seolah pohon cemara yang tertiup puting beliung. Kemudian Tubuhnya mengejang kemudian dia melolong keras dan panjang.

“Ayyyaaahh…. Ah…uh…. Aku mau pipis…” teriak Laras sebagai cara menikmati orgasmenya.
“Keluarkan saja sayang… supaya Laras merasakan kenikmatannya” kataku memberi instruksi di sela jikatanku di klitorinya yang makin cepat.
“Tapi Ayah…. Auw..aahhh…” Laras kembali teriak dan mengerang. “nikmat banget… Laras puas… puas Yah…”

Dan… serrr…serrr cairan orgasme Laras mengalir dengan deras. Tubuhnya membungkuk ke depan kemudian mendongak seperti akan terjatuh ke belakang. Tubuh Laras makin mengejang. Kembali cairan orgasme Laras mengucur. Tangan kananku berusaha menopang tubuh Laras yang bergerak liar sambil kejang-kejang. Sedotanku di vaginanya makin intens, menyedot habis cairan orgasmenya sambil menjilat-jilatinya. 

Setelah beberapa saat, perlahan aku berdiri. Tanganku tetap menopang tubuh Laras yang kini terkulai lemas dan lututnya menggigil akibat orgasme yang dia alami. Laras memeluku sambil bergayut dengan terpejam dan menggigit bibirnya bawahnya sendiri. Segera aku menenangkan Laras dengan mencium kedua matanya, pipinya, hidungnya dan kemudian aku hisap bibirnya. 

“Ayah….” Laras memanggil sambil matanya tetap terpejam.
“Ya sayang…?”
“Ayah sayang Laras..?”
“Tentu, Ayah sayang Laras” jawabku sambil terus menciumi wajahnya. 
Laras mempererat dekapannya untuk menjaga keseimbangan agar tak jatuh. Agar lebih mudah menopangnya, tubuh Laras aku balik sehingga dia membungkuk membelakangi aku. Sambil tetap bertahan untuk berdiri, aku peluk tubuhnya dari belakang. Aku kecup tengkuknya. Aku cium sekujur punggungnya sementara tangan kananku menopang tubuh Laras sedangkan tangan kiriku bermain-main kecil di vaginanya. Penisku yang masih berdiri dengan gagah aku gesek-gesekkan di belahan pantatnya. Tapi rupanya Laras sudah tak mampu berdiri lagi. Segera aku menggendong Laras sambil mencium bibirnya yang menyunggingkan senyuman. Matanya sayu menatapku mesra. Aku baringkan Laras pelan-pelan di tempat tidur tanpa melepaskan hisapan bibirku di bibirnya. Kemudian aku berbaring miring di samping Laras dengan posisi menghadap ke arahnya. 

Sambil menatap gadis muda yang sedang mekar itu. Aku belai wajahnya. Nafasnya sudah tidak tersengal lagi dan mulai teratur. Sementara itu ketegangan penis mulai turun. Aku peluk Laras. Wajahnya aku benamkan di dadaku. Komunikasi tanpa kata-kata ini membuat Laras tersenyum. Tangannya menggapai meraih wajahku lalu menariknya ke arah wajahnya kemudian Laras melumat bibirku. Aku mencoba pasif dengan membalas sekedarnya. Laras menjilat dan menghisap seluruh permukaan wajahku. Lidahnya lincah menari-nari membuat aku tak tahan bersikap pasif. Aku pagut bibir Laras dan menghisapnya kuat-kuat. Laras bangkit menindihku. Kubiarkan aksinya yang liar menjilat sekujur tubuhku. Tangannya meremas penisku dan mengocoknya. Kemudian ujung penisku dijilat dan dikulum sambil disedot. Mula-mula dengan halus dan pelan. Aku benar-benar melayang dibuatnya. Rasa nikmat menjalar dari ujung penis sampai ke sekujur sumsum tulangku.

Penisku perlahan-lahan kembali tegang. Tak tahan dengan perlakuan Laras atas penisku, aku bangkit dan kubalik tubuh Laras sehingga dia ada di bawah kembali. Laras meronta dan protes.

“Ayah kok gitu sih… Biarkan Laras di atas dong… Laras ingin Ayah menikmati aja permainan Laras” katanya sambil berontak. 

Aku ingin sedikit menggoda Laras, oleh karena itu aku tak memberi kesempatan kepada dia untuk berada di atas. Segera aku kulum puting Laras dan mengisapnya sambil memutar-mutar lidahku. Kembali Laras menggelinjang dan tak mampu berontak dan protes lagi. 

“Ayah nakal...” kata Laras sambil melingkarkan tangannya di leherku. 

Kepalaku ditekan ke bawah sampai-sampai kepalaku terbenam dalam lembah di antara payudara Laras. Kemudian tangannya mengapai penisku yang sudah sangat tegang. Kubiarkan Laras meremas dan mengocok penisku sambil mengisap payudaranya. Aku ingin menikmati aksi tangannya terhadap penisku. Sekali lagi cairan yang keluar dari ujung penis digunakan Laras untuk mengelus kepala penisku dengan jempolnya. Sambil mengelus kepala penisku Laras mengocok batang penisku. 

Mula-mula Laras menggocok maju mundur dengan lembut, lama kelamaan kocokannya diputar ke kiri dan ke kanan dengan cepat seperti orang mengulek sambel. Akan tetapi karena posisi Laras di bawah, dia tidak leluasa dan aku merasa kurang nikmat. Laras minta sekali lagi agar aku yang berada di bawah. Aku jawab permintaan Laras dengan menjepit tubuhnya dengan kakiku dan memeluknya erat-erat. Kemudian aku berguling menjatuhkan diri ke samping kiri sambil mengangkat tubuhnya sehingga dia ada di posisi atas. Rupanya Laras tidak siap ketika aku berguling. 

“Auw… Hihihi…” Laras memekik lalu tertawa. “Ayah bener-bener nakal… Masa Laras dibikin kaget sih…”
“Kan Laras tadi yang minta di atas…” sahutku sambil meremas payudaranya dan memelintir putingnya. 

Laras menghentikan jawabanku dengan mengulum mulutku. Lidahnya mencari-cari lidahku. Setelah bertemu lidahku dikait-kait dengan lidahnya. Aku hanya memberi reaksi seperlunya. Aku biarkan Laras bermain-main dengan mulut dan lidahku, Sementara vaginanya digesek-gesekkan ke penisku. Penisku yang sejak tadi tegang dan keras berkali-kali menyodok klitorisnya. Laras bergerak maju mundur sambil mendesis-desis. Karena gesekan vagina dan klitoris Laras, penisku terasa hangat dan basah oleh cairan yang keluar dari vagina Laras. 

Ciuman Laras berhenti, bibir dan lidahnya menyusuri wajahku, mencium telingaku dan leherku. Gerakan lidahnya lincah sekali berpindah menyusuri kulit dadaku. Bibirnya mengecup dan menghisap-hisap putingku, sambil terus menggesekkan vagina dan klitorisnya di penisku. Kini Laras duduk sambil terus bergerak maju mundur sambil menekan penisku dengan vagina dan klitorisnya. Gerakan Laras makin cepat. Dia nampak merasakan nikmatnya gesekan vagina dan klitorisnya dengan penisku. Matanya terpejam sementara bibirnya mendesis dan mengerang. Kubantu Laras memenuhi kenikmatan yang diperolehnya dengan meremas-remas payudaranya serta memutar-mutar putingnya.

“Aahh.. Ayah… Nikmat sekali…” kata Laras sambil mempercepat gerakkannya. 

Tubuhnya melengkung bungkuk ke depan, lengannya bertumpu pada dadaku. Mukanya menunduk dengan mata terpejam. Bibir bawahnya digigit sendiri. Sesekali Laras mendongak ke belakang, lalu membungkuk lagi. Kugunakan tangan kananku untuk meremas payudara Laras dan memilin putingnya, tangan kiriku meremas-remas pantat Laras. Sesekali aku oleskan jariku ke bagian luar anusnya setelah aku basahi dengan ludahku, dan setiap jariku mengoles anusnya, Laras memekik. Gerakan Laras makin cepat dan liar. Rupanya dia segera akan mendapatkan orgasme lagi.

“Ayah… ah…ah..uh.. Laras mau pipis lagi…” 

Kembali tubuh laras mengejang beberapa saat, cairan vaginanya keluar dengan deras kembali. Pantatnya menekan ke bawah menjepit penisku dengan kedua bibir vaginanya. Klitorisnya terasa berdenyut-denyut kenyal. Laras yang lemas tak berdaya menjatuhkan diri di dadaku kemudian memeluku lalu dengan gemas diciumnya leher dan dadaku. Aku diamkan Laras untuk beristirahat. Sambil membelai dan menciumi kening dan matanya. Bagaimanapun juga dua kali orgasme tentu membuatnya lelah. Perlahan-lahan Laras membuka matanya dan tersenyum.

“Ayah… Ayah hebat…” kata Laras dibarengi senyum. “aku bisa keluar dua kali tanpa bersetubuh” 

Sepertinya Laras merasakan penisku kini kembali tegang dan terasa mengganjal tertindih tubuhnya, walau tadi sempat menurun kekerasannya tapi belum sampai benar-benar lembek,. Aku peluk Laras sambil mengelus punggungnya. Beberapa saat kemudian Laras mencium lagi leherku sambil disedot dan dijilat. Penisku yang mengganjal vaginanya kembali tergesek-gesek karena Laras mulai menggoyangkan pinggulnya. Gerakannya mula-mula pelan dan tidak teratur, lama kelamaan gerakanya kurasakan memutar ke kiri, kemudian ke kanan. Hal ini membuat penisku terasa nikmat.

“Ah… Laras…” aku mendesah. Aku tidak bisa melanjutkan perkataanku karena Laras segera mencium bibirku dan melumatnya. 
“Ayah nggak boleh boleh nakal lagi… Ayah harus nurut sama Laras. Laras nggak boleh dibalik di bawah lagi..” kata Laras sambil terus menggoyangkan pinggulnya.
Aku hanya menggangguk sambil mendesah menikmati gerakan dan gesekan vagina Laras di penisku. Laras kembali duduk sambil terus menggesekkan vaginanya di penisku. Kemudia, tanpa dikomando Laras mundur ke belakang kemudian bersimpuh di antara kedua lututku dan meraih penisku, lalu dikocoknya sambil kembali mengelus kepala penisku yang basah karena cairan orgasmenya sendiri dengan jempolnya. Tiba-tiba Laras sudah mengulum penisku. Lidahnya berusaha menari di dalam rongga mulutnya yang penuh dengan penisku. Usaha Laras untuk memuaskanku dengan oral cukup keras. Dia berusaha memasukkan semua penisku ke dalam mulutnya yang tentu saja tak akan bisa. baru separo saja penisku sudah memenuhi rongga mulutnya. Berkali-kali Laras hampir tersedak karena penisku menyodok tenggorokannya dan masuk ke dalam kerongkongannya. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika penisku masuk dalam kerongkongannya. Serasa dijepit dan dikocok benda lunak yang kenyal. 

Walaupun aku merasakan kenikmatan yang luar biasa dengan cara Laras meng-oral penisku aku merasa kasihan juga melihat dia berkali-kali hampir tersedak, aku raih lengan Laras dan aku tarik tubuhnya. Laras menggelengkan kepalanya sebagai tanda menolak dan ingin bertahan dengan posisinya.

“Aku juga pengen cium vagina Laras..” kataku, tapi Laras tetap bergeming, asyik dengan penisku. 

Lama-kelamaan pertahananku hampir jebol. Kocokan mulut dan kerongkongan Laras membuat penisku berdenyut-denyut. Segera aku duduk dan meraih badan Laras.

“Laras… Ayah udah ga kuat…” Kataku sambil meraih kedua lengan Laras. Penisku yang terlepas dari mulutnya tampak keras dan ujungnya berwarna kemerah-merahan.
“Ayah belum ejakulasi. Aku mau…“ protes Laras tak berlanjut karma aku aku lumat bibirnya. 

Segera aku posisikan Laras di bawah lagi dan dengan lembut aku cium dan aku hisap payudaranya. Kemudian aku tindih Laras sambil terus mengulum dan memainkan putingnya. Laras mendesis, dan aku bergerak menyusuri tubuhnya dengan lidahku. Saat sampai di vaginanya, dengan rakus aku hisap cairan yang merembes keluar. Lidahku kembali memainkan klitorisnya lalu memasuki liang vaginanya secara berganti-ganti. Laras menjerit kecil. Kepalaku dijepit dengan kedua pahanya sambil ditekan dengan kedua tangannya. Laras kembali terangsang hebat. Aku ingin memasukkan penisku ke dalam vaginanya
Aku segera bangkit dan kembali menindih tubuh Laras. Penisku yang sudah sangat tegang berada di bibir vaginanya. Perlahan aku gesekkan kepala penisku di klitorisnya. Laras mendesis sambil memejamkan mata. Dengan perlahan gesekan penisku bergeser ke bawah dan ujungnya masuk ke dalam vagina Laras. Laras menggigit bibirnya sambil meringis. Aku tarik kembali penisku dan pelan-pelan kembali aku masukkan. Walaupun liang vagina Laras sudah sangat basah, ternyata sulit juga penisku melakukan penetrasi. Vagina Laras masih sempit, atau kemungkinan besar masih perawan. Tusukan penisku kuhentikan. Laras membuka matanya dan tersenyum.

“Ayah… Pelan-pelan masukinnya ya…” kata Laras sambil mengelus dan meremas dadaku.

Aku jawab permintaan Laras dengan mendorong penisku sedikit lagi. Laras menahan nafas sambil berjengit. Sekarang sudah seperempat bagian yang masuk ke dalam vagina Laras. Aku cium dan aku kulum puting Laras. Laras membuka matanya. Kembali aku lihat senyuman Laras.

“Masukin lagi Yah… Tapi pelan-pelan ya…”
“Ya sayang… Ayah akan pelan-pelan masukinnya. Sakit ya..?” tanyaku sambil mendorong kembali penisku. Kini sudah separo yang masuk.
“Enggak sakit…” kata Laras sambil menggelengkan kepalanya. “Laras ingin Ayah masukin semuanya ke dalam… Auw…sshhh” Laras kembali memekik kecil ketika penisku aku tarik keluar perlahan dan aku masukkan lagi.

Aku tahu Laras kesakitan ketika penisku maju memasuki vaginanya lebih dalam lagi. Air matanya meleleh, tapi hebatnya, dia masih menyunggingkan senyuman. Aku kocok penisku pelan-pelan yang baru masuk setengahnya.

“Ayo... masukin lagi Yah… biar tuntas…” Laras kembali memintaku untuk memasukkan penisku lebih dalam. 

Aku kasihan melihat dia meringis kesakitan ketika penisku keluar masuk, walaupun baru setengah bagian. Aku luruskan tangan kananku agar bisa menopang tubuhku dengan posisi setengah tegak. Dengan demikian satu tanganku bisa leluasa mengelus vaginanya. Aku pijit-pijit dengan lembut klitoris Laras, kemudian jempolku aku putar-putar di klitorisnya. Laras melingkarkan kedua kakinya dipinggangku, dan tanpa aku duga, dia angkat pinggulnya dengan keras dan cepat sambil menekan pantatku dengan kedua telapak kakinya sehingga penisku masuk semuanya.

“Aaww…” Laras menjerit kesakitan sendiri akibat tindakannya itu. Wajahnya memerah menahan sakit.
“”Laras… Sakit ya…?” kataku sambil mencium bibirnya untuk menenangkan. “Ayah akan pelan-pelan supaya sakitnya hilang dan berganti dengan nikmat.”

Laras berusaha tersenyum walapun masih terlihat ekspresi kesakitannya. Aku diam sejenak agar vagina Laras menyesuaikan diri dengan penisku. Kemudian perlahan aku angkat penisku sampai keluar tiga per empatnya, lalu aku dorong masuk lagi. Laras masih menahan nyeri, terlihat dia menggigit bibir sambil meringis. Air matanya merembes keluar lagi. Aku tarik lagi penisku, lalu aku masukkan lagi berulang-ulang dengan pelan. Laras membuka matanya menatapku. Kuberi Laras senyuman yang dia balas dengan rangkulan mesra dan mencium bibirku. Gerakan penisku makin mantap keluar masuk vaginanya walaupun dengan kecepatan tidak sampai maksimal. Laras mulai menggoyangkan pinggulnya dan mendesah.

“Ayah… terus…”
“Nggak sakit kan sayang…” bisikku di telinga Laras sambil menjilatinya.

Laras tersenyum menatapku, kemudian diraihnya kepalaku lalu bibirku dilumat dan disedot. Lidahnya menari di dalam rongga mulutku. setelah yakin Laras tidak kesakitan lagi, aku percepat gerakan penisku sedangkan Laras juga makin mantap memutar pinggulnya. Kakinya tetap melingkar di pinggangku, sementara telapak kakinya yang ada di atas pantatku menghentak-hentakkan pinggulku hingga makin dalam tusukkan penisku di vaginanya. Laras terlihat sangat menikmati persetubuhan ini. Berkali-kali dia mendesah dan mengerang karena nikmat. Matanya kadang menatapku sambil tersenyum lalu terpejam menikmati tusukkan penisku di vaginanya.

Aku juga sangat menikmati goyangan pantat Laras. Vaginanya terasa sempit dan licin, sehingga menambah rasa nikmat yang muncul di batang penisku. Vagina Laras seperti mempunyai jari yang meremas penisku. Remasan vagina Laras makin nikmat ketika dia memutar pinggulnya. Penisku serasa disedot dan dipijit vagina Laras. Kaki Laras makin erat menjepit pinggangku dari sisi kanan dan kiri, sementara telapak kakinya makin kencang menghentakkan pantatku.

Kemudian aku mengambil posisi agak tegak dengan meluruskan tanganku yang bertumpu di springbed. Kembali aku pompa vagina Laras sambil bertumpu dengan jari kakiku seperti orang push up. Akibatnya, tusukkan penisku makin mantap dan makin dalam. Laras berkali-kali menjerit dan mengerang karena keluar masuknya penisku. Tangan Laras berusaha menggapai kepalaku. setelah didapatkan, kepalaku ditarik. Aku menjatuhkan diri perlahan sambil bibirku mengulum putingnya, lalu Laras memelukku dengan erat sambil meraih kepalaku kemudian menciumi wajahku. Bibirnya dengan ganas dan liar melumat dan menyedot bibirku, sementara goyangan pinggul Laras dan hentakan penisku di vaginanya makin cepat, bibir Laras dengan cepat mengulum telingaku hingga aku menggelinjang nikmat. Lidahnya menyusup di dalam daun telingaku dan mengkorek-korek lubang telingaku. Kurasakan vagina Laras sudah sangat basah dan semakin licin sehingga penisku makin mudah keluar masuk di dalamnya.

Kurasakan kaitan kaki Laras makin erat, hentakan telapak kakinya dipantatku makin keras, tetapi tidak langsung dilepas seperti tadi, melainkan waktu penisku menghujam di vaginanya, Laras menekan pinggulku akan lama dan tentu saja penis agak lama juga berdiam diri di dalam vagina Laras. Yang kurasakan saat penisku berdiam di dalam vagina Laras beberpa detik, terasa vaginanya makin hangat dan makin basah, hingga sampai suatu saat Laras memekik sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Penisku amblas seluruhnya di dalam vagina Laras. Apalagi ditambah tekanan telapak kaki Laras di pinggulku juga makin kencang. Pelukan Laras makin erat. Tiba-tiba kuku tangan kanannya yang tajam mencengkeram pundak kiriku sementara tangan kirinya mengkait erat leherku.

“Ayah… Sshh… Nikmat sekali Ayah… Laras pipis lagi…” teriak Laras di sela-sela orgasme yang ketiga.

Aku percepat kocokan penisku untuk menyempurnakan orgasme Laras. Mulutku mencari-cari putingnya lalu menghisapnya dengan kuat. Laras melenguh panjang lalu diam lemas tak bergerak.

“Kita istirahat dulu ya, Sayang… Laras capek kan..?” kataku sambil menciumi wajahnya lalu berhenti dengan membiarkan penisku tetap di dalam vagina Laras.
“Nggak mau…” Laras merengek manja.
Di tengah kelelahannya, tangan Laras kembali memelukku dengan kencang. Bibir dan lidahnya menyusuri muka dan leherku, sedangkankan kedua kakinya kembali melingkar pinggangku dengan erat. Rupanya Laras tak ingin aku berhenti mempompakan penisku di vaginanya. Kembali aku ayunkan pantatku untuk memompa vagina Laras.

“Ayah belum apa-apa, kan?” katanya lagi.

