blog visitors

Gairah Sex Meisya Siregar dan Joko Edan

Ternoda - Aku, Joko, usia 66 tahun, adalah seorang dukun (atau paranormal atau bahasa modernnya ahli alternatif), sehingga tidak jika orang-orang ada yang memanggilku dengan “Mbah” atau “Ki”. Adapun nama populerku adalah Ki Joko Edan (bukan saudara seperguruan Ki Joko Bodo kok). Penampilanku gak seperti dukun-dukun pada umumnya yang biasa bertampang angker dengan rambut dan jenggot berantakan, penampilanku sih biasa saja seperti orang tua seumuranku dengan ramcut sudah memutih dan kumis tipis, sehari-hari juga memakai baju santai atau kain sarung saja, bukan jubah serba hitam. Sebenarnya aku bukan tokoh baru di Kisahbb ini kok, dulu pernah nongol di ceritanya Sis Diny yang judulnya Behind the Mask of Celebrity 2: Hynotized, tapi di situ aku cuma kebagian peran pembantu aja, gak sempat apa-apain. Awas yah sis Diny masa aku dikasih porsi perannya cuma segitu, tar aku pelet supaya mau main tongkat dan bola sama aku hak…hak…hak (eeiitttss…jangan pada ngeres dulu, maksudnya main bilyard, bener kan pakai tongkat dan bola?). Tentang keahlianku, biasa saja sebenarnya, warisan dari nenek moyangku yang turun temurun sudah akrab dengan ilmu gaib sejak jaman Majalaya dulu ditambah dengan referensi medis modern yang bisa dipelajari dan dipraktekkan oleh siapapun, asal mau membaca cuku, rajin mencari-cari informasi, dan sering-sering mempraktekkan informasi yang diperoleh.

——————————

Penulis: ppsssttt…Mbah…kok Majalaya sih? Majapahit kalee?? Majalaya mah nama kota
Ki Joko Edan: Ooohh…iya itu maksud Mbah juga hehehe….(ngeles)
Penulis: gimana sih si Mbah jangan malu-maluin ah, peran utama nih! Ok lanjut!!
—————————–
Hanya saja kalau ingin menjadi seperti diriku, ya diperlukan modal ‘kenekatan’ sebab pekerjaanku ini penuh resiko (tapi mana ada sih pekerjaan yang tanpa resiko?). Di samping menerima layanan pelet, gendam dan susuk, spesialisasiku adalah menyemcuhkan orang yang punya keluhan “dingin” terhadap seks, khususnya frigiditas. Cucu-cucu pembaca (eheheh…aku panggil cucu aja ya soalnya udah prosedur dari PDI sana, bukan partainya Cu Mega, tapi Persatuan Dukun Indonesia, hak…hak…hak) tentu sering membaca iklan-iklan di media massa, Jeng atau Mbak Anu yang mampu menyemcuhkan impotensi pada lelaki, Ki Anu mampu menyelesaikan masalah cinta ini itu, dll. Ya termasuk orang-orang seperti itulah aku.