Penisku yang belum tercabut dari vaginanya digoyang dan dikocok vagina Laras. Gerakan pinggul Laras tak seganas tadi, lebih lebih lembut dan pelan tapi terasa sangat nikmat. Dengan semangat dan bergairah aku pompakan penisku ke dalam vaginanya, dan kembali Laras mengerang sambil meremas rambutku. Berkali-kali bibirnya mencari bibirku kemudian melumat dan menyedot. Lidahnya mengait lidahku. Kami saling hisap dan saling menggoyangkan pinggul.
Kembali aku mengambil posisi agak tegak dengan meluruskan kedua lenganku. Lalu aku raih kaki Laras satu per satu dan aku angkat ke depan dadaku lalu kurapatkan kedua kakinya kemudian aku tekuk lututnya. Dengan posisi ini, vagina Laras menyempit dan terasa lebih menjepit penisku. demikian pula gesekan penisku di vagina Laras lebih terasa. Laras berkali-kali mengerang dan menjerit.

“Ayah… Laras nikmat sekali… Sshh… Aahhh…” kata Laras di sela desahannya. “Ayah nikmat nggak…?”
“Iyaahh… nikmat sekali sayang…” sahutku.

Aku memompa vagina Laras dengan cara cepat dan pelan berganti-ganti. Kadang aku mengujamkan dengan keras penisku, kadang aku tarik dengan cepat tapi tidak sampai lepas kemudian aku hujamkan lagi dengan cepat dan keras. Erangan, teriakan dan desahan Laras makin sering dan makin keras terdengar. Hal ini membuat aku makin bergairan menusuk-nusukkan penisku. Apalagi kemudian badan Laras meliuk-liuk ke kakan dank e kiri seperti ular yang mengejar mangsanya. Aku percepat gerakan pinggulku memompa Laras lalu aku pelankan lagi.

“Ssshhh… Ayah nakal…ahhh…”
“Laras suka…?”
“Suka… Nikmat sekali Yah…” sahut Laras. “Aahhh… Ayah juga suka..? Aahhh… Ayah juga nikmat?” tanya Laras kemudian
“iyaaahhh… Ayah suka… ssshhh… Nikmat sekali sayang…”

Aku mencari klitorisnya dengan jari tangan kananku sementara tangan kiriku menahan kedua kakinya agar tetap tertekuk dan rapat di depan dadaku. Kemudian, aku elus klitoris Laras sambil terus mengocok penisku. Reaksi Laras sungguh luar biasa ketika jari dan jempolku mengelus dan memijit klitoris Laras yang tegang dan licin terkena cairan yang terus-menerus merembes keluar dari vaginanya. Erangannya makin keras. Pinggulnya bergoyang makin hebat. Tiba-tiba dengan kuat kedua tangannya mencengkeram tanganku yang mengesek-gesek klitorisnya sampai kuku-kuku tangannya menghujam ke dalam kulit lenganku. Rasa sakit dan perih akibat luka terkena tusukan kuku Laras lak kuhiraukan. Jari dan jempolku teruis mengelus dan meijit klitoris Laras dengan cepat.

Tubuh Laras meliuk-liuk tak karuan, kadang ke kanan dan ke kiri, lalu melengkung ke belakang, lalu membungkuk ke depan, lalu ke belakang lagi, ke depan lagi dan seterusnya. Akhirnya terdengar jeritan Laras yang sangat keras disertai gerakan tubuhnya yang mengejang dengan kuat sambil melengkung ke belakang. Kepalanya mendongkak, pinggulnya bergetar hebat sampai aku dapat merasakan penisku seperti dipijat dan digetarkan, lalu vagina Laras terasa sangat basah dan hangat. Selanjutnya aku melepas kedua kaki Laras yang tertekuk dan rapat di depan dadaku. Kaki Laras kembali membelit pinggangku. Selanjutnya aku peluk Laras sambil menggeser tubuhku sehingga pangkal penisku berada di bagian atas vaginanya.

Ini aku maksudkan agar pangkal penisku berada di bagian atas vaginanya sehingga klitoris Laras makin merasakan tekanan penisku. Genjotanku makin aku perkuat dan percepat. Jeritan Laras makin menjadi, gerakannya makin liar, sementara vaginanya makin kuat mencengkeram dan menggetarkan penisku. Vaginanya seolah memijat dan menghisap penisku. Penisku serasa diremas kemudian dipilin dengan benda yang sangat kenyal, licin dan hangat. Akibatnya penisku pun berdenyut-denyut. Rasa nikmat yang luar biasa mulai aku rasakan di ujung penisku, lalu perlahan menjalar menuju pangkalnya. Rasa nikmat itu kembali mengalir dari pangkal penisku dan dengan cepat menuju ujungnya.

“Laras… sshhhh… Ayah mau keluarrrr…” Kataku mengeksperesikan kenikmatan yang aku rasakan.

Laras menjawab dengan mengaitkan kakinya kembali ke pinggangku kemudian menariknya sehingga penisku menghujam makin dalam. Aku tekan vagina Laras dengan penisku dalam-dalam kemudian aku peluk Laras sambil kucari bibirnya lalu melumat dan menghisapnya kuat-kuat saat spermaku muncrat di dalam vagina. Laras memekik kecil karena semprotan spermaku mengenai dinding liang vaginanya.

“Oh… Ayah… nikmat sekali…”
“Iya sayang… nikmat sekali…."

Kemudian kami terkulai dengan posisi aku menindih tubuh Laras. Laras masih berusaha menciumi wajahku dan menghisap bibirku. Kubuka mataku dan menatap mata Laras. Kami tersenyum puas lalu kembali Laras mencium bibirku.
“Ayah cabut ya…?” kataku
“Jangan dulu… Laras masih ingin penis Ayah ada di dalam” jawab Laras. Maka aku biarkan sejenak penisku sampai mengendur dan mengecil di dalam vagina Laras. Beberapa saat kemudian aku berguling ke samping kiri Laras.
“Ayah puas…?” Tanya Laras samil memelukku.
“Puas sekali, Sayang…” jawabku.

Aku balas pekukan Laras dengan meletakkan tangan kiriku sebagai bantal kepala Laras sedangkan tanganku membelai wajahnya. Laras menelusupkan wajahnya di dadaku.

“Laras puas nggak..?” Tanyaku balik.

Laras tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil memejamkan mata kemudian menggigit putingku. Kami beristirahat sambil tiduran berpelukan. Perlahan kesadaran nalarku pulih. Aku menengok jam weker didital yang ada di atas nakas. Jam 14.36. Berarti sudah hampir sore. Aku lirik Laras yang meringkuk dalam pelukanku, ternyata dia sudah tidur.
Perlahan aku angkat kepala Laras dan aku meletakkan batal di bawah kepalanya, lalu aku bangun menuju kamar mandi. Tiba-tiba aku melihat pintu kamarku sedikit terbuka dan ada seorang di balik pintu. Sepertinya seorang perempuan. Orang itu dengan cepat menghilang dari pintu. Aku kejar orang itu sambil menyarungkan handuk di pinggangku. Sampai di pintu aku tidak melihat siapa-siapa. Yang jelas bukan isteriku, tubuh orang itu lebih pendek dari isteriku.

Ah… Siapa dia? Pembantuku kah? Di rumah ini hanya ada aku dua orang pembantu, seorang tukang kebun, seorang sopir, dua orang satpam dan Laras. Selain Laras, wanita di rumah ini hanya Ayu yang bertugas memasak dan Wiwid yang bertugas membersihkan rumah. Siapa dia? Ayu atau Wiwid? Aku tidak mungkin mengejar wanita itu lebih jauh. Aku segera menutup pintu dan menguncinya. Aku kembali ke tempat tidur.

Aku berbaring di samping Laras kembali. Aku tatap Laras yang tidur dengan nyenyak. Aku mencoba mengingat peristiwa yang aku alami dari pagi sampai sore ini. Apa yang baru saja aku lakukan? Menyetubuhi Laras, anak asuhku yang paling aku banggakan? Kenapa Laras mau dengan mudah menyerahkan kegadisannya? Mengapa Laras sangat ahli memanjakan nafsuku? Darimana dia belajar hubungan sex? Apa..? Kenapa..? Bagaimana…? Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku dan tak satupun dapat aku jawab.

Berbagai pertanyaan yang berkecamuk membuat aku ingat isteriku. Marahkah dia jika tahu? Ah, tentu saja isteriku akan marah jika tahu aku sudah menyetubuhi Laras. Haruskah aku menyesal…? Menyesal setelah menikmati tubuh perawan yang baru tumbuh? Perawan yang mempercayakan hidupnya kepadaku karena aku sudah mengangkat dia sebagai anak asuhku… Sungguh pengecutnya aku kalau sampai hal itu terjadi. Aku tak akan menyesali persetubuhan ini.

“Baiklah Laras… aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku...”

KEMELUT CINTA ALYA - Ranjang Yang Ternoda -9

Ternoda - “Selamat datang kembali, sayang.” Kata Alya sambil mendorong kursi roda Hendra masuk ke rumah.

Opi melonjak – lonjak gembira melihat ayahnya pulang, tapi pria yang duduk di kursi roda itu bereaksi negatif, dia diam saja tanpa ekspresi, tangannya bergerak lemah mengelus rambut Opi dengan wajah masam. Melihat wajah lesu suaminya Alya menggigil menahan emosi, ingin rasanya dia menangis melihat Hendra yang terus saja memperlihatkan ekspresi pahit terutama kepada dirinya, tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanya mampu memberikan dorongan doa agar suaminya itu bisa cepat sembuh dan kembali menjadi suaminya seperti Hendra yang dulu. Beberapa hari sebelum pulang Hendra sudah mulai bisa tersenyum dan bercanda, lalu entah kenapa, tiba – tiba saja senyum itu hilang dan berganti dengan kemuraman dan wajah penuh emosi yang tidak berkesudahan. Dalam hati kecilnya Alya merasa Hendra memendam kekecewaan dan rasa marah kepadanya, tapi kenapa?

Atas ijin dokter, Hendra sudah diperbolehkan pulang dan menerima rawat jalan, karena pertimbangan finansial dan kenyamanan, pihak keluarga membawa Hendra pulang hari ini. Sayangnya entah kenapa Hendra yang pada hari – hari terakhir memperlihatkan wajah optimis berubah total, ia terlihat enggan pulang ke rumah. Ketika Dodit menanyakan hal ini pada Alya, istri Hendra itu hanya bisa menggeleng dan mengangkat bahu tanda tak tahu. Alya sudah mencoba menanyakannya langsung tapi Hendra tak menjawab, ia bahkan menggeram marah ketika Alya terus bertanya. Itu sebabnya Alya memilih diam dan berpura – pura semua baik – baik saja. Ia yakin suatu saat nanti, Hendra akan kembali seperti semula. Paling tidak Hendra sudah pulang ke rumah.



“Tas – tasnya Bapak langsung dibawa ke kamar, Bu?” tanya supir yang membawa tas berisi baju dan perlengkapan Hendra.

“Iya, Mas Paidi.” Angguk Alya. “Letakkan saja di samping tempat tidur Bapak, nanti biar saya yang membereskan.”

“Baik, Bu.” Kata Paidi sambil bergegas membawa barang – barang itu masuk ke dalam rumah.

Paidi? Ya. Paidi yang dulunya adalah penjual bakso keliling kini telah resmi diangkat sebagai supir keluarga Hendra. Alya memutuskan untuk menyewa Paidi karena kondisi Hendra yang masih memerlukan perawatan secara intensif. Dia tidak mempercayai Pak Bejo untuk melakukan tugas – tugas yang penting lagi, itu sebabnya dia menyewa Paidi. Memang tidak mudah mempercayai orang yang baru saja ia kenal, tapi Paidi sudah mengenalkan diri dan jujur tentang masa lalunya. Setelah beberapa kali membeli bakso dan akrab dengan Paidi, Alya memutuskan bahwa lelaki tua kurus ini orang yang dapat dipercaya. Tentu saja Paidi tidak pernah mengatakan kalau dia adalah mantan napi sehingga memperoleh kepercayaan Alya.

Paidi memang orang asing bagi keluarga Alya, tapi mungkin akan lebih baik menyewa orang asing yang benar – benar membutuhkan pekerjaan daripada membiarkan pria brengsek seperti Pak Bejo merajalela di rumahnya. Masa lalu Paidi yang masih simpang siur, memang membuat Alya sedikit merasa was – was, tapi pada dasarnya setiap orang bisa berubah, kenapa tidak memberi kesempatan pada orang ini untuk membuktikan kesungguhannya bekerja pada Alya dan keluarga? Tentu saja Paidi tidak lantas dengan mudah menceritakan masa suramnya ketika harus mendekam di bui. Ia sengaja menyimpan cerita itu untuk dirinya sendiri, karena kalau sampai Alya tahu, sudah pasti dia tidak akan bekerja bagi ibu muda yang seksi itu lagi.

Karena berbagai pertimbangan pula, Alya meminta Paidi tinggal di kamar pembantu yang ada di kebun belakang, sebuah kamar yang terpisah dari rumah utama.

###

Paidi bersiul sambil membilas Toyota Avanza milik Alya dengan riang gembira. Lagu – lagu ceria ia dendangkan dengan siulan merdu. Ia akan membuat mobil ini bersih dan cantik seperti majikannya. Panasnya terik matahari yang bersinar tak membuat mantan napi itu gerah, ia bahagia sekali bisa bekerja sebagai supir pribadi Alya. Walaupun baru memperoleh pekerjaan itu selama beberapa hari, tapi Paidi berniat akan menjadikan pekerjaan ini pekerjaan terakhirnya. Kalaupun gagal dan dipecat, paling tidak sekali dalam hidupnya ia bisa tinggal di rumah yang sama dengan wanita secantik Alya. Siapa yang tidak ingin selalu berada di dekat seorang wanita yang semolek bidadari?

Paidi bekerja dengan gembira, ia mengoleskan sabun, membilas, menyemprot dan membersihkan mobil dengan perasaan berbunga. Pekerjaan sudah hampir selesai ketika hari mulai siang.

Saat itulah sebuah suara serak mengagetkannya.

“Siapa kamu? Ngapain kamu di sini?”

Paidi berbalik ke belakang dan melihat sesosok tubuh gemuk menghampirinya. Ini dia orangnya, Bejo Suharso. Orang yang ia lihat malam itu, preman kampung yang meniduri Alya di pos kamling tempo hari. Orang yang telah membuat kehidupan Alya berubah menjadi neraka. Pandangan kedua laki – laki itu segera beradu, tapi karena teringat statusnya sebagai orang baru, Paidi memilih untuk mengalah. “Nama saya Paidi, Pak. Saya supir baru di sini.”

“Supir baru?” Pak Bejo mulai gelisah, kenapa Alya menyewa supir baru? Apakah dia dengan sengaja hendak menyingkirkannya? Dasar lonthe tidak tahu diri! Sudah diberi kenikmatan malah mau membuangnya begitu saja! Perek itu harus diberi pelajaran! Pak Bejo berkacak pinggang, “ohhh… kalau begitu perkenalkan, nama saya Bejo Suharso. Saya tinggal di dekat sini.”

Kedua orang itu bersalaman dan memegang tangan masing – masing dengan sangat erat. Entah siapa yang memulai, keduanya beradu kuat saat bersalaman, seakan menunjukkan siapa yang memegang kendali. Pak Bejo kaget juga melihat kekuatan Paidi, ia tidak mengira supir kurus itu akan membalas jabat tangannya dengan sekuat tenaga.

“Kalau butuh apa – apa, bilang saja sama saya. Saya sudah sering bantu – bantu kok.” Kata Pak Bejo. “Keluarga Pak Hendra sudah saya anggap keluarga sendiri.”

“Iya Pak.” Walaupun kurus, Paidi tidak kalah kuat dibanding Pak Bejo. Supir baru Alya itu cuma nyengir sewaktu Pak Bejo menegangkan rahang tanda geram sambil menarik tangan dengan kasar.

###

Alya mendesah di ruang kerja, ia menatap layar netbooknya dengan malas. Pekerjaannya menumpuk. Ia memang sudah menduga perawatan Hendra di rumah sakit akan memakan banyak biaya dan waktu, tapi ia tidak menduga pekerjaannya yang tertunda akan menumpuk begitu banyaknya. Alya meregangkan tangannya ke atas, lelah sekali rasanya. Ah, seandainya saja Mas Hendra mau memijatnya…

Satu tangan gemuk tiba – tiba saja meraih pundak Alya dan mulai memijit bahunya yang pegal. Awalnya Alya mengerang lirih karena keenakan, tapi lalu terdiam saat tahu siapa yang datang.

“Capek ya, sayang? Tenang saja. Akan kubuat tubuhmu rileks supaya nanti malam bisa melayaniku sampai pagi.” Kata Pak Bejo sambil menurunkan kepala tepat di samping kepala Alya, tak lupa pria tua itu menyunggingkan senyum menjijikkan. Sambil terkekeh, Pak Bejo mengecup pipi Alya yang halus.

Alya berontak ketika ia sadar siapa yang datang. “Tidak perlu. Terima kasih. Pekerjaan saya banyak sekali hari ini. Pak Bejo ada perlu apa? Kenapa masuk ke ruang kerja saya? Jangan lupa sekarang ada Mas Hendra di rumah ini! Pak Bejo tidak boleh berbuat seenaknya lagi!” Alya berdiri dan melangkah menjauh dari Pak Bejo. Walaupun tubuhnya bergetar karena takut, tapi untuk pertama kalinya sejak diperkosa, ia berani melawan.

Pak Bejo geram, wajahnya memerah karena marah. “Begitu ya sekarang? Berani kamu melawan? Dasar lonthe! Habis manis sepah dibuang! Setelah semua jasa – jasaku selama ini, kamu berani – beraninya menyewa seekor anjing untuk menjaga rumahmu!?”

Ingin muntah rasanya Alya mendengar Pak Bejo memaki-makinya dan mengungkit-ungkit jasa yang sebenarnya tak ada artinya dibandingkan perlakuan kasarnya pada Alya. Tapi ibu muda yang cantik itu menahan diri dan berpura – pura bodoh. “Apa maksud Pak Bejo? Menyewa siapa?”

“Siapa laki – laki yang sedang mencuci mobil di luar?”

“Mas Paidi maksudnya?”

“Kenapa kamu menyewa supir baru?”

“Saya butuh supir.”

“Buat apa? Kan ada saya?”

“Saya butuh supir yang bisa mengantar Opi dan Mas Hendra kapan saja dibutuhkan. Pak Bejo belum tentu ada setiap hari. Lagi pula…”

Pak Bejo mendengus. “Aku tidak suka orang itu. Kamu pecat saja.”

Alya mengerutkan kening dengan marah. “Pak Bejo! Saya memang sudah Bapak peras habis – habisan, luar dalam, tapi saya tidak mau Pak Bejo mendikte apa yang boleh saya lakukan dan apa yang tidak! Saya bukan budak! Paidi saya sewa karena Mas Hendra masih belum kuat menyetir sendiri! Siapa yang akan mengantarkan Opi? Siapa yang akan merawat mobil? Saya…”

PLAK!!

Bekas tangan memerah terasa perih di pipi Alya.

“Lonthe tidak tahu diri!” geram Pak Bejo mendekati Alya. “Kalau aku bilang pecat ya pecat! Susah amat sih!”

Titik airmata siap menetes di pelupuk mata Alya, tapi istri Hendra itu berusaha tegar. Ia tidak akan mau lagi menjadi bulan – bulanan laki – laki bejat ini. Semua kejadian pahit yang telah menimpanya adalah karena ia dan suaminya menaruh kepercayaan terlalu besar kepada preman kampung ini untuk bisa keluar masuk rumah mereka. Hal itu tidak boleh diteruskan dan tidak boleh terjadi lagi! Cukup sudah!

“Pak Bejo…” desis Alya dengan segenap kekuatan, suaranya terdengar bergetar karena menahan diri dari rasa takut yang amat dalam. “Saya ingin Bapak segera keluar dari ruang kerja ini dan…”

Pak Bejo tidak tahan lagi. Dengan geram ia mendorong tubuh lemah Alya ke dinding. Pak Bejo menekan kedua tangan Alya di belakang punggungnya sendiri. Karena eratnya tekanan Pak Bejo, kedua tangan Alya terkunci dan tidak mampu digerakkan. Setelah tubuh molek Alya terkunci, Pak Bejo lantas menjepit leher Alya dengan lengannya yang gemuk. Istri Hendra itu tidak bisa bergerak. Ia mencoba berontak untuk melawan tapi sia – sia saja, tenaga mereka tidak sebanding. Perbedaan kekuatan jelas terlihat. Pak Bejo telah mengunci tubuhnya.

“Baiklah, manis. Aku tidak tahu sejak kapan kamu punya keberanian untuk melawanku. Apalagi kamu cantik sekali kalau sedang marah. Tapi…” Pak Bejo berbicara dengan nada pelan namun penuh ancaman. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Alya, si molek itu bahkan bisa merasakan hembusan nafas berat dan bau yang keluar dari hidung dan mulut Pak Bejo, “aku tidak akan mengulang lagi semua yang aku katakan, jadi aku ingin kamu mendengarkan aku baik – baik. Setuju?”

Alya mengangguk lemah.

Pak Bejo tersenyum menghina. Ia mencoba mencium bibir Alya, namun ibu rumah tangga yang cantik itu tidak mau membuka mulut, ia terus meronta dan menolak. Sayang desakan lengan Pak Bejo di leher sangat menyesakkan nafasnya, mau tak mau Alya merintih kesakitan. Ketika mulutnya membuka sedikit, lelaki tua gemuk itu langsung menempelkan bibirnya di bibir mungil Alya. Pak Bejo bahkan menggigit kecil bibir bawah wanita cantik yang hanya bisa meringis kesakitan itu.

“Besok…” kata Pak Bejo dengan suara berat setelah puas menciumi bibir Alya, “aku ingin tikus kurus itu mengepak semua barang – barangnya dan meninggalkan rumah ini. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu menyuruhnya pergi, yang penting aku tidak mau melihat muka jeleknya di tempat ini lagi! Mengerti?”

Alya diam, ia tidak menjawab.

Pak Bejo mendengus, ia mengecup bibir Alya beberapa kali lagi. “Huh. Alya… Alya… apa sih hebatnya orang itu sampai – sampai kamu mempertahankannya mati – matian? Memangnya dia itu siapa kamu? Jangan – jangan kamu juga sudah tidur sama dia? Dasar lonthe… sopir sendiri juga mau.”

Alya meronta lagi dan membelalakkan mata dengan marah. Ia geram namun tak bisa mengeluarkan kata – kata karena lehernya ditekan sangat keras oleh lengan Pak Bejo. Matanya berlinang, air matanya siap tumpah kapan saja.

“Aku kangen sama bibir kamu yang mungil itu. Bukan bibir atas lho, tapi bibir bawah. Ha ha ha ha!” kata Pak Bejo sambil tertawa terbahak. “Nanti malam semprot pakai parfum biar wangi, aku mau pakai kamu sampai pagi! Ha ha ha!”

“Apa ada masalah di sini?”

Terkejut dengan suara yang tiba – tiba saja muncul dan mengagetkannya, Pak Bejo melepaskan kuncian pada Alya. Setelah berhasil lepas, Alya langsung menghempaskan diri ke sofa yang berada tak jauh darinya dan terbatuk, ia duduk sambil berusaha menenangkan diri, nafasnya terasa sesak sekali. Alya memicingkan mata dan menahan lehernya yang sakit. Si cantik itu mencoba melihat siapa yang datang… Mas Hendrakah?

Bukan! Ternyata Paidi!

“Heh, supir! Mending kamu urus urusanmu sendiri! Apapun yang aku omongin sama Bu Alya sama sekali bukan urusanmu! Tahu!?” bentak Pak Bejo sambil melotot.

Paidi hanya tersenyum melihat pria bertubuh gempal itu membentaknya, mantan napi itu jelas bukan orang yang mudah digertak, ia menjawab bentakan Pak Bejo dengan tenang. “Bu Alya itu majikan saya. Tentunya sebagai karyawan yang baik dan mengabdi, saya tidak ingin ada hal – hal yang buruk menimpa beliau.” Pandangan mata Paidi menusuk tajam ke arah Pak Bejo. Keduanya saling menatap, siap mengeluarkan pukulan. Suara Paidi berubah menjadi geram, wajahnya mengeras. “Bukan begitu, Pak Bejo?”

Alya ketakutan sekaligus bingung melihat situasi ini, keributan sedikit apapun akan mengundang perhatian Mas Hendra yang sedang berisitirahat walaupun kamarnya jauh dari ruang kerja Alya, kedatangan Mas Hendra kemari saat itu adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan. Ia tidak ingin Hendra tahu perbuatan bejat Pak Bejo kepadanya selama ini. Alya mendorong Paidi dan Pak Bejo yang sudah sangat dekat dan saling mengancam agar menjauh satu sama lain. “Sudah! Sudah! Kalian bisa membuatku gila kalau begini caranya, tolong pelankan suara kalian! Mas Hendra dan Opi ada di dalam! Kalau kalian mau ribut, bukan di sini! Jangan sekarang!”

“Baiklah.” Pak Bejo mendesah, “tapi kalau boleh aku memberi usul, lebih baik supir baru ini diberi pelajaran tambahan soal tatakrama, Bu Alya. Apalagi di kampung kita dia bukan siapa – siapa. Aku tidak ingin ada hal – hal yang buruk menimpanya. Kecelakaan sering terjadi di wilayah ini.”

Paidi menggemeretakkan gigi dengan geram, dia tahu itu ancaman, tapi melihat wajah Alya yang menatap mereka khawatir, dia diam saja. Demi majikan yang sangat ia kagumi, Paidi mengalah.

Pak Bejo melangkah dengan penuh kemenangan meninggalkan ruang kerja, dengan sengaja ia menyenggol pundak Paidi sambil meringis menantang. Pak Bejo berjalan keluar rumah dengan bersiul – siul santai.

Tetes air mata mulai leleh di pipi Alya. Betapa lelahnya ia dengan semua ini, betapa inginnya dia lepas dari semua masalah yang membebani pikirannya. Perih pula rasanya tamparan Pak Bejo yang masih terasa menyengat di pipinya.

“Maaf kalau saya lancang, Bu. Tapi tadi saya sudah mencuri dengar percakapan Ibu dengan Pak Bejo, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Paidi dengan lembut. “Benarkah…”

Alya kaget mendengar pertanyaan nekat dari supirnya itu, ia bangkit dan mengusap air matanya yang menetes. Wajahnya yang cantik berubah menjadi ketus, “Dengar baik – baik, Mas Paidi. Aku ingin kamu tahu kalau aku bisa mengatasi semua persoalanku sendiri. Aku tidak suka karyawanku tahu rahasia – rahasiaku, jadi lebih baik kau lupakan semua yang kamu dengar hari ini, atau besok kamu angkat barang – barangmu dan pergi dari rumah ini! Mengerti?”

Paidi kaget, tapi ia lalu tersenyum lembut karena tahu tentunya saat ini Alya sedang kacau dan sangat kalut. Wanita jelita itu tentunya masih sangat terbawa emosi. “Saya tidak berani lancang. Tentu saya tahu apa yang harus saya lakukan, Bu. Saya tidak akan mengungkit kejadian ini lagi di masa mendatang. Ibu bisa percaya pada saya.”

“Bagus!”

Alya meninggalkan Paidi sendiri, ia berjalan keluar dengan langkah tegas, tapi getaran kaki Alya tidak bisa mengelabui Paidi.

Pria tua itu duduk di sofa dengan tenang sambil menatap kepergian majikannya yang jelita. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi besok, ia harus menolong si cantik itu lepas dari genggaman Pak Bejo yang bejat. Kalaupun ia harus dipecat karena usahanya, ia tidak akan menyesal karenanya.

Ia harus melakukannya, karena sejak melihat Alya di Pos Kamling malam itu, Paidi telah jatuh cinta.

Ia akan melawan Pak Bejo. Demi Alya.

###

Alya ambruk di ranjang kosong di dalam kamarnya dan menangis tersedu – sedu. Bagaimana caranya dia bisa lepas dari semua ancaman Pak Bejo? Dia tidak ingin disakiti lagi, dia tidak ingin diperkosa setiap hari. Tapi kalau dia nekat melawan Pak Bejo, dia khawatir akan keselamatan Opi dan Mas Hendra, belum lagi di rumah ini juga ada Anissa dan Dodit. Preman kampung seperti Pak Bejo selalu mengancam keselamatan keluarganya, oleh karena itu Alya tidak berani berbuat gegabah. Apa dia harus pindah rumah? Alasan apa yang sebaiknya disampaikan pada Hendra agar mereka bisa pindah dari lingkungan ini tanpa membuka semua nista yang telah ia perbuat? Bagaimana caranya meyakinkan Mas Hendra agar pindah ke tempat lain tanpa membuka aib bahwa istrinya sendiri telah diperkosa?

“Kamu kenapa?”

Alya berbalik, ia terkejut mendengar suara itu… suara Mas Hendra!

“Mas?”

Di hadapan Alya, Hendra yang sedang duduk di atas kursi rodanya tengah menyantap setangkup roti tawar dengan keju, ia baru saja kembali dari ruang tengah menonton acara TV kesukaannya. Walaupun wajah Hendra masih ketus dan sepertinya acuh tak acuh, tapi Alya senang sekali! Ini pertama kalinya sejak mereka pulang ke rumah suaminya mau menyapa!

“Kamu sudah lebih baik, Mas?” tanya Alya dengan semangat, “akan aku buatkan lauk untuk makan ya. Sepertinya Mas sangat lapar…”

“Aku tadi tanya kamu kenapa.” Nada suara Hendra sama sekali tidak enak didengar, ketus dan keras.

“A – aku tidak apa – apa… mungkin hanya kecapekan.” Jawab Alya dengan gugup.

“Ya sudah.” Hendra mengayuh roda kursinya dengan tangan, berbalik, dan meninggalkan Alya sendirian saja di kamar.

Alya menatap kepergian suaminya dengan wajah sendu.

“Mas…?”

Tidak ada jawaban, Hendra telah pergi tanpa mempedulikannya.

Alya menundukkan kepala. Tubuhnya ambruk ke lantai dan ia kembali menangis tersedu – sedu. Kenapa di saat satu hal kacau, yang lain juga jadi ikut berantakan?

###

Alya meregangkan tangannya yang pegal. Saat ini ia sedang duduk di kursi yang berada di beranda halaman belakang rumah, tempat yang langsung menghadap ke kebun belakang. Kebun belakang ini cukup luas dan dikitari oleh tembok tinggi yang mengisolasinya dari tetangga sekitar, tidak akan ada tetangga yang bisa melihat keadaan di kebun Alya yang asri. Hijaunya tanaman, harum wangi bunga yang semerbak, burung yang berkicau dan selintas hinggap, serta langit yang biru cerah, membuat suasana hati Alya lebih riang dari biasanya.

Hari ini wanita cantik yang juga seorang wanita karir itu sedang libur. Dodit dan Anissa pergi mengantarkan Mas Hendra check – up rutin di rumah sakit sedangkan Opi sudah diantar Paidi ke sekolah. Akhirnya ia bisa istirahat sebentar tanpa gangguan dari siapapun. Setelah beberapa saat melihat suasana kebun belakang yang menyejukkan, ibu muda yang jelita itu memutuskan untuk melakukan senam sebentar. Semua stress yang harus ia hadapi membuatnya lelah, ada baiknya dia melepas semua penat dengan berolahraga.

Alya mengenakan tanktop putih ketat yang menampilkan kemolekan lekuk tubuhnya, tanktop mungil itu hampir – hampir tidak sanggup menahan kemontokan buah dada Alya yang ukurannya cukup lumayan, ia memang sengaja mengenakan tanktop agar bisa lebih rileks berolahraga, karena ketatnya tanktop, Alya sengaja tidak mengenakan bra. Selain tanktop, sebuah celana ketat pendek yang juga berwarna putih ia kenakan agar lebih mudah bergerak. Paha Alya yang putih mulus bagai pualam terlihat sangat seksi dalam balutan seadanya celana mini yang sangat ketat itu.

Hari ini ia tahu tidak akan ada seorangpun yang bisa masuk ke rumah, termasuk Pak Bejo yang tengah pergi keluar kota karena ada urusan keluarga, jadi ia benar – benar sedang sangat bebas. Itu sebabnya dia berani mengenakan baju ketat ini.

Sambil memasang headset di telinganya, Alya menyalakan IPod untuk memutar lagu sembari ia berolahraga. Untuk beberapa saat lamanya, Alya berlari di tempat atau memutar kebun, melakukan peregangan badan, lalu berlari lagi, senam sebentar, angkat berat sedikit, meregangkan badan lagi, lalu berlari lagi. Ia melakukannya berulang kali, lebih lama dari waktu yang dianjurkan.

Seandainya ada orang yang melihat, mereka pasti akan heran melihat olahraga yang dilakukan Alya. Ada kesan kalau si cantik itu tidak hanya sekedar melakukan olahraga namun mendorong kemampuannya melebihi batas maksimal, seakan hendak menghukum diri sendiri entah atas alasan apa. Dampaknya jelas terlihat, karena memaksakan diri, keringat mulai deras mengalir di pelipis Alya, jauh lebih deras dari keringat biasa. Nafasnya kembang kempis dan tidak teratur, jantungnya juga berdebar lebih kencang.

Alya tidak mau tahu dengan kondisi badannya yang mulai tidak karuan, ia makin memaksakan diri. Ia hanya menganggap kalau itu semua terjadi hanya karena akhir – akhir ini ia jarang berolahraga. Sayangnya ia lupa kalau manusia tetap punya batasan. Tubuhnya terlalu lemah dan pikirannya sudah terlalu lelah. Ia tidak sadar kalau ia belum mampu berolahraga seberat itu.

Perlahan, Alya makin lemah. Badannya makin susah digerakkan. Pandangan matanya kian berkunang – kunang, semuanya jadi kabur. Kepalanya juga sangat berat dan pusing sekali. Entah kenapa rasanya Alya ingin tidur saat ini juga.

Lalu semuanya gelap.

Alya pingsan di kebun rumahnya.

###

Alya mencoba membuka matanya, tapi rasanya berat sekali. Ia mendengar suara seseorang memanggilnya. Di mana ini? Kenapa berat sekali rasanya bangkit dari tidur? Tunggu dulu… ini bukan tempat tidurnya, ia tidak sedang berada di ranjang, ia sedang berada di rerumputan… ia sedang berada di kebun! Ya! Alya ingat sekarang! Dia tadi pingsan karena kelelahan!

Perlahan fokus Alya mulai kembali, matanya terbuka perlahan, sinar terang seperti menembus ke dalam batok kepalanya, nyeri sekali. Untungnya Alya tidak perlu membuka mata terlalu lebar untuk tahu siapa yang datang.

“Bu Alya? Ibu tidak apa – apa?” tanya Paidi khawatir, keringat yang mengalir di tubuh Alya adalah keringat dingin. Paidi mengetahuinya ketika ia mencoba mengusap keringat yang menetes di dahi majikannya dengan menggunakan punggung tangannya. Paidi merinding ketika merasakan betapa lembut dan halusnya kulit wajah Alya. Paidi mengulang pertanyaannya ketika Alya tak segera menjawab pertanyaannya. “Ibu tidak apa – apa? Ibu bisa bangun?”

Alya mencoba bangun dan menggelengkan kepala, namun ia tidak tahan dan berbaring lagi. “Ohh, pusing sekali.” Keluhnya.

“Ibu berbaring saja. Biar saya yang membawa Ibu ke kamar!”

“Ti – tidak usah! A – aku…” belum sempat Alya menolak, Paidi sudah mengangkat tubuh Alya dan menggendongnya masuk ke dalam rumah utama. Kaget juga Alya melihat kekuatan sesungguhnya dari supir tua yang terlihat kurus, lemah dan keriput ini. Dengan sekali angkat, tubuh indah Alya sudah digendongnya. Karena lemah dan tak mampu bergerak, Alya hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Paidi. Untuk pertama kali, tubuh keduanya bersentuhan dengan sangat dekat.

Alya bisa merasakan kerasnya kulit Paidi yang berwarna gelap. Nafas pria perkasa yang sedang menggendongya terasa hangat menerpa wajah Alya. Mau tak mau Alya membuka mata dan menatap langsung wajah keras supirnya yang sudah mulai keriput. Paidi hanya mengenakan kaos yang tipis, liatnya kulit sang lelaki jantan itu membuat Alya merinding. Ia salah menduga, ia mengira supirnya itu adalah seorang pria lemah. Kini, dalam gendongannya, Alya merasa terlindungi dan mendapat kehangatan yang selama ini ia cari dari sosok suaminya, perlindungan dan rasa hangat yang sudah lenyap dari Mas Hendra. Eh, apa yang dia pikirkan? Alya memejamkan mata lagi. Gara – gara pingsan, pikirannya melantur kemana – mana!

Gejolak semangat Paidi bangkit ketika mencium harum wangi tubuh Alya. Paidi semakin kagum, tidak hanya cantik, Alya ternyata juga sangat harum. Namun yang membuat gairah kelelakiannya tak kuat bertahan adalah mulusnya paha Alya yang memang jenjang dan luar biasa indah. Sebuah kaki yang pas bagi tubuh yang sangat sempurna. Ia berusaha keras agar keindahan wanita yang sedang ia gendong tidak membuatnya kehilangan fokus. Ia harus tetap bertahan dan mengantarkan Alya ke kamar, jangan sampai jatuh hanya gara – gara tergiur kemolekan majikannya… tapi… ini benar – benar di luar dugaan Paidi, Alya mengalungkan tangannya di leher Paidi dan bergantung sepenuhnya kepadanya. Dada Alya yang montok dan tidak mengenakan bra itu kini menempel seutuhnya di dada Paidi! Dada Bu Alya! Dada yang selama ini ia impikan! Paidi meneguk ludah, toh ia lelaki biasa. Merasakan kenyalnya payudara Alya menempel di dadanya membuat lututnya ngilu, kalau saja tidak ingat situasinya, Paidi bisa – bisa ikut pingsan karena pelukan Alya ini!

Dengusan nafas Paidi yang kian menguat membuat Alya sedikit tidak enak, jangan – jangan Mas Paidi malu karena pakaian ketat yang ia kenakan? Apalagi dia tidak mengenakan BH! Habisnya… dia tidak mengira dia akan pingsan! Kalau dia tahu dia tidak akan mengenakan baju dan celana yang ketat dan minim seperti ini! Tapi ya sudahlah, tidak apa – apa, untuk kali ini saja. Apalagi Mas Paidi juga sudah menolongnya.

Akhirnya Paidi meletakkan Alya di pembaringannya yang kosong.

Alya menderu nafasnya yang masih tak teratur, begitu juga Paidi, walaupun untuk alasan yang lain.

“Te… terima kasih.” Kata Alya malu – malu. Ia mencoba tersenyum, wajahnya yang cantik mulai memerah kembali setelah sempat pucat selama pingsan tadi. “Aku khilaf. Berolahraga terlalu berlebihan, padahal tubuhku lemah karena tidak pernah berolahraga. Jadi merepotkan Mas Paidi saja…”

“Tidak apa – apa, Bu.” Paidi menundukkan kepala, ia tidak berani menatap langsung ke arah Alya, takut dia akan terpesona. Dia takut akan menubruk tubuh gemulai yang sangat menggiurkan itu dan memperkosanya saat ini juga. Tidak. Dia tidak boleh jatuh ke dalam perangkap nafsu seperti Pak Bejo. Alya terlalu indah untuk disakiti. Dengan suara lemah Paidi menjawab. “Sudah menjadi tugas saya sebagai karyawan ibu.”

Alya masih tersenyum, Paidi dan Pak Bejo memang dua orang yang sangat berbeda. Entah kenapa Alya jadi membandingkan Paidi dan Pak Bejo, dalam bayangannya, mereka adalah dua sisi mata koin yang berlawanan dilihat dari kelakuan keduanya yang sangat berbeda. Dan lihatlah pria ini! Begitu lembut dan sopan dalam pembawaannya yang sederhana. Mungkin itu sebabnya Alya jadi semakin tertarik pada sosok Paidi yang bersahaja. Wajahnya buruk, usianya lanjut, kulitnya gelap, tubuhnya kurus namun dia sangat kuat dan lebih penting lagi, berpikiran lurus.

“Mas… boleh saya minta tolong lagi?”

“Iya, Bu?”

“Tolong ambilkan minum di…”

“Oh iya! Maaf jadi lupa! Segera saya ambilkan!” Paidi yang tadi sempat khawatir pada kondisi Alya jadi lupa diri karena terpesona kemolekan sang majikan. Ketika teringat kalau tadi Alya pingsan iapun jadi malu sendiri. Bukannya merawat malah memperhatikan lekuk – lekuk tubuh majikannya! Dasar tidak tahu diri! Bergegas Paidi menuju dapur, mengambil segelas air putih dari dispenser, meletakkannya di tatakan lalu membawanya ke kamar Alya. “Ini Bu, maaf saya tadi…”

“Tidak apa – apa, Mas. Saya sudah enakan kok. Kalau nanti sore masih lemas, saya minta diantarkan ke dokter saja.”

“Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau ada apa – apa, panggil saya saja.”

“Iya, Mas. Terima kasih banyak.”

Paidi beranjak keluar kamar dan mengelus dadanya. Ia tidak sanggup lagi berlama – lama di kamar hanya berdua saja dengan sang bidadari. Kalau saja tadi pikiran jahatnya kambuh, ia pasti sudah menubruk Alya dan menelanjanginya! Ah, betapa senangnya hati Paidi ia sudah berhasil mengalahkan nafsunya sendiri… tapi… Alya memang benar – benar seorang dewi. Sangat cantik, seksi dan luar biasa mempesona. Dengan hati gembira mantan narapidana itu melangkah menuju kamarnya yang berada di kebun belakang.