Kenapa hanya lelaki saja yang punya masalah seks? Sesungguhnya perempuan juga banyak yang punya masalah tapi umumnya mereka hanya ‘nrimo’ (terima nasib) saja, jarang yang berusaha untuk berobat. Kalaupun ada yang ingin berobat ke dokter,  biasanya mereka tak telaten karena dicutuhkan proses yang panjang untuk mengobati frigiditas. Beberapa lagi memang pasrah, biarlah dia tak bisa menikmati hucungan seks, asalkan suaminya puas. Banyak juga yang lalu berpura-pura nikmat,  biar suaminya bisa menikmati. Tapi ada juga kelompok perempuan yang berusaha keras agar bisa merasakan nikmatnya hucungan seks. Selama ini mereka hanya merasakan sakitnya saja. Cuma, mereka enggan ke dokter untuk menjalani proses penyemcuhan yang makan waktu. Mereka tak ingin suaminya tahu. Mereka ingin pelayanan pengobatan yang personal dan confidential. Nah, di bidang seperti inilah spesialisasiku. Aku memang suka membaca dan punya minat pada masalah-masalah seks. Jadi tak heran kalau di rak cukuku sebagian besar adalah cuku-cuku tentang seks, beberapa di antaranya resep tradisional dari nenek moyangku. Dari beberapa referensi itu aku jadi punya pengetahuan tentang metoda penyemcuhan frigiditas. Pada dasarnya metoda ini hanya terdiri dari beberapa langkah, yaitu memcuat pasien rileks, mengosongkan pikiran dari masalah apapun, meminta pasien membayangkan hal-hal yang menyenangkan, lalu hal-hal yang erotis; mencari titik-titik erotik pada tubuhnya; menstimulir titik-titik erotis tadi sambil mempelajari reaksinya; dan langkah terakhir bervariasi, tergantung sikon dan sikap pasien. Langkah terakhir inilah yang memcuat aku jadi “betah” menjalani profesiku ini. Sungguh suatu profesi yang amat menyenangkan. Langkah ketiga dan keempat dibutuhkan kesabaran luar biasa, dan langkah keempat memerlukan kreativitas dan harus terus menerus dipraktekkan. Semua langkah ini memcutuhkan kerjasama intens dari pasien. Setelah cukup punya nama di kampungku di pedalaman Jawa Timur, aku nekat buka praktek di icukota. Sebagaimana layaknya mulai suatu usaha, pertama-tama memang sepi pasien.  Tapi lama-lama banyak orang yang tahu kemampuanku. Perlahan aku mulai kebanjiran pasien. Cukup dari mulut ke mulut saja pelangganku sudah antri dan gak tanggung-tanggung pelangganku meliputi berbagai kalangan termasuk pejabat dan artis. Sudah banyak wanita yang berhasil kusembuhkan juga pria yang puas karena pelet dan jimat dariku manjur, dan sudah bermacam-macam pengalaman menarik yang kualami. Profesi ini menggiurkan selain karena penghasilannya, aku juga bisa memetik “keuntungan” lain yaitu beberapa pasien pada akhir proses terapi bersedia melakukan hucungan seks denganku sebagai bagian dari ritual yang harus dijalankan. Prinsipnya ‘mau sama mau’, harus suka rela tanpa paksaan, juga masing-masing pihak komitmen terhadap rahasia hucungan ini sehingga tak menimculkan masalah di kemudian hari kalau salah langkah di sini bisa-bisa berakhir di penjara seperti salah satu kolegaku, Dukun AS. “Mau” juga dari pihakku, mereka yang memang menarik perhatianku dan aku berhasrat.
***********************
Suatu hari setelah jam makan siang
Meisya Siregar
Meisya Siregar
Hari itu aku kedatangan pasien, seorang wanita berkerudung dan memakai kacamata hitam.
“Meisya Najelina Siregar…hhhmm…Meisya ya…Tolong ceritakan dulu masalah yang cucu hadapi” kataku sambil membaca formulir data pasien yang baru diisi oleh nyonya muda dan cantik itu.
Hatiku berbunga-bunga sekali ketika wanita itu membuka kerudung dan kacamata hitamnya sehingga menampakkan wajah cantiknya yang sering menghiasi layar kaca dan media cetak itu. Ya, dia adalah Meisya Siregar (31 tahun), sudah menikah dan beranak satu, seorang model, aktris dan juga presenter ternama di tanah air. Memang biasa tokoh publik kalau pergi ke tempat seperti ini harus diam-diam agar tidak ketahuan orang banyak, atau kadang ada yang memanggilku datang ke tempat mereka.
“Eemm … cerita gimana ya Mbah?”
“Cerita apa saja tentang masalah seksual yang cucu alami, selengkap mungkin”
“Uumm … susah nih… mulai dari mana ya”
“Dari mana saja boleh terserah cucu”
Hhhmmm…mataku diam-diam mengamati tubuhnya, kulitnya putih, tubuhnya padat seksi, dadanya begitu “menjanjikan”.