Sementara itu, di dalam kamar, hati Alya menjadi berdebar tak menentu saat sosok tubuh Paidi berjalan keluar. Kenapa… kenapa ia jadi seperti ini? Kenapa rasanya ia ingin terus berada dalam pelukan hangat Paidi? Kenapa ia ingin selalu bersamanya? Kenapa rasanya ia tidak rela Paidi meninggalkannya sendiri dalam keadaan lemah? Tubuh Alya bergetar ketika ia mencoba melawan perasaannya sendiri yang tidak masuk akal itu, ia tidak ingin semua ini terjadi… tapi jangan – jangan… apakah ia sudah mulai tertarik pada supirnya sendiri? Ah tidak mungkin! Ia tidak akan pernah mengkhianati Mas Hendra, apalagi untuk seseorang seperti Paidi! Hilangkan jauh – jauh pikiran kotor itu!

Dengan geli Alya menggelengkan kepala. Ini pasti gara – gara pingsan tadi, pikirannya jadi kacau dan berkeliaran dengan liar.

Alya meminum air putih, memejamkan mata dan berusaha beristirahat.

###

“Haaaaaaaahhh!!!”

Hendra terbangun dari mimpi buruknya dan hampir saja terlempar karena terbangun dengan kaget. Ia mengambil handuk kecil dan menyeka keringat yang turun deras di dahinya. Nafasnya terengah – engah, berulangkali ia batuk kecil dan susah mengatur beratnya nafas. Tangannya mencengkeram erat gagang kursi rodanya ketika ia menatap foto pernikahannya dengan Alya yang ada di atas meja rias.

Hendra mendengus kesal, ia tidak akan pernah memaafkan Alya. Ia tidak akan pernah memaafkan Pak Bejo. Ia tidak akan pernah memaafkan siapa – siapa lagi! Tidak akan pernah!! Tidak akan pernah!!

Air matanya perlahan turun, ia tahu laki – laki sejati tak akan menangis, tapi hatinya begitu sakit, hatinya sangat terluka. Kenapa ia harus melihat secara langsung kemesraan antara Alya dan Pak Bejo? Kenapa? Kenapaaaa??

###

Jantung Alya berdegup kencang ketika ia sudah sampai di depan pintu kamar Paidi. Sendok dalam piring yang ada di tangannya sampai berderak kencang karena tangannya yang gemetar. Kenapa dia takut? Atau mungkin ini bukan rasa takut? Jangan – jangan ini gairah? Gairah yang sudah lama sekali tidak ia rasakan sejak pertama kali bertemu dengan Mas Hendra? Gairah yang sama ia rasakan ketika mereka pertama kali kencan, menikah atau bercinta? Kenapa dia merasa takut dengan gairah ini? Dia hanya mengantarkan roti kepada sopirnya. Kenapa dia harus takut?

Tangan mungil Alya pelan mengetuk pintu kamar Paidi.

Sosok kurus hitam yang ia tunggu akhirnya membukakan pintu. Karena tidak menduga Alya akan datang ke kamarnya, Paidi hanya berpakaian seadanya, ia tidak mengenakan baju dan hanya memakai celana pendek ketat.

“Ah, Bu Alya? Ada apa ya, kok malam – malam begini? Ibu mau saya antar keluar? Sebentar, Bu… saya ganti pakaian dulu…”

“Ti… Tidak usah, Mas. Tidak perlu, saya tidak mau keluar kok,” kata Alya. “Saya hanya ingin mengantar roti ini untuk Mas Paidi.”

“Terima kasih, Bu.” Jawab Paidi sambil meraih kemeja yang ada di atas kursi. Kemeja itu sebenarnya sudah dicuci, namun belum disetrika, ia memakainya karena tidak enak berhadapan dengan Alya dengan bertelanjang dada. Setelah memakai baju, Paidi menerima roti pemberian Alya dengan sangat berterima kasih.

“Boleh saya masuk?”

Pertanyaan itu mengagetkan Paidi, tapi Alya kan majikannya? Ia berhak masuk ke ruang mana saja di rumah ini. “Bo… boleh saja, Bu. Tapi kamar saya masih berantakan. Belum sempat dirapikan.”

“Ah, tidak apa – apa.” Alya pun masuk ke kamar Paidi setelah sopirnya itu mendahului untuk merapikan beberapa bagian kamar. “Se… sebetulnya saya kemari karena saya ingin berterima kasih pada Mas Paidi yang telah membantu saya beberapa hari yang lalu sewaktu saya pingsan di kebun.” Kata Alya sambil menyerahkan roti kepada Paidi.

“Lho, itu kan sudah tugas saya, Bu. Tidak perlu repot – repot seperti ini.”

“Terima kasih juga karena telah mengusir Pak Bejo malam itu.” Lanjut Alya dengan suara yang lirih.

“Ahhh…” Paidi menghela nafas. Ia meletakkan piring roti di meja, menarik sofa kecil dan mempersilahkan Alya duduk. “Pak Bejo sebenarnya patut diberi pelajaran karena telah bertindak kurang ajar terhadap Ibu. Kenapa tidak dilaporkan saja kepada Pak Hendra, Bu?”

Alya menggeleng dan tersenyum, “Mas Hendra sudah punya masalah yang jauh lebih berat dan menyita pikiran, kita tidak boleh membebaninya lagi. Aku juga tidak ingin Mas Paidi menceritakan peristiwa pingsannya aku di kebun kepada siapapun. Mengerti?”

“Mengerti.” Angguk Paidi. “Walaupun kalau menurut saya, preman seperti Pak Bejo tidak perlu diberikan kunci rumah ini.”

“Sebenarnya hanya Bu Bejo yang membuatku segan, Mas. Beliau sudah banyak membantu. Tanpa bantuan Bu Bejo, keadaan rumah ini pasti sudah berantakan.”

Paidi tiba – tiba terdiam. Dengan langkah pelan ia mendekati Alya, ia menatap wajah Alya dengan pandangan aneh, lama dan sangat lekat, membuat Alya menjadi tidak enak. “Kenapa, Mas? Ada yang aneh dengan wajahku?” tanya Alya risih.

“Ibu baru saja menangis?”

Alya tertegun. Pasti gara – gara kantung matanya. Ia menunduk. “Iya.”

“Kenapa?”

“Tidak apa – apa.” Jawab Alya sambil tersenyum.

Walaupun senyum itu sangat manis bagi Paidi, namun kegalauan hati majikannya lebih penting. Ia membungkuk di depan Alya dan berlutut. “Bu. Saya ini sudah Ibu bantu lebih dari cukup. Ibu sudah mengangkat derajat saya dari orang tak punya apa – apa menjadi memiliki segalanya. Ibu sudah menolong mengembalikan harga diri saya… sekarang, saya mohon. Jika ada masalah, ibu bersedia menceritakannya kepada saya karena saya akan membantu ibu sekuat tenaga.”

Kembali Alya hanya tersenyum. “Terima kasih atas tawarannya, tapi benar kok. Saya tidak apa – apa.”

Paidi mendesah kecewa, tapi ia lalu berdiri dan mengangguk. “Mudah – mudahan begitu, Bu. Tapi kalau ada apa – apa, silahkan Ibu minta saya untuk melakukan apa saja karena pasti saya akan mengerjakannya.”

“Terima kasih.” Alya pun berdiri dan siap untuk kembali ke rumah utama. “Ya sudah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mas?”

“Baik, Bu.”

Berat hati Paidi melihat Alya mengalami depresi dan menyimpannya untuk diri sendiri, seandainya bisa, dia ingin membantu, memeluknya dan memberinya kehangatan agar dia bisa merasa aman dan terlindungi.

Langkah Alya mendadak terhenti sebelum melangkah keluar kamar. Ia tidak berbalik namun dari gerak tubuhnya Paidi tahu kalau majikannya yang jelita itu gemetar mencoba menahan tangis.

“Bu…?” tanya Paidi sambil mencoba maju mendekati Alya.

“Semua yang aku lakukan salah. Mas Hendra tidak mau lagi bicara padaku, Pak Bejo selalu bersikap kurang ajar tanpa pernah mau berhenti, kakakku hilang entah kemana, adikku juga tidak bisa dihubungi. Semua yang aku lakukan salah, semuanya membuat aku bingung dan aku tidak ada tempat untuk menceritakannya. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Apa yang harus aku lakukan, Mas?” kepala Alya menunduk dan ia menangis tersedu – sedu. Walaupun awalnya ragu untuk bercerita kepada sopirnya, Alya kini membuka semuanya karena dia sudah tidak kuat menahan beban hidupnya. Kepada siapa dia akan berterus – terang kecuali kepada Paidi yang pernah menolongnya mengusir Pak Bejo.

Paidi menutup pintu dan memberanikan diri memutar tubuh Alya berhadapan dengannya. Wajah cantik itu kini berlelehan air mata. Dengan gerakan reflek, Alya memeluk sopirnya. Ia menangis tersedu – sedu di dada kurus Paidi.

Awalnya Paidi terkejut karena tiba – tiba Alya memeluknya, namun karena ia tahu ibu muda yang cantik itu tengah dilanda dilema, iapun membiarkan saja Alya luruh dalam pelukannya tanpa mengembangkan pikiran mesum. Berulangkali Paidi harus mengusir pikiran kotor karena dada Alya yang ranum amat rapat di dadanya. Wangi harum rambut Alya membuat Paidi terbang ke awan. Dengan berani Paidi mengelus rambut Alya untuk memberikan ketenangan. Ia biarkan si cantik itu menangis tersedu hingga selesai.

“Mas…” desah takut Alya melantun manja di telinga Paidi. Indah sekali bunyinya. Ia ingin Alya terus memanggilnya dengan nada manja. Isak tangis Alya mulai reda. Ia menatap ke atas, ke arah mata Paidi yang menatapnya lembut.

“Bu Alya…” Paidi dengan berani mencium kening majikannya yang gemetar takut dan menggenggam jemarinya.

Tangan mereka kembali bersentuhan, jari jemari Paidi erat menggenggam tangan Alya. Terlalu lama dan terlalu hangat. Mereka sadar hanya ada satu jalan untuk menyudahi ini semua, terjun ke dalam nafsu atau pergi tanpa berpaling. Alya hanya terdiam, tapi bola matanya yang indah menatap tajam ke arah Paidi, sopir itu tentunya tidak akan melewatkan kesempatan yang ada di depan mata. Ia bergerak maju sedikit, lalu sedikit lagi, lalu lagi. Wajah mereka kini sudah sangat dekat hingga hanya seukuran kuku jari.

“Bu Alya sangat cantik… sangat cantik sekali… selama ini saya selalu membayangkan bisa bersama dengan Ibu…” batin Paidi dalam hati.

Bibir mereka akhirnya bertemu. Mata Alya tetap terbuka lebar pada awalnya, namun ketika lidah Paidi yang melumatnya mulai bergerak, ia memejamkan mata untuk menikmati ciuman dari sang sopir. Alya melenguh kecil dan membalas ciuman Paidi. Mereka berdua saling mencium dan melumat, lama sekali. Keduanya sudah jatuh dalam jebakan nafsu. Mulut dan lidah bekerja bersamaan hingga menimbulkan rangsangan kenikmatan.

Kali ini Paidi sudah membulatkan tekad. Ia tidak akan berhenti apapun yang terjadi! Ia sudah tidak tahan lagi. Tubuh Alya terlalu indah untuk dibiarkan begitu saja melenggang di depan matanya! Ia harus mencicipinya! Sekarang juga! Peduli amat kalau nanti dia bakal dipecat atau bahkan dipenjara! Biar bagaimanapun dia mencoba menahan diri, dia tetaplah seorang lelaki normal yang membutuhkan kehangatan seorang wanita dalam dekapannya. Godaan yang hadir dalam bentuk bidadari bernama Alya ini terlalu berat untuknya.

Tapi saat ini Alya dalam kondisi sadar. Ia tidak mau mengkhianati suaminya lagi. Ia sudah berdosa karena telah menerima Pak Bejo dan mau – maunya diperlakukan seperti budak. Tidak! Hal semacam itu tidak akan terulang lagi! Apa yang ia perbuat telah membuat Hendra semakin jauh dan ia tidak mau semakin terjerembab lebih dalam ke lembah nista! Ia ingin lepas dari semua masalah seperti ini, bukan malah terjun ke dalamnya! Alya akhirnya berusaha menjauh dari sang sopir.

Ketika Alya berusaha mendorong tubuh Paidi, ia baru teringat betapa kuatnya laki – laki yang terlihat kurus dan lemas ini. Alya dilanda dilema. Di satu sisi perasaan Alya berusaha mengingatkannya agar segera tersadar dari godaan dan teringat pada suaminya, namun sisi yang lain lagi – sisi yang lebih menuntut dan lebih kuat - mengeluarkan semua pancaran nafsu birahi yang selama ini ia simpan. Pria ini begitu kuatnya sehingga membuat fantasi Alya melayang, apakah mungkin lelaki tua ini bisa memuaskan hasrat dan… ah… Alya menggelengkan kepala. Tidak! Dia tidak mau terhanyut. Dia adalah wanita karir yang terhormat, ibu rumah tangga yang baik dan istri yang berusaha untuk setia. Ia ingin bangkit setelah semua yang ia alami dengan Pak Bejo, Alya tidak mau jatuh lebih dalam ke jurang nista dengan menyerahkan tubuh ke supirnya sendiri! Sungguh tidak pantas!

Paidi mengangkat dagu Alya, mulutnya turun ke bawah. Dengan satu gerakan, supir itu sekali lagi melumat bibir Alya.

Semua sisi kesadaran Alya hilang. Beradunya bibir mereka membuat sentakan luar biasa yang menghapus penolakan dalam tubuhnya yang haus kasih sayang. Ia balik mencium Paidi. Keduanya kini melupakan pikiran yang kalut dan membiarkan hasrat kebinatangan mengambil alih. Esensi diri terdalam yang hanya menuruti kenikmatan membuat keduanya lupa diri, melupakan status mereka sebagai supir dan majikan. Melupakan status sebagai istri dan ibu. Membiarkan tubuh mereka mereguk kenikmatan terlarang. Nafsu mengambil alih jati diri mereka.

Lidah Alya bergerak lentur dan luwes seakan memiliki nyawa, bagaikan ular yang melata. Lidahnya menyambut kedatangan lidah lawan dengan tumbukan dan lumatan penuh nafsu yang menggelegak hebat. Alya mengingkari perasaan dalam dirinya sendiri, perasaan bersalah yang tiba – tiba saja menghinggap. Ini… terlarang! Tidak seharusnya ia melakukan ini! Ia sudah menikah! Ia… ia… ia pernah diperkosa… dan…

Batin Alya berkecamuk. Mata Alya menutup dan perlahan membiarkan nafsunya menggelora. Ia ingin melawan, namun gejolak nafsu yang ditumpahkan oleh Paidi membuatnya takluk. Ciuman Paidi sangat memabukkan dan membuat pikirannya melayang. Alya bingung, kenapa tubuhnya justru pasrah ketika pikirannya sangat kalut, ia tidak sadar bahwa tubuhnya ingin dibelai, ingin disayang, ingin menikmati indahnya permainan cinta yang bukan karena terpaksa.

Sudah lama sekali rasanya ia tidak dicium seperti ini oleh Mas Hendra.

Mas Hendra! Suaminya! Astaga! Alya terbangun dari fantasinya. Ia sedang dicium oleh laki – laki yang bukan suaminya! Mata yang tadi terpejam mendadak terbuka. Wajah yang ada di hadapannya bukanlah orang yang seharusnya berhak menikmati keindahan tubuhnya! Alya tengah menatap wajah Paidi! Supirnya! Paidi sedang menciumnya! Begitu kesadaran menguasainya kembali, Alya mencoba bangkit dan berontak tapi tangan kuat Paidi mengingkari perlawanannya.

“Jangan Mas… suamiku…” tangan Alya menghalangi tangan Paidi yang mencoba meraih buah dadanya. Rasanya seperti mengangkat tiang besi yang berat, hangat tapi berat. Usaha Alya gagal, Paidi berhasil menangkup buah dada kanannya. Pria tua kurus itu segera meremas, memilin dan menggoyang payudara Alya dengan bebas. Tidak ada perlawanan berarti yang dilakukan Alya. Si cantik itu malah semakin mendesah tidak berdaya.

Alya kecewa pada dirinya sendiri yang tidak kuat menahan godaan. Semudah inikah dia takluk pada Paidi? Orang yang tak lebih adalah supirnya sendiri? Orang yang ia angkat menjadi supir setelah sering berlangganan baksonya? Orang asing yang tidak dia kenal asal – usulnya! Alya tidak ingin dikalahkan semudah itu… ia tidak ingin… ia tidak…

Lidah Paidi masuk ke dalam mulut Alya dan pikiran si cantik itu kembali melayang ke awan. Semudah inikah dia takluk?

Paidi merasa bangga pada dirinya sendiri karena Alya - istri Hendra majikannya yang cantik jelita dan tadinya setia itu kini mulai menyerah. Tangannya yang kurus dengan berani meremas buah dada Alya yang montok, Paidi meremas dan memilinnya tanpa perlu takut. Walaupun sudah berstatus sebagai seorang ibu dan sudah digauli dua orang laki – laki lain, Alya masih memiliki payudara yang kencang dan kenyal. Paidi sangat mengagumi tubuh Alya, ia merawat tubuhnya dengan baik.. Lekuk tubuhnya masih sangat indah dipandang, ramping dan seksi. Kulitnya juga sangat halus dan mulus, kulitnya yang seputih susu membuat kenikmatan lain dalam menggelegak dalam hati mantan napi yang sudah sejak lama tidak bercinta itu.

Payudara Alya yang indah itu sama sekali tidak melorot walaupun sudah dinikmati Hendra dan Bejo, bahkan menjadi sumber ASI bagi seorang anak yang sangat manis. Paidi menikmati keindahan susu Alya sesuka hati. Ia menangkup, meremas, menggoyang, menimang dan membelai buah dada sang nyonya rumah tanpa ada perlawanan berarti. Jari – jari Paidi yang kurus menyentil puting payudara Alya yang masih berada di balik kaos dan BH yang ia kenakan. Karena kaos tipis yang dikenakan Alya berwarna putih, BH berenda warna ungu yang ia pakai saat itu bisa terlihat dengan jelas. Sambil terus menggoyang payudara sang bidadari, Paidi memberanikan diri menggigit bibir bawah Alya dengan lembut.

Wanita jelita yang ada di dalam dekapan Paidi itu menggeliat, mencoba melawan untuk yang kesekiankalinya. Namun pria kurus berkulit hitam itu masih belum melepaskan ciuman ataupun remasannya. Untuk yang kesekian kalinya pula, Alya kembali takluk pada ciuman Paidi.

Untuk beberapa saat lamanya, mereka berciuman dengan penuh nafsu.

Ketika Paidi akhirnya melepaskan remasan tangan pada susu Alya, si cantik itu masih tetap menghamba pada ciumannya. Tubuh Alya merinding dan menggigil karena tak kuat menahan nafsu. Paidi bukan orang bodoh, rangsangan hebat yang menaklukan Alya ini pasti berkat sentuhan ringan namun efektif pada pentil buah dada sang ibu muda. Sekali lagi Paidi meremas payudara Alya dan menggoyang puting payudaranya dengan jempolnya yang besar. Alya menggeram dan merintih, tubuhnya gemetar tersambar kenikmatan.

Alya mulai terengah – engah, ia kesulitan mengatur aliran nafasnya sendiri. Matanya yang tadi terpejam kini terbuka lebar, menatap pria yang bukan suaminya tengah menggumulinya dengan penuh nafsu. Bibirnya basah oleh lumatan bibir Paidi yang sedari tadi tak berhenti menciumnya, dadanya naik turun oleh nafsu birahi yang menggelora. Satu persatu pakaian Alya dilucuti tanpa ada perlawanan berarti. Ketika Paidi melepaskan BH dan menyisakan rok serta celana dalam, barulah wanita cantik itu kembali tersadar… ia sudah setengah telanjang dalam pelukan supirnya!

“Apa yang… apa yang telah aku lakukan?! Jangan!! Tidak! Aku tidak mau! Sudah…! Aku mohon! Kita sudah terlalu jauh dan… dan…” Alya kebingungan mencari kata – kata, ia tidak ingin mengucapkan kalimat vulgar yang hanya akan menambah nafsu Paidi. “Aku mencintai suamiku. Dia mencintai aku. Aku mohon… jangan tambah lagi dosaku…”

Tangan Paidi kini bisa menyentuh payudara Alya yang sudah telanjang. Alya menggeleng dan mencoba mendorong tangan sang supir. Usaha ibu muda itu tentu saja gagal, Paidi jauh lebih kuat dan Alya sama sekali tidak mengeluarkan tenaga, bahkan sepertinya dia menginginkan Paidi menyentuhnya! Dia ingin supir itu melanjutkan niatnya!