“Saya perlu informasi lengkap dari cucu dulu,  agar saya bisa memberikan terapi yang tepat” tambahku ketika wanita cantik ini tampak ragu-ragu, “tenang aja semua pasien Mbah rahasianya terjamin kok, pokoknya aman, banyak kok artis atau pejabat yang udah Mbah tangani”
“Baiklah kalau begitu Mbah, terus terang saya malu sebenarnya…”
“Tak perlu malu cu, rileks, tarik nafas dulu”
Akhirnya dengan terpatah-patah, loncat-loncat tak berurutan yang kuselingi dengan
pertanyaan-pertanyaanku untuk lebih menjelaskan maksudnya, Meisya mulai menceritakan seluruh masalahnya. Singkatnya begini, Meisya sejak baik dalam pernikahan pertamanya dulu hingga pernikahan keduanya sekarang dengan musisi Bebi Romeo belum pernah merasakan nikmatnya hucungan seks, apalagi orgasme. Yang dia rasakan hanyalah kesakitan, inilah yang menjadi salah satu penyebab gagalnya pernikahan pertamanya dulu dengan seorang pengusaha. Khawatir kegagalan itu berulang lagi pada pernikahannya yang sekarang dia pun mengunjungi tempat praktekku atas saran seorang temannya yang juga pernah berobat padaku. Kebiasaan Bebi jika ‘main’ adalah langsung “naik”, tanpa pemanasan yang cukup, sehingga mereka harus dibantu dengan olesan cairan khusus pada penis dan vaginanya. Gaya permainannya lebih sering missionaris, tak ada variasi, tak pernah melakukan oral sex atau seks ‘aneh-aneh’ lainnya.
“Cucu sudah tahu prosedur terapi yang saya lakukan?”
Wajah cantik itu tampak bingung, hanya sekilas. Lalu bibirnya yang indah itu mulai bergerak.
“Belum …mmmm….emang bagaimana Mbah?”
“Mbak akan ceritakan sedikit cara pengobatan Mbah, kalau cucu setuju kita bisa teruskan. Kalau tidak berkenan, cucu bebas untuk membatalkannya dan Mbah tak mengenakan biaya apapun” jelasku.
Mata perempuan cantik itu sedikit membelalak, oh … mata yang indah. Dia lalu mengangguk. Aku menceritakan langkah-langkahku, tentu saja hanya 4 saja. Langkah terakhir tak kusebut, aku menunggu dulu reaksinya.
“Mengosongkan pikiran … mungkin susah Mbah bagi saya” katanya.
“Saya akan bantu, cu.  Dan saya juga nanti minta kerjasama dari cucu”
“Kerjasama apa?”
“Nanti saya akan sering nanya apa yang cucu rasakan, lebih baik lagi kalau cucu yang memberitahu Mbah apa yang sedang cucu rasakan sewaktu dalam proses pengobatan nanti”
“Baiklah”
“Sebelum cucu memutuskan, ada satu lagi hal penting yang akan Mbah sampaikan”
“Apa itu, Mbah?”
“Dalam proses nanti cucu harus bersedia buka baju”
Sepasang mata indah itu membelalak lebih lebar dibanding yang tadi.  Ada rasa tak senang yang tertangkap di roman mukanya bercampur kaget dan malu.
“Semuanya?” nadanya agak tinggi.
“Tak harus semuanya, tergantung kemajuan cucu. Tahap pertama Pakaian luar saja, Pakaian dalam engga”.
Tubuh ramping semampai itu mematung. Wajahnya terpancar keraguan dan belum bisa menjawab apapun.
“Gini aja, silakan cucu pikir-pikir dulu di rumah. Mbah memang harus sampaikan hal-hal ini lebih dulu sebelumnya agar tercapai kerjasama antara Mbah dengan pasien sehingga proses penyemcuhan menjadi lancar. Juga untuk mencegah timculnya masalah dan salah paham” lanjutku.
“Baiklah Mbah, saya akan pikir-pikir dulu”
“Silakan cu, nanti cucu telepon lagi kalau sudah ada keputusan”.
Artis cantik itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu meninggalkan sesuatu yang susah dilupakan, gerakan pinggul yang indah! Sepasang bongkahan pantat yang bulat dan padat serta “membonceng” bergerak-gerak bergantian yang indah bila pemiliknya berjalan. Sayang memang membiarkan makhluk indah ini berlalu. Apa boleh cuat, itu memang ‘prosedur kerja’ yang harus kulakukan untuk mencegah terjadinya masalah di kemudian hari. Aku hanya bisa berharap semoga Meisya memutuskan untuk lanjut.
******************************
Dua hari kemudian
Kalau sudah jodoh, rejeki memang tak akan ke mana-mana. Pagi itu Meisya menelepon.
“Saya bersedia Mbah”
Aku berusaha untuk tetap tenang,  padahal dalam hatiku bersorak-ria.
“Baik cu,  saya catat dulu …”
“Kapan Mbah mulainya ?”
Kalau menuruti kata hatiku sih jawabannya sekarang saja.
“Sebentar cu, saya lihat jadwalnya dulu”
Kutaruh gagang telepon dan pura-pura membuka-buka lembaran kertas.
“Pagi ini sampai sore sudah ada, malam … ada juga. Hmm… besok pagi aja gimana cu?”  aku sengaja memberinya waktu pagi ada alasannya yaitu agar dia bisa santai tak kecuru waktu sementara suaminya sicuk di luar dan udara pagi masih lumayan sejuk.
Waktu paling ideal untuk pengobatan sebenarnya malam hari, tapi Meisya berobat tanpa sepengetahuan suaminya sehingga hanya bisa pada jam-jam kerja.
“Jam berapa?”
“Pagi-pagi aja, Cu”
“Berapa lama kira-kira Mbah?”
“Biasanya berkisar antara 2 sampai 3 jam, tergantung kelancaran prosesnya”
“Okay Mbah, jam setengah sembilan saya sampai sana”
“Saya tunggu ya, Cu”
********************
Keesokan harinya
Si Penyok
Meisya sudah sampai di ruang praktekku hanya terlambat 5 menit. Aku sudah siap dengan alat-alat ritualku, aroma kemenyan dan wangi kembang sudah memenuhi ruanganku.
“Cucu tak ada acara lain siang ini, kan?”
“Kenapa emang Mbah?”
“Supaya cucu bisa konsentrasi dan akan memudahkan proses pengobatan”
“Hhhmm…siang belum sih, paling sorenya, ga selama itu kan Mbah?”
“Oooh masih banyak waktu kalau gitu sih. Kita mulai saja, Cu?  Woi Penyok, kamu siapin!” perintahku pada asistenku si Penyok.
O iya lupa memperkenalkan asistenku yang satu ini, nama aslinya Ependi, tapi aku biasa memanggilnya Penyok soalnya emang tampangnya penyok seperti ketabrak trus hak…hak…hak! tugasnya selain sebagai kasir, juga bantu-bantu aku melakukan ritual dan sebagai tukang bersih-bersih di sini. Kadang dia juga kebagian jatah nyicipin pasienku loh, tapi aku selalu wanti-wanti, jangan maksa alias merkosa, soalnya kalau diadukan aku bakal lepas tangan.
“Ini Penyok, asisten Mbah, dia akan membantu ritual ini” aku menerangkan pada Meisya, “silakan Cu….. maaf, buka dulu pakaiannya ya!”