Payudara Alya segera tergenggam tanpa halangan oleh tangan buas Paidi. Diremas dan digoyangnya payudara istri Hendra yang jelita itu sesuka hati. Alya merintih tak berdaya, ia tak mampu mengontrol tubuhnya sendiri. Sensasi hangat serangan Paidi membuatnya tenggelam dalam kenikmatan dan tak ingin melawan. Yang dilakukan Paidi sama sekali berbeda dengan Pak Bejo yang memaksakan kehendak, Paidi membuat Alya keenakan sehingga justru Alyalah yang ingin meminta lebih. Alya berusaha melawan keinginan dirinya sendiri yang tidak tahan ingin segera membuka kaki lebar – lebar agar Paidi bisa memasukkan penisnya ke dalam… tidak! Alya tidak mau itu terjadi! Alya harus melawan!

Paidi menatap penuh pesona ke pentil susu Alya yang kini menjorok ke atas, benda mungil merekah itu seakan menantangnya. Sangat menggiurkan dengan warnanya yang gelap kecoklatan. Balon buah dada Alya bagaikan benda pusaka yang masih terawat rapi. Dia tak boleh membiarkannya sia – sia! Kepala Paidi segera turun ke bawah, bibirnya melumat tanpa ampun pentil susu yang sedari tadi terus menantangnya itu!

Alya melonjak kaget ketika mulut hangat Paidi menangkup puting payudaranya. Apalagi ketika bibir pria tua itu lalu mencium dan lidahnya menjilat seluruh balon buah dadanya! Akhirnya, tanpa dipaksa, Alya mendorong dadanya ke depan agar Paidi bisa lebih leluasa menikmati dadanya. Gigi Paidi bahkan menggigiti daerah ujung pentilnya, membuat sensasi kenikmatan menjalar dari dada ke seluruh tubuh, bahkan jari kaki Alya sampai merenggang karena keenakan!

“Oooooh!” lenguh Alya menahan nikmat.

Paidi menyeringai dan menggerakkan giginya dengan tenaga. Paidi bisa merasakan tubuh Alya yang gemetar dan menggelinjang karena rangsangan hebatnya pada puting susunya. Dengan sigap lidah Paidi melingkari pentil yang masih menonjol keluar. Hal ini membuat Alya makin salah tingkah, tubuhnya melengkung ke belakang, matanya terpejam dan tanpa sadar wanita cantik itu menghunjukkan buah dadanya ke mulut sang supir yang terus merangsangnya.

Bertentangan dengan apa yang ia rasakan, Alya menggunakan kedua tangannya untuk terus mendorong tubuh Paidi agar segera melepaskan pelukannya. Akhirnya Paidi bersedia mundur sesaat, ia melepaskan pentil payudara Alya, lalu memperhatikan wajah Alya, menikmati kecantikannya. Mata Alya sangat indah, bercahaya dan penuh pengharapan. Buah dada kirinya yang belum tersentuh terlihat gersang dibanding buah dada kanan yang terus menerus diserang sejak tadi.

“Sudah… cukup! Aku… tidak bisa melanjutkan ini semua, aku harus pergi!” pinta Alya dengan suara bergetar. Tangan si manis itu terus berada di pundak Paidi, menghalanginya mendekat. Tapi Alya tidak melakukan apapun untuk menutup payudaranya yang telanjang. Paidi kembali menyeringai dan menurunkan kepalanya ke dada kiri Alya.

“Jangan!” tangan Alya mencoba mencegah Paidi agar tidak mendekat. Namun tangan ramping Alya bukanlah penghalang berarti bagi supir tua berwajah buruk itu, dengan sigap ia menangkup pentil kanan Alya dengan mulutnya dan kembali menyebarkan sengatan kehangatan ke seluruh tubuh sang ibu muda.

Demi dewa… Paidi sungguh sangat kuat! Alya tak mampu berkutik. Si cantik itu hanya bisa megap – megap menggapai nafas ketika gigi Paidi mengunyah puting payudaranya, setelah pentil itu menonjol, lidah Paidi ganti menjilati sisi areolanya. Tubuh Alya melenting ke belakang, ia berusaha melepaskan dadanya dari mulut Paidi, namun belum sampai payudaranya bebas, Alya sudah terganggu oleh tangan sang supir yang dengan nakal menjelajah ke bawah roknya dan membelai ke atas menuju selangkangan!

Alya ingin melepaskan diri dari pelukan Paidi, sungguh dia telah berusaha, namun supirnya ini telah memakunya di atas sofa. Alya benar – benar tak berdaya di bawah rengkuhan sang lelaki kurus. Tubuh Paidi mengunci rapat kaki dan lengan Alya sementara gigi, bibir dan lidahnya merangsang habis – habisan puting payudara istri Hendra itu. Belum lagi rangsangan yang datang dari bawah roknya… apa yang bisa dilakukan Alya kecuali pasrah?

Tangan Paidi yang hangat berputar – putar di paha sang wanita pujaan, melaju ke atas tanpa halangan. Tangan hitam di atas paha putih mulus, sangat kontras. Paidi mengagumi seluruh tubuh Alya, paha yang ia sentuh ini dulu adalah milik suaminya seorang, sebelum akhirnya Alya jatuh ke jebakan maut Pak Bejo.

Ketika melihat Paidi lengah, Alya melawan lagi. Bayangan wajah suami yang ia cintai mendatangi benaknya dan ia melakukan semua yang ia bisa untuk mendorong sang supir. Tapi… tapi… ini enak sekali…! Mas Hendra sekarang berubah menjadi laki – laki dingin yang tak berperasaan, padahal Alya masih sangat membutuhkan belaian kasihnya! Apakah kini apa yang ia lakukan adalah hal yang salah? Membiarkan Paidi menguasai tubuhnya? Alya butuh kehangatan seorang laki – laki! Ia tidak mau terus menerus melayani Pak Bejo… ia ingin melakukannya dengan orang yang dia suka! Hasrat birahinya selalu bergejolak… Alya bingung saat ini, apakah dia diperkosa Paidi… atau justru membuka diri terhadap supirnya itu? Toh seandainya ia melayani Paidi, tidak akan ada orang yang tahu, kan? Batin Alya berkecamuk. Ini enak sekali… apa yang harus ia lakukan? Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ini memang enak sekali…

Tidak ada orang yang akan tahu, kan? Termasuk Mas Hendra!?

Saat perang berkecamuk dalam batin Alya, tangan Paidi leluasa masuk ke dalam celana dalamnya yang mungil dan membiarkan rok Alya tetap di tempatnya. Kini ia lebih bebas bergerak merangsang sang nyonya majikan! Tangan Paidi meraih tempat yang lebih atas dan Alya membiarkan laki – laki yang bukan suaminya ini membuka kakinya lebar – lebar. Tubuh wanita cantik itu menegang ketika Paidi menemukan bibir vaginanya yang lembut bagai sutra. Alya melonjak kaget saat sang supir mulai membelai bibir kemaluannya secara perlahan – lahan.

Ya Tuhan! Tidak seharusnya ia mengijinkan Paidi melakukan ini! Tapi batin Alya berkecamuk… benarkah dia yang mengijinkan? Paidi walaupun kurus jelas lebih kuat dan perkasa, bahkan mungkin lebih kuat dari Mas Hendra saat ia sedang sehat sekalipun! Tangan, bibir dan gigi Paidi dibiarkan bebas berbuat apa saja dengan tubuhnya, bagaimanapun caranya Alya menolak, ia tidak mampu menahan keinginan Paidi. Namun… ia juga tidak diperkosa… ia mengijinkan Paidi menggumulinya!

Sekilas rasa takut menyambar batin Alya. Setelah semua peristiwa mengerikan yang ia alami dengan Pak Bejo, ia tidak ingin kehilangan kontrol atas situasi lagi. Apa yang ia alami saat ini adalah karena ia kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Ia tidak ingin jatuh ke dalam kubangan yang lebih dalam. Hanya saja… saat ini, di atas sofa ini, Alya jelas tidak sedang mengontrol apapun. Sensasi birahi berlebih membuat tubuhnya lemah atas semua rangsangan. Alya tidak ingin mengkhianati suaminya… tapi apa yang Paidi lakukan sungguh membuatnya terbang ke awang – awang.

Satu jari telunjuk masuk ke dalam memek Alya.

Wajah wanita cantik itu memerah karena malu saat ia menyadari memeknya sudah mulai basah. Sangat memalukan menjaga harga diri di hadapan supirnya kalau memeknya sudah mulai membanjir seperti ini. Dari wajahnya yang tersenyum, Alya yakin Paidi juga sudah tahu hal itu. Tangan Alya meraih lengan Paidi, ia berusaha mendorong tangan itu meninggalkan tubuhnya. Tapi Paidi jauh lebih kuat, bukannya tangan Paidi yang terdorong menjauh, malah justru tangan Alya yang kini digenggam oleh sang supir.

Paidi membimbing tangan Alya yang halus ke dalam selangkangannya. Jari – jari lentik Alya segera bersentuhan dengan batang kejantanan yang hangat, besar dan panjang. Kaget, Alya menarik tangannya mundur. Si cantik itu terkejut dengan kehangatan dan kerasnya batang kemaluan Paidi. Alya tidak tahu sejak kapan Paidi mengeluarkan kemaluannya dari dalam celana. Paidi tidak menyerah begitu saja, supir nakal itu menarik kembali tangan Alya dan membimbingnya lagi ke kontolnya yang besar dan hitam. Kali ini Alya tidak melawan. Jari – jari mungilnya mengitari batang besar kontol Paidi.

Ukuran kontol Paidi ini pas sekali dalam genggaman tangan mungil Alya, ukurannya yang besar tidak cocok dengan postur tubuh Paidi, tapi sangat mempesona ibu muda satu anak itu. Urat – urat yang mengitari batang kemaluan Paidi berdenyut dalam genggaman tangan Alya, wanita cantik itu berusaha mencari cara untuk menghindari kekagumannya pada alat vital Paidi, namun seperti anggota tubuh yang telah dipasangi susuk, Alya tidak bisa melepas pandangan dari kemaluan Paidi. Ingin sekali rasanya Alya merasakan kontol Paidi itu di dalam memeknya, ia tidak yakin benda besar dan panjang ini bisa masuk seluruhnya, tapi… Alya tidak akan mengijinkan Paidi menyetubuhinya. Ya. Itu pasti. Tidak mungkin. Tidak boleh.

Tangan Paidi meraih pergelangan tangan Alya dan membimbingnya mengocok kemaluannya secara perlahan. Kontol Paidi yang hitam, besar dan panjang membuat Alya sangat terpesona. Penis Paidi memang tidak segemuk milik Pak Bejo, tapi lebih panjang dan sangat keras. Panjangnya melebihi milik Mas Hendra. Hitam… besar… panjang…

Setelah beberapa saat membiarkan tangan Paidi membimbingnya, Alya tidak membutuhkan dorongan apapun lagi untuk terus menikmati kemantapan alat kelamin Paidi, ketika Paidi melepas tangannya, Alya masih terus mengocok kontol pria kurus itu. Apa yang dimiliki supirnya itu seakan – akan mengingkari hukum alam, bagaimana bisa orang sekurus dan sehitam Paidi memiliki penis yang seperti ini? Begitu besar dan panjang… tangan Alya bergerak turun ke pangkal batang kemaluan Paidi, mengagumi ukuran kejantanan yang sebelumnya belum pernah ia lihat. Nafas Alya makin berat, nafsunya mengambil alih, birahinya makin meningkat. Alya tidak akan keberatan kalau benda ini dicoba dimasukkan ke dalam liang kenikmatannya… tapi… tapi…

Saat itulah Paidi mendorong jarinya yang panjang ke dalam bagian terlarang milik Alya. Terpengaruh oleh rangsangan bertubi, Alya mencoba menyikapi dengan kesadaran yang tersisa. Hanya ada satu konsekuensi yang akan ia peroleh jika mengijinkan Paidi melakukan rangsangan lagi, dan hal itu tidak boleh terjadi.

Alya berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Dia telah menikah. Dia mencintai Hendra, suaminya. Dia tidak mencintai Paidi, dia tidak mencintai Pak Bejo. Tubuhnya hanya milik Hendra, suaminya. Dia tidak boleh membiarkan ini semua berlanjut!

“Lepaskan aku!” tuntut si seksi itu. Tapi Paidi tidak menghiraukannya. Bibir pria hitam dan kurus itu masih terus memagut leher putih mulus milik Alya. Jari jemari Paidi menusuk lebih ke dalam. Kaki Alya menggeliat dan menjepit tangan Paidi, ia berusaha menarik tangan Paidi keluar dari selangkangannya.

“Ini sudah keterlaluan, kita tidak boleh melakukan ini! Aku ini istri orang!”

Paidi malah nyengir ketika dia diingatkan bahwa tubuh molek yang menggiurkan yang sedang menggeliat di bawah tubuhnya ini adalah milik laki – laki lain, tubuh seorang majikan bahkan! Dengan nekat Paidi memutarkan jarinya di bibir kemaluan Alya yang makin lama makin basah, lalu menusukkan jarinya itu ke dalam memek Alya lebih dalam lagi.

Ketika jari Paidi melesak masuk, tanpa sadar Alya meremas kemaluan Paidi dengan kencang. Penis itu begitu besar dan keras, Alya seakan tak mampu menggenggamnya utuh karena ukuran lingkarnya yang sangat besar. Dia tak pernah menduga orang sekurus Paidi memiliki penis yang sedemikian besarnya, ia sudah memperkirakan ukurannya, tapi penis milik Paidi ini melebihi semua imajinasi lliarnya. Batang kemaluan hitam besar milik Paidi berdenyut dalam genggaman tangan Alya yang halus, si cantik itu bisa merasakan denyut yang bergerak di urat yang bertonjolan di batang yang terisi oleh desakan darah dan sperma yang siap diledakkan.

Paidi menarik jarinya dan merubah posisi. Ia mengangkat tubuhnya sehingga Alya kini bisa melihat langsung ukuran sebenarnya batang kemaluan laki – laki yang baru saja menindihnya. Mata indah si cantik itu langsung terbelalak!

Luar biasa besarnya!

Jauh lebih besar daripada milik Hendra atau bahkan Pak Bejo!

“Ya Tuhan!” desis Alya yang terkejut.

Paidi nyengir. Dia bangga dan bahagia melihat reaksi majikannya yang terkejut saat melihat ukuran kontolnya. Reaksi jujur yang ditunjukkan oleh Alya sungguh sedap baginya. Rasa ketakutan karena tak ingin ketahuan, perasaan bersalah, nafsu yang menggelegak yang sangat terlihat di wajah Alya adalah keindahan sempurna bagi Paidi. Inilah yang membuatnya terangsang hebat.

Alya memang bukan seorang perawan, tapi Paidi memperkirakan tusukan pertama penetrasinya akan seret sekali, karena walaupun sudah pernah berkali – kali melayani nafsu binatang Pak Bejo, memek Alya masih sangat mungil.

Alya memandang penis Paidi dengan penuh ketakutan sekaligus kekaguman. Seakan ia berhadapan langsung dengan seekor ular kobra dan takut untuk menggerakkan tubuh sedikitpun. Bagi Paidi, menyaksikan konflik batin ibu muda yang jelita itu sungguh suatu kenikmatan yang tak terkira.

“Apakah ini yang anda inginkan selama ini?”

Alya menatap Paidi bingung, apa maksud kata – katanya itu?

Paidi tersenyum dan mengulangi lagi ucapannya, “setelah selama ini ditiduri oleh laki – laki lemah seperti Pak Hendra dan laki – laki brengsek seperti Pak Bejo… apakah ini yang ibu inginkan? Kejantanan sejati seperti ini?”

Wajah Alya memerah karena malu. Ia marah dan kesal pada sikap Paidi yang arogan, tapi memang benar apa kata supirnya itu – Alya sangat tertarik mencicipi kejantanan milik Paidi yang luar biasa besarnya. Warna merah jambu karena malu menutup pipi hingga ke dada Alya. Kejantanan sejati… kejantanan sejati… kata – kata itu terus berulang di otak Alya yang dipenuhi kekalutan.

Tidak mungkin ada penis sebesar itu! Terlalu besar! Ini semua pasti rekayasa! Batin Alya dalam hati. Kalau mau hiperbola, tidak mungkin ada penis yang batangnya hampir sama besarnya dengan pergelangan tangan Alya! Ketika Paidi berpindah posisi dan kedua tangannya kini berada di bawah rok Alya, ibu muda yang jelita itu bisa melihat dengan jelas batang penis Paidi!

Alya terbata – bata melihat panjang penis Paidi. Tidak akan muat! Benda ini tidak akan muat masuk ke dalam kemaluannya yang mungil! Benda itu akan menghancurkan rahimnya! Batin Alya lagi.

“Terlalu besar…” desis Alya perlahan. Nafasnya kembang kempis, ada desakan berat di dalam dadanya, di tenggorokan dan dalam pikirannya. Panas menghentak – hentak membuat birahi Alya meninggi, ada kehausan luar biasa yang ditimbulkan pemandangan indah yang diberikan Paidi pada lubang kemaluan Alya. Paidi tersenyum penuh kemenangan ketika dia menarik celana dalam Alya, wanita cantik itu menggerakkan pinggulnya tanpa sadar, memudahkan Paidi melucuti celana dalamnya yang mungil.

Alya telah menyerah kepada supirnya…

Alya telah ditaklukkan…

“Ya Tuhan! Apa yang… suamiku…”

Paidi tersenyum, lagi – lagi laki – laki kurus berkulit hitam itu menempelkan bibirnya ke bibir tipis Alya, mengatupkan mulutnya ke mulut Alya dengan satu ciuman penuh nafsu. Apapun kata – kata yang hendak diucapkan Alya, semua permohonan dan penolakannya, luruh oleh ciuman itu. Alya menggeser kepalanya mencoba menghindar dari ciuman Paidi, tapi gerakan itu justru membuat Paidi mendapatkan akses ke arah telinganya yang seputih pualam. Setelah gagal mencium Alya, perhatian Paidi beralih ke arah lain. Bibir dowernya menyosor ke daun telinga Alya. Lidah supir itu bergerak lincah menjelajahi tiap sudut bagian dalam telinga Alya. Tubuh wanita cantik itu menggelinjang geli ketika merasakan sentuhan lembut lidah Paidi pada telinganya. Lidah Paidi bergerak lincah membuai Alya sementara tangannya bebas bergerak di bawah roknya. Jari – jari nakal milik lelaki kurus itu membelai tiap jengkal paha putih milik istri majikannya.

Paidi tidak berhenti di bibir Alya, lidahnya menjilat pipi dan telinga si cantik itu, masuk ke dalam daun telinganya, memutar dan merasakan tiap sisi kecantikan parasnya. Dada kurus Paidi bisa merasakan kehangatan yang dihadirkan buah dada Alya yang menempel kepadanya, mendorongnya naik turun seiring emosi dan nafsu yang menggelora di badan sang ibu muda. Alya tidak bisa menghindar dari rangsangan hebat yang dilakukan Paidi pada telinga dan pipinya, tubuhnya bergetar dan menggelinjang. Tangan Paidi merenggangkan kedua paha Alya, mengangkat roknya sampai ke lekuk pinggul.

Pria itu memposisikan dirinya di antara kedua kaki sang majikan.

Alya menyadari bahaya yang tengah ia hadapi. Godaan lidah Paidi yang terus menjilati wajah dan telinganya tak berbelaskasihan… sekaligus menggairahkan. Lelaki kurus berkulit gelap itu benar – benar tahu bagaimana caranya membuatnya bergairah! Sangat nakal, sangat… terlarang. Alya memiringkan kepala, membuat telinganya jauh dari jangkauan lidah Paidi, ia menatap pria yang tengah menggumulinya dan hendak memintanya berhenti. Ia menatap mata Paidi… mata yang penuh dengan hasrat dan nafsu.

Nafsu birahi untuk menggauli tubuh indah majikannya.

Batin Alya dipenuhi perasaan yang berkecamuk dan menggelora. Dia bingung, jantungnya berdebar kencang dan nafasnya kembang kempis naik turun. Bukannya menolak laki – laki yang bukan suaminya, Alya malah menggoyang pinggul karena tak tahan godaannya. Ia malu sekali. Ia ingin memaki – maki dirinya sendiri yang tak mampu menahan birahinya, namun ketika mulut Paidi mencium bibirnya, Alya tak mampu melawan sedikitpun. Bibirnya yang indah membuka sedikit untuk menerima serangan nafsu dari sang supir. Ketika lidah Paidi masuk ke dalam mulutnya, lidah Alya menyambut dan keduanya segera bertemu dalam pertempuran nafsu.