Agak ragu-ragu sambil memandang Penyok, Meisya mulai membuka kancing blouse-nya. Si Penyok sibuk merapikan dipan sambil curi-curi pandang Meisya yang sedang membuka pakaiannya dengan grogi. Berdesir dadaku menyaksikan pemandangan ini walau sudah biasa sebetulnya, tapi kalau pasiennya secantik ini, dari kalangan artis pula, pastilah sensasinya lebih mendebarkan. Bayangkan saja, artis berkulit putih dan seksi ini sedang membuka blouse-nya di hadapanku. Buah dada kencang bulat dan putih seakan ‘memberontak’ dari topangan bra warna krem. Desiran di dada langsung ‘nyambung’ ke bawah, batangku mulai menegang. Hanya aku tak berani terus-terusan menatapi wanita ini membuka pakaian, untuk menutupinya aku pura-pura sibuk memberesi kertas-kertas catatan di meja kerjaku. Sesekali saja aku melihatnya. Meisya menarik resleting rok-nya ke bawah dan rok itu meluncur memperlihatkan cd sewarna dengan bra dan sepasang paha putih dan mulus. Benar-benar mulus, tak ada guratan apapun. Warna segitiga kehitaman membayang pada bagian depan cd-nya.
“Silakan cucu berbaring” suaraku,  jangan sampai serak-seraknya terdengar.
Aku membawa ‘kacamata’ mendekat ke dipan.
“Sekarang cucu rileks, santai,  kosongkan pikiran, jangan mikir apapun”
Aduuh … sebagian bongkahan daging di dada Meisya mencuat tegang.  Jelas saja ada yang menonjol di bagian bawah tubuhku, dia tak akan melihatnya karena letak dipan yang tinggi sepinggulku. Paling-paling cuma Penyok yang melihat tonjolan ini, dan itu bagi dia suatu pemandangan sehari-hari, sudah biasa.
“Ini bisa membantu cucu untuk bisa rileks, pakailah” kataku sambil menyodorinya penutup mata dari kain seperti yang biasa dipakai orang kalau tidur di perjalanan.
Aku bantu Meisya memakai ‘kacamata’ itu. Oh … tangannya begitu halus. Lalu seperti biasanya, aku memberi tanda pada Penyok untuk keluar ruangan dan langsung mengunci pintu dengan amat pelan. Ini juga merupakan ‘prosedur’ praktek yang tak pernah diketahui
oleh pasien. Sambil menunggu proses relaksasi ini adalah merupakan peluang bagiku untuk mengamati tubuh Meisya dengan bebas tanpa sungkan-sungkan lagi, toh pemilik tubuh
indah ini tak melihatnya. Bulatan halus buah kembar yang turun-naik seirama hembusan nafas memang menggairahkan. Aku menelan ludah menatapi perutnya yang halus rata tanpa kerutan padahal sudah pernah melahirkan. Beberapa helai culu yang mencuat dari samping cd, sepasang paha putih halus bulat dan berbulu halus, dan lonjoran kaki bersih, seluruhnya tak lepas dari pengamatanku. Dan … makin membuatku sesak nafas dan ketegangan maksimum dari penisku. Sabar … kelak akan tiba saatnya nanti. Nafas Meisya mulai teratur dan normal, kaki dan tangannya sudah tergeletak lemas, suatu tanda bahwa dia telah relaks. Sekarang langkah kedua kumulai.
“Coba,  sekarang cucu membayangkan hal-hal yang erotis”
“Membayangkan apa ya?”
“Umm … misalnya, sewaktu cucu bersebadan dengan suami, atau sewaktu cucu pacaran dulu, lagi bermesraan, atau lainnya. Pokoknya yang bisa memcuat cucu terangsang. Okay, mulai ya!”
Beberapa menit berlalu, kuamati tubuhnya dalam-dalam, tak ada perubahan yang berarti. Nafasnya masih normal-normal saja. Tak ada gerak anggota tubuh yang menandakan rangsangan.
“Kita ulang lagi ya Cu,  bayangkan hal-hal yang erotis lainnya”
Tetap belum ada reaksi. Justru aku yang berubah, begitu intensnya mengamati dada, perut, dan paha, malah birahiku yang naik, tampaknya artis cantik satu ini benar-benar ‘dingin’.
Langkah ketiga dimulai.