Ujung gundul penis Paidi menyentuh bibir vagina Alya, batang kemaluan laki – laki tua itu siap dilesakkan ke dalam liang cinta sang ibu muda yang jelita. Mata indah milik Alya menyala karena kaget. Dengan pandangan bingung, wanita cantik itu menatap mata buas penuh nafsu milik Paidi yang sedang memeluk dan menciuminya.

Paidi menatap mangsanya dengan senyum penuh kemenangan. Dia sangat menyukai saat – saat seperti ini, saat di mana wanita yang hendak ia tiduri menatap tak percaya kepadanya. Mata Alya terbelalak lebar karena tahu penis hitam milik sang supir sudah siap masuk ke dalam liangnya yang mungil. Paidi mendorong pantatnya ke depan dan melepaskan ciuman dari mulut Alya.

“Ja – Jangan! Jangan…!! Kamu tidak boleh…” Alya mencoba melawan.

Paidi menusuk lagi. Akhirnya ia benar – benar menembus gerbang kewanitaan Alya.

“Ahhhhhhhh!!!” jerit Alya tertahan.

Ia lalu berhenti. Paidi kaget sekaligus senang ketika tahu bahwa memek Alya ternyata masih cukup sempit dan rapat, batang penisnya yang masuk ke dalam liang kenikmatan Alya seperti dihimpit oleh dinding basah yang rapat dan nyaman, memberikan kehangatan yang lain daripada yang lain. Setelah tidur dengan Hendra dan Pak Bejo, memek mungil itu masih tetap seperti milik seorang pengantin baru. Paidi menggerakkan badan ke depan, menusukkan kontolnya ke memek Alya lebih dalam lagi.

Masuknya batang penis Paidi yang menjajah vaginanya sedikit demi sedikit membuat Alya secara refleks membuka kakinya lebar – lebar. Paidi mengangkat pinggul Alya yang seksi dan mengangkatnya tinggi sementara dia melanjutkan niatnya menumbuk sang bidadari. Hampir tiga perempat bagian batangnya sudah masuk ke dalam, melewati bibir vagina Alya yang basah dan merah. Paidi menusuk sekali lagi, menambah kedalaman batangnya.

“Ooooooh… jangan… aku tidak kuat lagi!”

Paidi tertawa penuh kemenangan dan mendorong kemaluannya lagi. Pinggul Alya mulai tersentak – sentak tak teratur di bawah pelukan sang supir, kakinya yang jenjang meronta – ronta. Alya mencoba mendorong tubuh Paidi, ia mencoba memberontak meskipun semuanya sia – sia, Paidi masih tetap bertahan. Justru karena Alya memberontak, batang kemaluan laki – laki kurus itu makin membenam di dalam liang cintanya. Akhirnya si cantik itu menyerah, batang kemaluan sang supir sudah terlalu dalam terbenam dan memeknya sudah menangkupnya dengan erat, tak akan ada gunanya melawan apalagi mencoba mendorong Paidi. Dia harus rela disetubuhi Paidi.

Kalimat itu membuat gemetar seluruh tubuh Alya. Dia tak mampu berbuat apa – apa lagi! Dia hanya bisa pasrah! Dia akan segera disetubuhi supirnya!

Nafsu birahi yang bercampur dalam benak sang ibu muda membuatnya sangat bergairah. Ada perasaan aneh yang menyapu tubuh Alya, gairah sensasi birahi yang menyelimuti dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Ia mulai terbiasa dengan ukuran kemaluan Paidi. Memeknya yang terus disiksa oleh kenikmatan mulai lengket pada batang penis sang supir, dinding memek Alya mulai merenggang dan menyesuaikan dengan ukuran penis yang menginvasi.

Namun… ketika Alya sudah bersiap, tiba – tiba saja Paidi berhenti.

Setelah beberapa detik tanpa ada gerakan, Alya akhirnya sadar Paidi sudah berhenti menusuk. Ketika mata indah ibu muda yang cantik itu melihat ke tubuh yang menguasainya, Paidi rupanya tengah terdiam dan menikmati saat – saat yang sangat diimpikannya, yaitu saat penisnya masuk ke dalam memek Alya. Vagina Alya meremas batang penis yang ditusukkan ke dalam, menyebarkan sentakan birahi ke seluruh tubuh Alya. Wanita cantik itu puas sekaligus malu karena bagian dalam tubuhnya seakan membelai batang kemaluan Paidi. Bagaimanapun caranya Alya mencoba untuk mengendalikan tubuhnya sendiri.

Ketika Alya melihat ke atas, ia melihat Paidi menatapnya tajam, merekapun saling bertatapan. Wajah Alya memerah karena malu.

“Su… sudah semua? A… apa sudah masuk semua?” tanya Alya.

Paidi menyeringai. “Belum.”

Pria kurus berkulit gelap itu mengeluskan tangannya di lekuk pinggang Alya, menikmati kehalusan kulit sang bidadari, naik ke atas, lalu menggenggam erat lengan mungil ibu muda itu.

“Belum, ini belum masuk semua,” tambah Paidi. Ia ketawa dan menusuk lagi.

Betapa nikmatnya melihat wajah Alya yang terkejut oleh jangkauan tusukannya. Kali ini Paidi memeluk erat Alya supaya posisi mereka tidak berubah dan ia bisa menusuk lebih dalam. Paidi sangat menyukai cengkraman vagina Alya yang seperti sarung tangan erat menangkup batang kemaluannya. Tusukan penis panjang itu bagai melawan dinding rahim Alya dan menembus terus ke dalam rintangan yang sebelumnya belum pernah ditembus oleh penis lain.

“Ooooooh… Ya Tuhan… oooooh.” Desah Alya.

Paidi melepas satu tangan dan meraih rambut panjang Alya, ia menjambak rambut si cantik itu dan membuat kepalanya tertarik ke belakang. Alya berteriak kesakitan, tapi rasa sakit itu seiring dengan gelombang nikmat sodokan di selangkangannya. Vagina Alya meremas penis Paidi tiap kali benda panjang yang keras itu masuk dan mencoba menjajah ke dalam.

Beberapa sat kemudian, Alya bisa merasakan tamparan kantung kemaluan Paidi yang mengenai pantatnya. Saat itulah Alya sadar, kalau kantung kemaluan Paidi telah menempel di pantatnya, itu artinya batang kemaluan sang supir telah masuk seluruhnya ke dalam memeknya! Secara insting, Alya mulai menggoyang pantatnya.

Paidi menatap ke bawah, dia menikmati kecantikan alami Alya, dia menikmati halusnya leher jenjang Alya, dia menikmati matanya yang melebar dan nafasnya yang kembang kempis. Mata si cantik itu kabur, Paidi memberi kesempatan pada Alya untuk mengembalikan kesadaran, ketika akhirnya mata indah itu menatapnya tajam, Paidi tersenyum penuh kemenangan pada Alya. Wanita cantik itu membalasnya dengan senyuman lemah.

“Sekarang,” kata Paidi, “saatnya menikmati memek Bu Alya.”

Mata Alya terbelalak melebar, dia terkejut oleh situasi dan kata – kata kasar yang dikeluarkan sang supir. Tapi Paidi lebih terkejut lagi ketika dia merasakan kaki jenjang Alya melingkar di pinggangnya.

Paidi tersenyum lagi, kali ini Alya membalasnya dengan gugup.

Lalu Paidi mulai menyetubuhinya.

Alya melenguh dan mengembik penuh nafsu ketika Paidi menarik diri dan kemudian menusuk dengan kekuatan penuh. Berulang kali Paidi mengangkat pinggulnya dan menjatuhkan diri ke dalam selangkangan Alya yang terbuka lebar. Paidi menikmati kelembutan paha dalam Alya yang bagaikan sutra ketika majikannya ini mengikat pinggulnya dan menariknya ke bawah. Majikannya yang seksi takluk akan kenikmatan birahi di bawah pelukannya! Apakah ada yang lebih nikmat daripada ini?

Tentu saja ada, bagi Paidi, kenikmatan puncaknya adalah ketika dia menyemburkan spermanya dan berharap ia bisa menghamili wanita sesempurna Alya. Itu akan jadi hal yang terindah baginya.

Paidi merenggut pundak Alya dan menikmati tiap jengkal kedalaman memeknya, ia terus mendorong penisnya dan mengobrak – abrik memek yang seharusnya hanya menjadi milik suami wanita cantik yang kini meringkuk dalam pelukannya. Bagi Paidi, sesaknya memek Alya adalah surga yang menjadi nyata.

Kenikmatan yang terlalu berlebih membuat Alya tak kuat lagi, ia melolong ketika cairan cintanya mengalir. Ratapan yang keluar dari mulut Alya bertolak belakang dengan orgasme yang keluar dalam liang kenikmatannya. Paidi merasakan getaran pada tubuh indah yang kini berada di bawahnya, ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan lagi genjotannya.

“Jangan Mas… sudah… sudah cukup… aku sudah keluar… sudah…”

Paidi hanya tertawa dan meneruskan gerakan maju mundurnya.

“Oh Tuhan! Sudahlah, Mas! Sudah cukup… aku tidak kuat lagi… kamu dengar tidak? Aku sudah keluar… aku tidak kuat…”

Paidi tidak mempedulikan rengekan Alya dan meneruskan gerakannya. Alya menggeliat dan meronta, mencoba mendorong tubuh Paidi. Tapi pria kurus itu lebih kencang memegang tubuhnya, ia juga lebih kuat dan lebih bernafsu. Tiba – tiba saja tubuh Alya mengejang, dengan satu lolongan kalah, Alya sampai di puncak kenikmatannya yang kedua. Wanita cantik itu tersentak – sentak dan bergetar akibat sensasi luar biasa yang berasal dari tubuh bagian bawahnya. Si cantik itu tidak percaya, kaget dan terkejut… belum pernah ia mengalami hal seperti ini sebelumnya…

Alya ambruk dalam pelukan Paidi, kalah dan pasrah. Tidak ada gunanya melawan. Paidi meneruskan aksinya menggoyang dan menusuk memek Alya sekuat tenaga, memberikan serangan bergelombang di antara selangkangan sang wanita idaman yang mengikat pinggulnya dengan kaki yang jenjang.

Gelombang orgasme membuat Alya lemas, ia tidak lagi melawan dan membiarkan Paidi melakukan apa saja dengan tubuhnya. Paidi adalah seorang pria kuat yang telah mengambil apa yang ia inginkan dan dari apa yang baru saja Alya alami, ia gembira sekali Paidi menginginkannya.

Kehangatan yang lembek terasa di sekitar selangkangan dan pinggang Alya, si cantik itu segera sadar kalau Paidi akhirnya mencapai puncak orgasme. Semprotan pejuh Paidi melesat jauh ke rahim Alya, tubuh wanita cantik itu bergetar seakan menunggu – nunggu bibit unggul yang ditanam oleh pria kurus berkulit hitam yang bukan suami sahnya ini.

Paidi menarik kontolnya dengan pelan, batangnya yang tebal dan panjang penuh dengan lumuran cairan cinta yang tercampur dari keduanya.

Untuk beberapa saat lamanya kedua tubuh telanjang itu diam tak bergerak di atas sofa. Paidi mengguling ke bawah dengan lemas, ia meninggalkan Alya yang masih diam tak bergerak. Sambil duduk dan menyalakan rokok Paidi melirik ke arah wanita jelita yang baru saja ia tiduri.

“Bagaimana? Ibu suka kan tidur sama saya?”

Alya mendengus keras dan berbalik, ia lebih memilih menatap tembok karena tak ingin melihat wajah puas Paidi yang telah berhasil menidurinya. Seluruh pikiran Alya terbagi menjadi dua bagian, saling bercampur dan bertarung. Alya tidak bisa memilah diri dan memutuskan apakah kenikmatan luar biasa yang telah ia raih sebagai hasil memuncaknya birahi ataukah rasa putus asa yang sangat mendalam yang saat ini sebenarnya ia rasakan. Dia gagal menjadi wanita yang tegar dan mampu berjuang demi diri sendiri. Ia selalu ditekan oleh keperkasaan lelaki bejat seperti Pak Bejo dan kini oleh nafsu binatang supirnya sendiri. Alya telah kalah dan ditundukkan.

Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? Alya tidak tahu dan dalam hati kecilnya ia mungkin tidak peduli. Dia hanya tahu kalau dia kini sedang berbaring di samping seorang laki – laki yang telah membuatnya terbang ke langit ke tujuh dengan permainan cinta yang fantastis, penuh rasa cinta yang menggebu dan nafsu yang membuncah. Dia tidak peduli kalau laki – laki itu bukanlah suaminya yang kini tergolek lemah tak berdaya di salah satu kamar. Alya juga tidak peduli kalau laki – laki itu bukanlah pemerkosanya yang bejat dan tidak tahu diri. Dia tidak peduli.

“Sebaiknya Bu Alya segera kembali ke kamar sendiri. Bapak mungkin sudah menunggu.”

Alya menatap laki – laki di sampingnya dengan pandangan lemah. Entah kenapa dia lebih ingin menghabiskan malam ini bersama Paidi daripada harus kembali ke kamar dengan Mas Hendra. Tapi itu pemikiran yang salah dan bodoh. Si cantik itu bergegas bangkit dan mengenakan pakaiannya kembali.

Suaminya pasti sudah menunggu! Dengan buru – buru Alya mengenakan BH dan baju, ia mencoba mencari celana dalam tapi tak kunjung menemukannya. Dengan kebingungan Alya mencari kesana kemari, di mana celana dalamnya? Kemana tadi Paidi membuangnya?

“Celana dalamku…? Mana celanaku, Mas? Jangan diam saja! Ayo bantu cari!”

“Seandainya kita hanya bisa bercinta malam ini, biarlah celana dalam Ibu menjadi benda yang bisa saya bawa sampai kelak saya pergi, saya akan menyimpannya sebagai benda paling berharga yang pernah saya miliki.” Kata Paidi dengan tenang, “lebih baik sekarang Ibu kembali ke Pak Hendra.”

Dengan langkah cepat Alya keluar dari kamar Paidi, melewati taman dan masuk ke rumah induk, ia mencari Hendra ke kamar. Nafas Alya yang kembang kempis mengejutkan Hendra yang tengah mengetik dengan laptop. Hendra sudah bangun? Jangan – jangan ia sedang menunggu Alya? Sambil berusaha mengembalikan perasaannya yang kacau balau setelah disetubuhi Paidi, Alya duduk di samping sang suami. Alya berkeringat dingin, semuanya hancur. Dunianya kembali berantakan, bukan oleh ulah Pak Bejo… melainkan oleh ulahnya sendiri… yang tergoda laki – laki lain!

“Kamu baik – baik saja?” tanya Hendra dengan suara dingin. Ia hanya menatap Alya sekilas dan melanjutkan lagi pekerjaannya.

Alya memandang wajah Hendra dari samping dan menyesali perbuatannya. Ia sangat menyesal… ia telah bersalah kepada suaminya, ia telah mengkhianati cinta mereka. Bukannya berusaha meraih kembali hati suaminya yang tengah terpuruk, ia malah jatuh ke pelukan laki – laki lain! Ini lebih buruk daripada diperkosa Pak Bejo. Ini sama saja dengan selingkuh! Sudah pasti, kesalahan ada di pundak Alya.

“Mmmm… aku baik – baik saja.” jawab Alya lirih.

“Kamu kok kebingungan begitu? Apa ada yang kamu pikirkan?”

“A… anu… aku… aku tadi sakit perut… dan… aku dari kamar mandi… dan…”, Alya tidak kuat menanggung ini semua, lagi – lagi dia harus berbohong kepada Mas Hendra. Yang lebih parah, kali ini dia menutupi ulahnya sendiri yang mau – maunya menerima rayuan Paidi dan bukan atas paksaan Pak Bejo. Dia benar – benar telah berubah menjadi seorang wanita gampangan! Ingin menangis rasanya Alya kalau ingat apa yang baru saja terjadi.

“Kamu sakit perut?”

“Mmm… sudah baikan… aku tidak apa – apa.”

“Tidur saja kalau sakit.”

“Iya mas…”

Tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Hendra meneruskan pekerjaannya tanpa mempedulikan kehadiran Alya. Dengan tubuh yang masih gemetar ketakutan Alya berbaring di ranjang dan mencoba memejamkan mata. Pengkhianatannya dan tanggapan dingin Hendra membuat tubuhnya menggigil.

Tanpa sepengetahuan Hendra, setetes air mata mengalir di pipi Alya, sementara setetes air mani yang tersisa mengalir di pahanya.

###

Pojok pos ronda di gang keempat sebelah selatan rumah Pak Bejo sering digunakan sebagai tempat berkumpulnya para preman kampung. Tempat ini sebetulnya sudah tidak pernah dipakai lagi karena warga kampung lebih memilih menggunakan pos ronda yang ada di dekat perumahan, yang pernah dipakai Pak Bejo menggauli Alya. Apalagi karena para preman sering sekali menggunakan pos ronda ini sebagai markas mereka kalau sedang bermain judi atau mabuk – mabukan, maka tempat ini makin ditinggalkan dan dilupakan. Lokasinya juga agak jauh dari rumah lain dan menempel di belakang gedung sekolah bertembok tinggi, berbatasan dengan sebuah gang kecil yang langsung menuju ke jalan besar. Jarang ada yang berani melewati gang kecil ini, karena kalau ada yang lewat, para preman langsung beraksi meminta retribusi. Karenanya, warga kampung lebih memilih memutar lewat perumahan daripada harus melewati gang kecil ini. Tidak ada lagi orang menyebut tempat ini Pos Ronda, mereka kini menyebutnya Pos Preman.

Di tempat inilah Pak Bejo biasa menghabiskan waktunya.

Namun hari itu lain, hanya ada tiga orang saja yang berada di pos preman itu, Badu, Jabrik dan Kribo, ketiganya anak buah Pak Bejo. Botol minuman keras berserakan, asap rokok mengepul tinggi, pemandangan yang biasa bagi warga kampung, walau sesungguhnya bukanlah pemandangan yang sehat. Ketiga anak buah Pak Bejo itu sedang asyik dengan kegiatan masing – masing sambil tertawa – tawa. Entah apa ada yang lucu ataukah syaraf mereka sudah terpengaruh minuman keras.

Jabrik dan Badu sedang bermain kartu sambil melempar – lempar uang ribuan, sementara Kribo sibuk menikmati gambar artis – artis berdada sentosa yang ada di dalam majalah khusus pria dewasa yang tadinya ia rampas dari tas seorang anak SMA. Dari ketiganya, Kribo adalah yang paling ditakuti, tubuhnya besar dan wajahnya sangar. Bisa dianggap kalau dia ini tangan kanan Pak Bejo. Perhatian Kribo yang sedang membuka – buka majalah terusik ketika dia melihat ada satu sosok masuk ke gang mereka.

“Sst… duit! Duit!” bisik Kribo pada Badu dan Jabrik.

Kedua orang yang tadinya asyik dengan kartu mereka bangun dan memasang wajah sangar.

“Siapa yang lewat?” bisik Badu.

“Bukan orang kampung.” Jawab Jabrik. “Gak kenal.”

“Abisin aja.” Kata Kribo sambil kembali menatapi kemolekan artis yang pernah tampil di iklan sabun mandi berpose menantang di dalam majalah. Kalau hanya urusan kompas – mengompas mending dia berikan saja kepada dua temannya itu, dia malas berurusan dengan hal – hal sepele.

Badu dan Jabrik tertawa – tawa lagi karena mereka akan kembali menuai uang. Anehnya, sosok yang baru saja datang itu bukannya menjauh saat melihat mereka, dia malah mendekat bahkan berjalan dengan langkah yang sangat cepat menuju mereka. Aneh sekali!

Bruk!!!

Tiba – tiba saja orang itu menendang Badu!

Tubuh Badu yang tak siap terlempar jauh menubruk tembok. Nasib yang sama menimpa Jabrik yang juga terkejut melihat temannya terlempar.

Brak!!!

Jabrik terlempar terkena tendangan dan jatuh tepat di samping Badu. Kedua orang itu meringis kesakitan. Melihat kedua temannya terkapar, Kribo dengan kesal melempar majalah yang ia baca dan mencabut pisau lipat dari saku di celananya. Dia berjalan pelan ke arah Badu dan Jabrik, lalu membantu mereka berdiri. Tiga lawan satu, kelihatannya tidak seimbang tapi kedua kawannya sudah jatuh, orang ini harus diwaspadai. Kribo meludah dan menatap orang itu dengan pandangan seram. Badu dan Jabrik yang melihat Kribo sudah memegang pisau ikut – ikutan menyiapkan pisau lipat mereka.

“Siapa kamu!? Kurang ajar! Berani – beraninya menantang kami! Jangan sok jago! Tadi kami belum siap! Ayo maju!” teriak Badu, walaupun menantang, ia sebenarnya gentar juga, dengan tangan gemetar ia mengacung – acungkan pisau yang ia pegang ke arah orang yang tiba – tiba saja datang.

“Banci! Beraninya pakai senjata!” ejek orang itu sambil mencibir.