“Cu,  kita akan coba menemukan titik-titik erotik di tubuh cucu,  maaf … Mbah harus menyentuh cucu ya …”
Meisya mengangguk. Aku mulai dengan membelai-belai rambutnya.
“Kerjasama cucu saya harapkan,  cucu nanti katakan di bagian mana yang dirasakan enak, nikmat, geli, atau perasaan-perasaan lainnya, Okay ?”
Dari rambut aku turun meraba ke kening, pipi, hidung, telinga, bibir, dan dagunya. Belum ada reaksi yang signifikan, hembusan nafasnyapun masih normal. Juga ketika kurabai lehernya.
“Belum merasakan sesuatu, Cu ?”
“Belum.  Biasa aja tuh”
Aku harus dengan sabar mengulangi lagi meraba-raba seluruh wajahnya. Rabaan yang lebih intens. Kadang mengelus, ganti rabaan mengambang, sesekali menekan-nekan. Ulangan ini perlu, agar tak ada titik erotis yang terlewat. Masih biasa-biasa saja. Tak ada reaksi. Lalu aku turun ke dada. Kurabai dada yang tak tertutup bra, menyelipkan jari-jari ke belahannya,
mengelusi lereng-lereng bukit.  Kemudian turun ke perut dan pusar. Masih belum…kuulangi lagi mulai dari bahu. Lengan atasnya sedikit bergerak ketika aku menyusup ke belahan dadanya.
“Gimana Cu?” tanyaku untuk konfirmasi.
“Belum ada Mbah”
Memang dibutuhkan kesabaran yang tinggi. Suaminyapun mungkin tidak pernah sampai intens mengelus begini, mana sabar. Menurut cerita Meisya, bila bersetubuh suaminya “langsung naik” saja. Wajar kalau ibu muda ini hanya merasakan sakitnya saja alih-alih nikmat. Sebenarnya ada kemungkinan titik-titik itu terletak pada buah dada terutama di putingnya. Bagi wanita normal hal itu hampir pasti, tapi bagi wanita frigid belum tentu. Aku masih belum berani menjamah ‘sekwilda’nya. Khawatir disangka memanfaatkan
kesempatan, lalu dia menarik diri dari pengobatan ini, aku juga rugi. Lebih baik melatih kesabaran untuk nanti memetik hasilnya. Kembali menjelajah daerah perut,  pusar,  dan ke bawah lagi sampai batas cd-nya. Tiba-tiba lutut Meisya sedikit terangkat, terus balik ke posisi semula. Mungkin ini. Aku lalu lebih intensif menelusuri daerah bawah perutnya itu. Semua variasi rabaan kuterapkan di daerah ini. Nah… benar, nafasnya mulai berubah walau hanya sedikit. Awam mungkin tak akan melihat perubahan ini.
“Gimana Cu …”
“Hmm … ya,  di situ rasanya agak beda”
Ini awal penemuan titik yang kucari.  Lalu dengan menundukkan kepalaku secara hati-hati Aku menyentuhkan bibirku ke daerah yang “mencurigakan” ini.  Tak ada bagian tubuhku lain yang menyentuh,  hanya bibirku saja. Mula-mula menyentuh,  lalu mengusap-usap, mengecup,  dan usapan-usapan lain-lain. Aku tak yakin aMbahah dia tahu bukan hanya tanganku saja, tapi mulutku ikut mengusapi tubuhnya.
“Uuhh ….” lenguhnya pelan.
Bibirku makin aktif.
“Ya …. disitu enak Mbah”
Aku sudah yakin memang inilah titik pertama yang kutemukan. Di bawah perut tapi agak ke kanan, di atas pangkal tumbuhnya bulu-bulu kelamin. Walaupun sudah menemukan tapi bibirku terus mengeksplorasi-nya. Kalau yang ini demi kepentinganku sendiri.
“Ehmm …. udah-udah Mbah … geli” desahnya
“Kita temukan satu titik cu.  Saya yakin masih banyak yang lainnya”
“Kalau udah nemu, terus ..?”