Badu menggerutu geram ketika orang tak dikenal itu maju tanpa mempedulikan pisau yang ia pegang. Badu tidak takut, toh dia tidak sendirian. Kedua kawannya yang lain juga sudah siap menyerang lelaki asing itu. Ketika komando Badu diteriakkan, mereka bertiga menyerang membabi buta. Tapi dengan mudah dan sigap ia menghindari semua serangan mereka. Orang itu sebenarnya tidak besar dan kekar, bahkan kurus dan sangat hitam, wajahnya juga terlihat tua dengan keriput yang tidak bisa disembunyikan. Tapi orang ini sangat liat dan lincah, gerakannya cepat dan efektif, semua diperhitungkan masak – masak, sepertinya dia sudah sering melakukan pertarungan jalanan semacam ini.

Ketika serangan mereka dengan mudah dapat dihindari, Badu, Jabrik dan Kribo merubah strategi dan mengepung sang lawan yang tidak bersenjata. Kali ini mereka mengunci posisinya dari semua sisi.

Kribo berteriak kencang sambil menyergap maju, ia menusuk – nusukkan pisaunya ke kepala sang lawan. Orang yang ia serang berputar cepat menggunakan tumit kanan dan melambaikan tangannya dengan keras - memukul tangkai pisau yang dipegang Kribo. Kaget karena tiba – tiba saja kehilangan senjata, Kribo lengah. Dengan cepat sang lawan menggunakan lengan bawahnya untuk mendesak leher Kribo dan menjatuhkannya ke bawah. Kribo terbanting dengan keras dan berteriak kesakitan. Kribo masih belum mau kalah, ia mencoba menyepak lawannya menggunakan kakinya yang bebas. Namun orang itu bukan orang biasa, ia melompat dan menubruk tubuh Kribo dengan sangat keras. Satu pukulan di rahang dan satu sodokan sikut di perut Kribo membuat pria berambut afro itu berteriak kesakitan. Kribo tak mampu bergerak lagi.

Melihat Kribo gagal merubuhkan sang lawan, bahkan berhasil dibekuk dengan sangat mudah, membuat Badu dan Jabrik saling berpandangan dengan bingung. Dari mereka bertiga, Kribo adalah yang paling kuat, ulet dan susah dilawan. Kalau Kribo saja jatuh, apalagi mereka berdua! Keduanya berteriak kencang dan lari ketakutan. Mereka lari terbirit – birit seperti baru saja melihat hantu.

Lawan mereka, tentu saja bukan hantu.

Orang yang mereka hadapi adalah Paidi. Dulu narapidana, lalu penjual bakso, sekarang supir.

Pria tua kurus itu geleng – geleng melihat sifat pengecut Badu dan Jabrik yang meninggalkan Kribo seorang diri. Ia melirik ke bawah dan melihat Kribo meringis kesakitan, ia mengembik minta ampun. Kribo tak bisa melarikan diri karena tubuhnya tak bisa digerakkan. Perutnya mulas karena sodokan sikut dan rahangnya seperti mau copot.

Paidi mendengus, ia mencengkeram kaos Kribo dan mengangkatnya ke atas.

“Dengar aku baik – baik dan jangan sampai lupa menyampaikan pesanku ini, bocah ingusan,” gertak Paidi. Ia menjelaskan tiap kata dengan mendorong tubuh sang preman ke pagar besi yang tumpul, pasti sakit sekali rasanya. “Aku akan melepaskanmu, dengan syarat kau mau menyampaikan pesan kepada Bejo Suharso. Mengerti? Mengerti tidak? Bagus! Bilang sama dia kalau Paidi tidak takut menghadapi berapapun anak buah yang dia punya, karena aku juga punya anak buah. Teman – temanku yang sudah lepas dari penjara akan senang sekali kalau mereka punya ‘kantung pasir’ yang bisa dipukuli untuk melepas penat selama dipenjara. Dia hanya preman kampung yang sok aksi. Bilang sama dia kalau dia sampai berani mendekati keluarga Hendra lagi aku tidak akan segan menghajarnya. Mengerti?”

“I – iya, bang… ngerti… nanti saya sampaikan… ke… uhhh… ke Pak Bejo.”

Paidi melempar tubuh Kribo ke tong sampah yang langsung terguling berantakan. Ia meninggalkan tubuh Kribo dan mengelap tangannya ke kaos yang ia kenakan.

Dengan langkah yakin Paidi meninggalkan Kribo yang sudah tak berdaya.

###

Hari ini, lagi – lagi Hendra memilih untuk berangkat ke kantor dengan diantar oleh Paidi. Dia menolak diantar Alya ataupun mengerjakan pekerjaannya di rumah, padahal pihak kantor sudah memberikan kompensasi pada Hendra agar dia mengerjakan saja tugas – tugasnya di rumah. Jurang antara pasangan suami istri serasi ini memang makin melebar. Hendra sudah berubah, ia bukan lagi sosok yang tenang dan mencintai istrinya, bahkan ada kesan kalau Hendra benci sekali pada Alya. Entah apa sebabnya.

Sore itu, Alya yang sedih pulang ke rumah dengan kelelahan. Tadi Mas Hendra sudah SMS kalau dia akan pulang besok, malam ini Mas Hendra ingin berkunjung ke tempat saudara dan menginap di sana, pulang kerja langsung dijemput oleh Anissa dan Dodit yang baru saja berangkat. Setelah memandikan, makan dan menidurkan Opi, Alya bersantai – santai di ruang tengah.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Alya menyaksikan sinetron di televisi dengan pikiran yang menggelayut. Entah sinetron apa yang sedang diputar di televisi itu, Alya sama sekali tidak memikirkannya, ia hanya sedang pusing memikirkan semua masalah yang menimpanya. Bukannya berkurang malah bertambah semakin ruwet. Tapi mungkin itu juga gara – gara dia sendiri yang lengah.

Alya menggelengkan kepala, dalam benaknya kini berulang – ulang adegan permainan cintanya dengan Paidi yang tak bisa hilang. Ia tahu ia hanya bisa sekali itu saja bermain cinta dengan Paidi dan memang sudah menjadi niat Alya untuk tidak mengulanginya lagi. Besok, Alya memutuskan untuk memecat Paidi, ia tidak ingin mengulangi kesalahannya menjadi budak Pak Bejo yang bejat itu. Hanya sekali itu saja ia mau melayani Paidi… ya, hanya sekali itu saja ia… mmm… tapi… kenapa rasanya ia rindu sekali pada pelukan laki – laki tua itu? Kenapa… tidak! Tidak boleh! Ia tidak mau!

Benak Alya yang kacau memang diakibatkan oleh retaknya hubungannya dengan Hendra dan perubahan mental akibat berulangkali ditiduri Pak Bejo, gairah seksual Alya menjadi meledak – ledak, ia membutuhkan permainan cinta yang tidak pernah lagi disediakan oleh Hendra. Paidi yang tiba – tiba saja hadir dalam kehidupannya adalah sosok yang sama sekali berbeda dengan Pak Bejo. Paidi mungkin tidak setampan Hendra, tubuhnya cenderung kurus dengan wajah jelek yang keriput dan kulit yang gelap terbakar matahari. Tapi anehnya… ada sesuatu yang lain dalam diri Paidi yang membuat Alya merinding jika berdekatan dengannya. Mungkin akibat terlalu sering berkencan dengan Pak Bejo membuat pandangan Alya terhadap seorang laki – laki bergeser. Ia tidak lagi menganggap ketampanan adalah segalanya.

Alya menggelengkan kepala, ia sudah melamun terlalu jauh.

“Kesepian ya, sayang?”

Alya terkejut mendengar suara jelek itu. Suara Pak Bejo!! Alya segera membalikkan tubuh dengan cepat, benar! Pak Bejo ada dibelakangnya! Kurang ajar! Kapan dia masuk? Bagaimana dia bisa masuk? Oh iya, dia masih memegang duplikat kunci rumah!

“Sejak kapan Pak Bejo ada di dalam rumah?” desis Alya geram. “Keluar! Bapak tidak diundang masuk ke rumah ini!”

“Ha ha ha, sejak kapan aku butuh undangan untuk menikmati memek kamu yang manis itu, sayang?” tawa Pak Bejo sambil mengelap air liurnya yang menetes. Ia benar – benar sudah rindu pada tubuh molek Alya. Ibu muda cantik itu memiliki tubuh yang sangat menggiurkan dan membuatnya kangen. Seperti seorang perantau yang ingin selalu kembali pulang ke rumah, sekali merasakan kehangatan tubuh sang bidadari, dia ingin selalu menikmatinya. “Tahu rasa kamu sekarang! Sendirian saja di rumah tanpa Mas Hendramu yang cacat dan supirmu yang sok jago itu!”

Tanpa menunggu aba – aba dari siapapun, Alya bergerak cepat dan segera berlari menuju kamar. Kalau ia sudah sampai di kamar, dia akan mengunci pintu sehingga Pak Bejo tidak bisa masuk.

Sayang, laki – laki tua gemuk itu lebih cepat.

Dengan gerakan tak terduga yang lincah Pak Bejo menubruk Alya. Tidak menunggu lama, pria tua itu dengan paksa mencoba membuka baju sang ibu muda. Alya mencoba berteriak, namun mulutnya lalu dibekap oleh Pak Bejo, ia bahkan tidak bisa meronta karena eratnya pelukan sang preman kampung. Nasibnya kini ada di tangan Pak Bejo! Lagi – lagi dia akan diperkosa!

Pak Bejo mendengus – dengus seperti babi, nafsunya sudah memuncak hingga ke ujung ubun – ubun. Dia sudah tidak tahan, sekali dia bisa memasukkan penisnya ke memek Alya, dia akan memuntahkan semua pejuhnya di dalam perut ibu muda yang cantik itu! Dia akan hamili istri Hendra yang molek itu! Kalau sudah hamil, Alya pasti akan selalu merindukan ayah anaknya!

Alya yang tak berdaya meringkuk dalam pelukan Pak Bejo. Air matanya kembali mengalir walaupun mulutnya kini terkatup rapat. Ia tetap tidak mau membuka mulut saat Pak Bejo menyorongkan bibirnya untuk mencium bibir mungil Alya.

Pak Bejo yang sudah tak tahan melucuti bajunya sendiri, ia melepaskan celana dan membuka kancing bajunya, ia ingin segera menelanjangi Alya ketika tiba – tiba… terdengar suara dari jarak yang tidak begitu jauh.

“Lepaskan Bu Alya! Bajingan tengik!”

Suara itu lagi! Sial banget! Itu suara Paidi! Pak Bejo menoleh dan mendesis kesal. “Kurang ajar!! Lagi – lagi kamu! Lonthe ini milikku! Dasar Anj…”

Plaaaaaaaaakkkk!!!

Belum sampai Pak Bejo menyelesaikan kata – kata yang ia ucapkan, Paidi sudah menamparnya dengan sangat keras. Begitu kerasnya hingga tubuh Pak Bejo terlempar dari atas tubuh Alya. Si cantik itu meringkuk ketakutan, dia lega sekali melihat kedatangan Paidi.

“Sudah saya bilang, lepaskan! Jangan salahkan saya kalau saya jadi gelap mata! Saya minta dengan sangat untuk yang terakhir kalinya, tolong hormati majikan saya! Jangan berani – berani mendekatinya lagi! Selama ada saya disisinya, tidak akan saya biarkan siapapun juga menyakitinya! Mengerti!? Saya harap Pak Bejo sadar kalau Pak Bejo sudah tidak dibutuhkan lagi oleh keluarga ini! Pergi jauh – jauh dan jangan pernah kembali lagi!!” bentak Paidi dengan galak.

Melihat ketangguhan dan kekerasan hati Paidi, Pak Bejo mau tak mau gentar juga melihatnya. Ia sudah mendengar berita Kribo yang dihajar oleh lelaki ini tempo hari. Dengan langkah gemetar, preman tua itu meninggalkan Alya dan Paidi.

“Kau… kau… bajingan! Tunggu pembalasanku! Tunggu saja!” Pak Bejo memegangi pipinya yang memerah karena kerasnya tamparan Paidi. Pria gemuk itu langsung berlari tunggang langgang tanpa mempedulikan pakaiannya yang masih belum dikenakannya dengan benar.

Paidi mendengus. Orang seperti Pak Bejo kadang memang tidak boleh diberi hati. Dia harus diberi pelajaran supaya tidak memperlakukan orang lain dengan semena – mena. Dasar preman kampung tidak tahu diri! Belum cukup rupanya dia menghajar anak buahnya tempo hari. Paidi menengok ke belakang dan melihat ke arah Alya yang duduk bersimpuh dengan lemas. Pakaiannya terkoyak dan matanya berkaca – kaca. Dia memandang ke arah Paidi dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata – kata.

Dengan lembut Paidi berjongkok di depan Alya, dia merapikan rambut dan baju Alya. “Orang itu sudah pergi, Bu. Semua akan baik – baik saja mulai sekarang. Saya akan melindungi ibu.”

“Sudah pergi…?”

“Iya. Pak Bejo sudah pergi, semua pasti baik – baik saja. Ibu tidak apa – apa kan?”

Alya menggeleng. Dia masih belum bisa mempercayai kejadian yang baru saja ia alami.

“Bagus kalau begitu. Mari saya bantu berdiri.” Kata Paidi sambil mencoba mengangkat lengan Alya.

Tapi Alya tak bergeming, ia memandang ke arah Paidi dengan pandangan yang sayu dan lemah. Matanya yang berkaca – kaca kini mulai meneteskan air mata. Wanita cantik itu akhirnya tak kuat lagi, ia menangis dan berteriak keras dalam pelukan Paidi.

Dengan lembut Paidi mengelus – elus punggung dan rambut majikannya yang sangat indah. “Jangan khawatir, Bu. Mulai sekarang saya akan selalu melindungi Ibu. Orang itu tidak akan saya ijinkan mendekati Ibu lagi. Saya tidak akan membiarkan orang itu menganggu wanita yang saya cintai.”

Tadinya Alya terus saja menangis, menumpahkan semua kekesalan dan penat yang ia rasakan dalam pelukan supirnya. Namun ia tersentak ketika mendengar kata – kata cinta keluar dari mulut Paidi. Alya mundur dari pelukan Paidi, ia menghapus air mata yang leleh di pipi. Keduanya terdiam beberapa saat lamanya, saling memandang dan mendalami perasaan masing – masing.

“Ka… kamu… apa yang kamu…?” tanya Alya dengan terbata – bata.

“Saya mencintai Bu Alya.” Jawab Paidi dengan bersungguh – sungguh.

“Be… benarkah?”

Paidi mengangguk, sudah kepalang basah, ia tidak akan mundur lagi. Ia benar – benar telah mencintai Alya. Tidak masalah kalau ia ditolak dan harus mengundurkan diri menjadi supir keluarga karena toh Alya telah berkeluarga, yang penting, ia telah melindungi wanita yang ia cintai dan membuktikan cintanya tidak hanya sekedar keinginan yang berlandaskan nafsu semata.

Alya masih terus menatap mata Paidi dengan pandangan berlinang. Lalu… dengan kekuatan yang entah datang dari mana, Alya menyorongkan kepala ke atas, menarik kepala Paidi ke bawah, dan mencium bibirnya dengan lembut.

Paidi kaget sekali melihat reaksi Alya ini, ia tidak mengira majikannya itu akan menciumnya. Namun Alya adalah wanita yang sangat diidam – idamkannya. Mendapat ciuman dari Alya bagaikan mendapat anugerah yang tak ternilai harganya. Paidi membalas ciuman Alya dengan sapuan lembut di bibir. Mereka saling melumat dan memberikan nafas, menyapu bibir dan lidah dengan kelembutan. Setelah lama tak merasakannya, baru kali inilah Paidi sadar, ia telah memperoleh apa yang telah ia damba selepas kehidupan kelamnya, ia telah memperoleh cinta.

Setelah cukup lama mereka berciuman lembut, Alya akhirnya melepas bibir Paidi.

Paidi terdiam tak mampu bicara, bibirnya bergetar karena merasakan keindahan yang telah lama ia idam – idamkan.

“Mas…”

“I… Iya, Bu?”

“Maukah kamu tidur lagi denganku?”

Pandangan mata Paidi terbelalak kaget.

###

Ketika masuk ke kamar Paidi, Alya baru sadar kalau ternyata kamar supirnya itu sangat bersih dan rapi. Ia tidak sempat memperhatikan ketika masuk ke tempat ini tempo hari. Barang – barangnya disusun di pojok, tempat tidurnya juga sangat bersih, sepreinya harum seperti baru dicuci. Kamar yang sebelumnya dijadikan gudang itu juga sangat wangi. Alya jadi semakin kagum dengan pria yang telah menyelamatkannya dari cengkraman Pak Bejo ini. Walaupun punya masa lalu yang bisa dibilang tidak menyenangkan, Paidi adalah pria yang mengagumkan. Paidi memang telah menceritakan masa lalunya yang kelam, menjadi seorang penghuni bui karena kesalahannya yang fatal. Kini Paidi ingin memperbaiki kesalahannya itu.

Bagaikan pengantin yang baru saja menikah, tanpa diminta Paidi mengangkat tubuh Alya dan meletakkan tubuh indahnya dengan lembut di atas ranjang. Walaupun awalnya kaget, namun Alya menuruti saja kemauan lelaki tua perkasa itu. Kain seprei yang bersih dan harum membuat Alya tidak merasa jijik, ia bahkan sangat kagum dengan kerajinan dan kebersihan Paidi, sungguh sangat jarang laki – laki seperti ini. Paidi duduk di samping Alya yang terbaring. Dengan berani istri Hendra itu menyentuh pundak laki – laki kurus dan tua yang rebah disampingnya. Ia menyentuh pundak Paidi tanpa melepaskan pandangan dari mata pria yang pernah berjualan bakso itu. Tangan lembut Alya meraih bagian belakang kepala Paidi dan menariknya ke bawah, lalu bibir seksi si cantik itu mengecup bibir sang supir.

Ciuman lembut Alya yang tulus mengoles bibirnya bagaikan obat untuk semua lelah, gelisah dan keluh kesah yang pernah Paidi keluarkan seumur hidupnya. Olesan lembut bibir mungil majikannya itu juga membuat tubuh Paidi bagaikan disentak aliran listrik berjuta volt, seandainya dia adalah sebuah baterai hidup, Paidi sudah langsung tercharge dengan energi hingga penuh. Bibir mereka berdua saling mengelus, saling menimang, beruntai, berjalin, menikmati sentuhan pelan dan nikmat yang tak bisa diungkap dengan kata.

“Mmmhh…” desah Alya manja. Ia memejamkan mata dan membiarkan bibir Paidi menari di atas bibirnya yang lembut, membiarkan bibir tebal dan keras sang sopir menyelimuti bibirnya yang ranum. Olesan bibir Paidi tidak seperti bibir Hendra yang lembut atau bibir Pak Bejo yang kasar dan menuntut.

Lama pagutan bibir mereka tak saling lepas, Paidi mulai mengeluarkan lidahnya yang bagai ular. Lidah Paidi membuat Alya makin tak berkutik dan tenggelam sepenuhnya dalam pelukan sang sopir.

“Mas?” tanya Alya ketika bibir mereka lepas sejenak.

“Hmm?”

Alya tak buru – buru menjawab karena kembali menikmati lidah dan bibir Paidi.

“Aku… mhh… mmhh… mau… tanya…”

“Hmm?”

Kembali bibir Paidi menggelayut di bibir sang kekasih namun kali ini Alya menolaknya.

“Iiihhh… Mas nakal! Aku kan mau tanya sesuatu yang penting, jangan digangguin dulu!”

“Habis bibir kamu menggemaskan, mungil dan mengundang, aku jadi tidak tahan.” Kata Paidi sambil tersenyum. “Baiklah, kamu mau tanya apa, sayang?”

“Bagian mana dari tubuhku yang paling Mas Paidi suka? Akan langsung aku berikan sekarang juga.” Kata Alya sambil menggigit bibir bawahnya dengan genit.

“Aku suka semuanya.”

“Ah, jawaban gombal.”

“Kalau begitu… aku suka dari ujung kaki sampai ujung rambut.”

“Hi hi hi, aku nggak percaya. Mana ada yang suka ujung kaki aku.”

“Aku suka.”

“Bohong.”

“Eh, gak percaya? Baik aku buktiin!”

Paidi membalik badannya dengan cepat tanpa mempedulikan protes Alya yang tertawa.

“Aku kan cuma becanda, Mas!”

Paidi membuktikan kesungguhannya dengan menciumi jempol dan jemari kaki Alya. Si cantik beranak satu itu adalah wanita yang amat memperhatikan kebersihan, sehingga Paidi tidak sedikitpun merasa jijik karena kaki Alya sangat mulus dan bersih. Mirip kaki seorang bayi yang lembut dan suci. Paidi mencium dan menjilat – jilat kaki sang kekasih dengan sepenuh hati. Alya bergetar karena rangsangan Paidi ini.

“A… aku percaya, Mas… aku percaya…”

Sambil tersenyum puas Paidi mengelus lembut betis sang bidadari. Tentu saja pria tua itu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia mengeluskan tangannya dari bawah ke atas, naik ke arah paha mulus Alya. Kaki Alya yang jenjang membuat Paidi terkagum – kagum, begitu mulus, indah dan putih, sangat sedap dipandang. Alya memiliki karunia yang sangat lengkap dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, semua indah dan sempurna.

Tapi bidadari itu kini tengah dilanda nafsu birahi yang meledak – ledak, ia tidak mau tangan Paidi hanya mengelus – elus betis dan pahanya saja, ia ingin lebih. Sambil berbaring di ranjang, Alya memberanikan diri mengelus batang kemaluan Paidi yang masih tersembunyi di balik celana. Tangannya yang lembut bergerak naik turun dengan perlahan, membuat sekujur tubuh Paidi merinding keenakan. Siapa yang tidak mau penisnya dikocok wanita semolek Alya? Hanya dengan melihat pandangan mata Alya yang berbinar, Paidi tahu kalau Alya merindukan permainan cinta yang sebenarnya, bukan perkosaan brutal ala Pak Bejo, atau hubungan dingin tanpa perasaan seperti yang ditunjukkan Hendra. Paidi akan membuat si cantik ini menikmati seks yang indah bersamanya.

Perlahan Paidi menurunkan celana berikut celana dalamnya. Batang kemaluannya menegak kencang di hadapan wajah cantik Alya.

“Mas… aku ingin… mmm… boleh aku…?” tanya Alya malu – malu. “Mmm… bolehkah?”

Alya tidak melanjutkan kata – katanya saat ia melihat Paidi mengernyit keenakan. Elusan lembut jemari Alya pada batang kemaluan Paidi membuat mantan penjual bakso itu bergetar dan menggelinjang tak kuasa menahan nafsu. Hal itu membuat Alya tersenyum tertahan, seperkasa apapun Paidi, ia ternyata tidak tahan dengan jari – jarinya yang lembut.

Sembari menikmati elusan lembut jemari Alya pada penisnya, Paidi melucuti pakaian yang ia kenakan. Ia ingin bersentuhan langsung dengan kulit mulus Alya, tanpa terhalang baju mereka. Seakan mengerti kemauan Paidi, Alya mengikuti dengan melucuti pakaiannya sendiri. Ia berhenti sebentar mengelus penis Paidi untuk membuka baju. Pria tua itu mengerang kecewa ketika Alya berhenti menyentuh kemaluannya, namun karena ia mendapati Alya sudah tak berbusana ketika ia membuka mata, Paidi tak mengeluh sedikitpun.

Paidi berdecak kagum ketika kembali bisa menikmati keutuhan tubuh molek Alya. Benar – benar seorang bidadari yang turun dari langit, sempurna tiada duanya. Bila dibandingkan dengan bintang sinetron, mungkin Alya lebih cantik dan seksi, kini bayangkan jika tubuh sesempurna itu dipersembahkan untuk pria seperti Paidi! Pandangan matanya tak ingin lepas dari kesempurnaan Alya, wajah cantik lembut dengan rambut yang terurai indah, kulit mulus seputih susu yang memancarkan keharuman mewangi, payudara sempurna yang sintal dan menggairahkan, pinggang ramping, pantat bulat, semua – untuk Paidi.

Alya diam saja tanpa mempedulikan kekaguman Paidi kepadanya dan meneruskan ‘pekerjaannya’ memainkan kemaluan Paidi.

Paidi buru – buru sadar dari rasa kagum yang membuatnya terbengong – bengong dan segera kembali ke posisi semula, ia berbaring dan membiarkan wajah Alya tepat berada di depan penisnya sementara ia sendiri berhadapan langsung dengan kaki sang bidadari. Saat itulah pria tua yang perkasa itu menurunkan wajahnya hingga ke kaki sang bidadari. Alya meringis keenakan saat Paidi beraksi, tanpa malu – malu pria tua yang pernah berjualan bakso itu menjilati dan menciumi ujung – ujung jemari kaki Alya. Paidi melakukan aksinya dengan sangat pintar dan membuat Alya menggelinjang, ibu muda satu anak yang statusnya adalah istri orang itupun tak kuasa menahan desahan demi desahan yang terus menerus keluar dari bibir mungilnya.

“Auhhhhhmmm, Masss… geli mass… jangan… aaaaahhhh…” tangan Alya tak beranjak dari batang kemaluan Paidi, terus meremas dan mengocok penisnya yang besar dan hitam sementara sang supir mencumbu dan mengulum jari – jari kaki dan betisnya. Melihat Alya keenakan, Paidi menarik kaki wanita cantik yang mulus dan jenjang itu ke bawah. Jengkal demi jengkal sisi – sisi kaki Alya dicumbui dengan buas oleh Paidi, si cantik itu makin tak tahan dibuatnya, kakinya bergerak tak menentu arah, menyepak kesana kemari. Paidi tersenyum, dengan tangannya yang berotot dipegangnya kaki Alya erat – erat, lalu dijilatinya seluruh bagian kaki Alya yang sangat putih dan indah itu.

“Aaaahh, Massss… ouuuhhh, jahaaaat… geli ahhhh!!”

Paidi melanjutkan ciuman dan jilatannya tanpa memperdulikan desahan manja sang ibu muda. Alya memejamkan mata menahan nafsunya yang menggelegak hebat karena foreplay yang dilakukan oleh Paidi. Semua perasaan jijik yang selama ini dipelihara karena tidur dengan laki – laki yang tidak ia sukai ia lepaskan dengan bebas bersama Paidi. Laki – laki ini memang bukan Hendra, tapi paling tidak ia bukan Pak Bejo. Alya melenguh dan mengembik tanpa malu, membiarkan suaranya lepas menyebar ke seluruh penjuru rumah. Seluruh penat dan stress karena masalah Pak Bejo dan Hendra membuat Alya menyerahkan seluruh tubuhnya pada Paidi.

Paidi kini tak hanya menggunakan lidah dan mulutnya saja, tangannya bergerak menyentuh paha Alya dan mengelus – elusnya lembut. Tak pernah ia membayangkan sebelumnya kalau ia mampu melakukan hal ini selepas keluar dari penjara, yaitu mengelus – elus paha mulus seorang wanita cantik dan terhormat seperti Alya.

Istri Hendra itu masih memejamkan mata, ia membiarkan saja tangan Paidi bergerak nakal menyusuri pahanya yang putih mulus sampai ke pangkal paha. Setelah bagian bawah kaki Alya yang jenjang basah oleh ciuman dan jilatan bibir dan lidah Paidi, kini giliran paha mulus Alya yang diserang.

Ibu muda satu anak itu membuka pahanya lebar – lebar memperlihatkan keindahan bibir kemaluannya yang merekah merah muda, kuncupnya yang mungil mempesona Paidi. Ia kagum Alya masih memiliki bentuk vagina yang indah padahal sudah memberikan keperawanan pada Hendra, melahirkan Opi dan tidur berkali – kali dengan Pak Bejo.

Jari jemari Paidi bergerak lincah menyusuri daerah sekitar kemaluan Alya tanpa sekalipun menyentuh bibir vaginanya. Tubuh Alya menggelinjang karena menahan nafsu yang kian lama kian tak tertahankan. Sekali – sekali Paidi menyentuhkan jarinya ke bibir kemaluan Alya seakan tak disengaja.

“Ahhhh!! Ahhh!!” desah Alya manja, tubuhnya bergetar hebat tiap kali Paidi memancingnya. Tak tahan oleh perlakuan sang supir, Alya melenguh panjang, kepalanya bergerak makin tak terkendali ke kanan kiri sementara matanya masih terus terpejam. Melihat gerakan erotis dan lenguhan manja sang majikan, Paidi makin berani. Dengan nekat pria kurus berkulit gelap itu mendorong kepalanya masuk ke pangkal paha Alya.

“Aaaaaaaaaaahhhh!!!” Alya kembali mengeluarkan desahan panjang.

Paidi terus melaksanakan niatnya menguasai daerah kemaluan Alya dengan bibir dan lidahnya. Hisapan, ciuman dan jilatan silih berganti menyerang sang ibu muda. Belum sampai kemaluan Paidi masuk, liang cinta Alya sudah mulai basah. Bahkan Paidi bisa melihat tetesan air cinta mengalir tipis dari bibir mungil kemaluan sang kekasih. Alya mengangkat pantatnya, meminta bibir Paidi terus mengelus bibir vaginanya. Dengan lembut Paidi menyusuri rambut kemaluan Alya yang lembut. Paidi paling suka dengan wanita seperti Alya, dia merawat rambut kemaluannya dengan mencukurnya rajin, baunya juga sangat wangi dengan aroma khas. Paidi sengaja menggoda Alya dengan menghembuskan nafas ke liang memeknya tanpa menyentuh. Alya tak tahan lagi, dia sodorkan bibir kewanitaannya ke mulut Paidi.

Dengan kedua jarinya, Paidi membuka sedikit mulut kemaluan Alya. Iapun segera mencari titik kelemahan sang ibu muda - klitorisnya. Ketika tonjolan kecil yang mematikan itu berhasil ditemukan, Paidi memperlancar aksinya menaklukkan Alya. Jilatan, hisapan dan sedotannya membuat tubuh Alya melonjak – lonjak bagai kuda liar yang sangat binal. Paidi bahkan harus memegang erat tubuh Alya agar tak terlonjak jatuh dari ranjang. Paidi melumat lembut kelentit sang wanita cantik yang ada dalam pelukannya, ciumannya lalu beralih ke sisi luar bibir vagina dan akhirnya ke bawah, masuk ke dalam liang cintanya. Sekali lagi Alya melonjak ke atas dan mendesis dengan keras, wajahnya yang cantik terlihat histeris namun ia berusaha keras menahan teriakannya.

“Mas! Sudah, Mas! Aku tidak kuat lagi! Masukkan! Ayo! Masukkan…”

Paidi tidak begitu saja menuruti permintaan Alya. Ia mainkan dulu lidahnya di bibir memek Alya. Gerakan kaki sang bidadari makin tak tertahan, ia menendang kesana kemari tanpa sasaran. Kepalanya berpaling ke kanan dan kiri dengan mata terpejam dan keringat yang terus bercucuran. Alya mengambil bantal dan menggigit ujungnya untuk menahan kenikmatan yang terus ia rasakan. Ketika Paidi menyedot cairan cinta yang menetes keluar dari memek Alya, rasa gelinya ia alirkan dengan menggigit ujung bantal.

Lidah Paidi makin berkuasa. Ia mendorong lidahnya masuk ke memek Alya, menjilat dinding yang ada di dalam, menari dan bergoyang tanpa ampun. Jari jemari Paidi membuka sedikit bibir memek Alya agar lidahnya bisa lebih leluasa.

“Sudah, Mas! Sudah cukup! Aku tidak tahan lagi!” desis Alya untuk yang kesekiankali.

Paidi mengangkat kepala dan tubuhnya, kini ia membenamkan bibirnya ke telinga sang bidadari. Orang yang pernah menjadi narapidana itu terus membisikkan kata – kata mesra ke telinga Alya, sementara tangannya asyik memainkan pentil susu yang sudah sangat menjorok keluar. Istri Hendra itu sudah sangat bernafsu, wajahnya memerah karena sangat menginginkan kemaluan Paidi. Ia mengelus dada Paidi dan meminta dengan pandangan memelas. Paidi tahu apa yang diinginkan oleh majikannya yang jelita itu, ia segera mengambil posisi.

Paidi kembali mengincar klitoris milik Alya. Benda mungil yang menjorok tepat di dalam area kemaluan sang bidadari itu dijilatnya ke kanan dan kiri, digerakkan naik turun. Bagi seorang wanita, titik kelemahan inilah yang membuatnya tak tahan menerima godaan laki – laki. Begitu pula bagi Alya, tubuhnya melejit dan pantatnya diangkat tinggi – tinggi, cairan cintapun meleleh membasahi bibir kemaluan si cantik itu. Ketika Paidi nekat menyeruput cairan cinta Alya, istri Hendra itupun menggelinjang keenakan dan meronta.

“Masssss… ahhhhh… ooooohhhhmmm… jangan dimaininnnn…” Alya merem melek keenakan, dia sudah tidak tahan lagi. “Ayo masukkan, Mas! Cepeeeet!! Aku tidak tahaaaan!!” rengeknya manja.

Dengan hati – hati Paidi menaiki tubuh sempurna milik Alya, putihnya kulit mulus Alya yang bagai pualam membuat pria tua kurus itu terkagum – kagum. Kontras sekali kulit bidadari ini dengan kulitnya yang hitam legam. Apalagi melihat payudara sempurna yang tak puas – puas remas dengan gemas. Betapa kagetnya Paidi ketika Alya nekat menarik batang kemaluannya yang sudah mengeras.

“Ouuuughhhh, besar sekali… ehmmmm… masukin, Masssss!! Cepeeettt!!”

Tentu saja Paidi tidak ingin begitu saja menyodokkan penisnya ke memek Alya walaupun dia sangat ingin. Dengan gerakan ringan, digoyangkan ujung gundul penisnya ke bibir kemaluan Alya tapi selalu ditariknya batang kemaluan itu ketika Alya ingin membimbingnya masuk ke dalam.

“Aaaahhh! Gimana sih!! Ayoooo, aku sudah tidak tahaaaann!!!” rengek si cantik.

Dengan hati – hati batang kemaluan Paidi ditarik oleh Alya masuk ke dalam liang kemaluannya. Bagi Paidi, ini yang namanya mimpi menjadi kenyataan. Sang majikan yang cantik jelita dan seksi sangat bernafsu menikmati kemaluan supirnya yang buruk rupa, kurus dan hitam legam. Alya sudah tidak ingat lagi statusnya sebagai istri Hendra ataupun ibu Opi, ia hanya ingin disetubuhi saat ini - – disetubuhi oleh penis raksasa Paidi!

Penis Paidi melesak masuk dengan mudah karena memek Alya sudah sangat basah, cairan pelumas yang keluar di dalam liang kenikmatan Alya membanjir dengan deras, memudahkan batang kemaluan Paidi melesak masuk ke dalam. Alya mengerang dan menggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan, ia menderita dalam kenikmatan. Ketika melihat Alya sedikit kesakitan, Paidi menunda menyodokkan penisnya, tapi Alya justru mengangkat pantatnya, ingin segera digenjot.

Paidi memaju mundurkan pinggulnya dengan perlahan, ia takut menyakiti vagina Alya. Tapi wanita cantik itu sudah terlalu tenggelam dalam kenikmatan birahi yang tanpa ujung. Paidi tak puas – puasnya memandang kecantikan dan kemolekan wajah dan tubuh Alya. Lekuk tubuhnya yang sempurna, buah dadanya yang kenyal, pinggang ramping dan kulit putih mulus sang majikan. Ia bagaikan berada di awang – awang, tak percaya ia ternyata berhasil menikmati keindahan tubuh istri Hendra yang sangat seksi ini.

“Masss… aku nggak tahan… terussss… aaaahhhh…” Alya merengek manja.

Paidi tidak mampu menjawab karena merem melek keenakan. Memek Alya meremas – remas kemaluannya, memilin dan menggilingnya dalam liang kenikmatan yang sempit dan lembab. Ia tidak menyangka memek ibu satu anak ini masih begitu sempit dan nikmat, penisnya seakan disedot ke dalam tubuh Alya. Memek si cantik itu lama kelamaan makin basah oleh cairan kenikmatan yang keluar dari dalam, membuat goyangan penis Paidi seakan menumbuk liang yang becek.

Desahan manja dan kecantikan Alya membuat Paidi makin tak kuat menahan nafsunya. Dengan penuh tenaga pria tua kurus berkulit gelap itu mempercepat gerakan menumbuknya. Alya makin kebingungan, sakit sekaligus enak sekali rasanya, ia tidak tahu harus berbuat apa. Alya hanya bisa mengimbangi gerakan memilin Paidi dengan menggerakkan pinggulnya maju mundur. Kemaluan Paidi yang ukurannya sangat besar memenuhi liang kenikmatannya dengan penuh, hanya dengan menggerakkan pinggulnya sedikit, penis itu sudah sampai di ujung terdalam dinding memek Alya, si cantik itupun belingsatan dan merem melek keenakan.

Tempat tidur Paidi makin tak berbentuk, sepreinya acak – acakan, bantal dan gulingnya terjatuh entah kemana. Makin lama, kedua insan yang sedang bercinta itu semakin dekat ke puncak kenikmatan. Paidi berusaha keras menahan orgasme, ia tak ingin terlalu cepat mengeluarkan air maninya, ia masih ingin menikmati memek Alya yang nikmatnya bagaikan surgawi. Tapi ia tak bisa mengingkari kekuatannya sendiri, dengan sekuat tenaga, Paidi menyodokkan penisnya berkali – kali ke dalam memek Alya yang menjerit – jerit penuh kenikmatan. Akhirnya Paidi mengeluarkan satu lolongan panjang, ia meremas bahu Alya kuat – kuat. Ia hampir sampai di puncak kenikmatan.

Alya yang tahu Paidi sudah hampir orgasme juga tak mau kalah, ia menggerakkan tubuhnya dengan gerakan menggila dan mendaki jalan nikmat menuju puncak. Alya sudah tidak peduli lagi dengan posisinya sebagai majikan Paidi ataupun statusnya sebagai istri Hendra dan ibu satu anak. Ia hanya ingin memuaskan birahinya secara alami, tanpa paksaan, tanpa tuntutan. Alya mengangkat kakinya dan mengapit pinggul Paidi, ia sodokkan pantatnya ke atas untuk melesakkan penis Paidi lebih dalam lagi. Akhirnya si cantik itu sampailah ke ujung perjalanan permainan cinta ini, ia mengerang tanpa terkendali.

“Masssss! Massss! Aku mau keluaaaaaar!!” jerit Alya panik, ia tak kuat lagi menahan orgasme. “Ahhhhhh! Aaahhhh!!!”

“Ahhhhmmm!! Ayo sayang! Kita sama – sama keluar! Aaahhh!!! Alyaku sayaaaang!!”

Semprotan demi semprotan air mani mengalir deras di dalam memek Alya, bercampur dengan cairan cinta yang memancar dari dalam. Cairan kental meleleh dari ujung bibir kemaluan sang ibu muda, membuktikan penyatuan kedua tubuh insan berlainan jenis ini.

Desah nafas kelelahan berpacu dari mulut Alya dan Paidi yang masih berpelukan dalam ketelanjangan, keringat deras membanjir di seluruh tubuh mereka, kemaluan Paidi masih bertahan di dalam liang lembut Alya. Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdua hanya terdiam, membiarkan waktu berlalu dan mencoba memperoleh kembali nafas mereka yang kembang kempis.

Tangan Paidi menggenggam erat tangan Alya, untuk sesaat sekalipun, ia tidak mau melepaskannya. Ia ingin terus bisa melakukan ini, ia ingin terus bisa menikmati keindahan tubuh sang majikan… ah bukan… ia ingin terus bisa menikmati tubuh indah sang kekasih pujaan. Ya, walaupun di mata orang luar mereka adalah majikan dan sopir, tapi Paidi dan Alya kini resmi menjadi sepasang kekasih.

Mata mereka saling berpandangan, mencoba menyelami perasaan masing – masing. Paidi tahu, walaupun ada kepuasan dalam diri Alya, namun matanya yang indah itu tak bisa berbohong. Ia menyimpan kesedihan yang teramat dalam. Paidi tahu apa yang mereka lakukan ini salah, Alya adalah istri sah Hendra dan ia mungkin telah menggoda wanita cantik itu untuk berselingkuh. Mungkin apa yang mereka berdua rasakan bukan cinta, mungkin hanya nafsu… tapi… seandainya diijinkan, ia ingin selalu bersama… selamanya.

Alya menatap mata Paidi tajam, entah kenapa ia terlihat ragu hendak mengungkapkan sesuatu. “Mas, aku… bolehkah aku menanyakan sesuatu? Sebenarnya aku malu… tapi…”

“Boleh saja, sayang. Mau tanya apa?”

“Mas… emmm, sudah capek belum?… emm… mau… lagi?” Alya mengedip genit dan tersenyum manja.

Paidi tertawa geli. Ia memeluk bidadarinya erat – erat tanpa sedikitpun keinginan melepas tubuh indahnya. “Apapun yang kamu minta, sayang. Apapun yang kamu minta.”

Dengan manja Alya mengangkat tangan Paidi dan membiarkan jemarinya mengelus pantatnya yang bulat, Alya kemudian menggoyangnya tanpa merasa malu. “Mau coba dari belakang?” tanya si cantik itu dengan senyum nakal.

Ini bukan kali pertama baginya, dan jelas bukan yang terakhir.

Malam pun terasa panjang untuk mereka berdua.