“Harus terus dilatih, Cu.  Sebelum berhubungan, mintalah suami cucu untuk terus mengeksplorasi titik tadi. Ini akan membuat cucu mulai terangsang.  Kalau rangsangan sudah tinggi,  tak ada sakit lagi”
“Tapi tadi kaya’nya bukan terrangsang …”
“Belum,  Cu.  Makanya saya bilang tadi perlu dilatih. Tapi saya yakin itu salah satunya.  Percayalah”.
Seandainya aku boleh melepas celana dalam Meisya, mungkin akan menemukan titik-titik erotis lagi.
“Kita cari yang lain ya …”
Aku mulai dari paha kanannya. Batang pahanya memang nyaris bulat dan licin walau ditumbuhi bulu-bulu yang amat halus. Penelusuran di permukaan tak membawa hasil, lalu merambah ke sisi luarnya, sama juga.
“Maaf cu … bisa dibuka sedikit pahanya?” karena aku mau ke sisi dalam pahanya.
Meisya membuka pahanya sedikit,  memang aku mintanya hanya sedikit. Menelusuri sisi dalam paha dari lutut sampai ke pangkalnya.  Bisa saja aku jadi rada nakal dengan pura-pura terpeleset tangan hingga menyentuh selangkangannya, tapi sungguh mati aku tak berani.
Pada pertemuan pertama ini aku punya pikiran, kalau aku menyentuh bagian tubuhnya yang sekarang tertutup, ia akan mundur membatalkan pengobatan, atau lebih parah mungkin ia akan marah dan menuntutku. Kuulangi lagi proses penjelajahan paha kanan dengan lebih teliti sambil mengamati kembang-kempisnya dada dan hembusan nafasnya, apakah ada perubahan. Ketika tak ada perubahan apapun aku tetap saja menjamahi, tapi pandanganku tertuju ke semburat kehitaman di celananya. Tapi … tuh tubuhnya memberikan reaksi ketika telapak tanganku mendekati pangkal pahanya. Coba lagi dengan sedikit tekanan. Masih diam saja tuh. Rabaan mengambang, ia menggigit bibirnya, alunan nafasnya juga berubah.  Tapi ketika Aku melakukan rabaan lebih intensif, gerakan reaksinya berhenti.  Heran …harus ketemu. Dengan sabarnya aku mengulang-ulang. Oo … ternyata punggung telapak tanganku yang menyentuh paha satunya lagi, bukan paha yang kanan ini. Segera saja aku pindah ke situ. Benar saja! Ketemu satu lagi titiknya, yaitu di sisi dalam paha kiri dekat ke pangkal.
“Bagaimana Cu …?”
“Eemm ….. yah ….”
“Enak ?”
“Mungkin di situ ….”
Aku mengintensifkan titik ini sambil menunggu datangnya –boleh dikatakan semacam–keajaiban. Aku mengharapkan cd-nya membasah, sebab menurutnya selama berhubungan seks Meisya tak pernah basah sehingga harus dibantu dengan cairan khusus yang dibeli oleh suaminya. Tapi sekian lama titik itu aku usap-usap toh cd-nya tetap kering. Seperti di daerah
dada tadi,  kemungkinan titik bisa ditemukan di balik kain segitiga warna krem ini. Nantilah …
“Sekarang cucu berbalik ya, telungkup! Posisi tangan sesantai mungkin” tambahku ketika Meisya kelihatannya repot meletakkan tangan dalam posisi telungkup.
Amboi … bokong itu … bukan main. Inilah yang kemarin berguncang mengesanku. Melihat dari dekat malah semakin menggemaskan. Tak seperti tadi,  menelusuri tubuh bagian belakang Aku mulai dari bawah, telapak kaki,  betis, belakang lutut, belakang paha, seluruhnya kuraba dan kuelus tak ada yang terlewat sesentipun. Tiba di daerah pantat Aku tak bisa menahan untuk tidak meremas-remasnya.Untung dia tak protes, juga tak bereaksi. Juga di pinggang dan punggung. Aku hampir saja tergoda untuk mencubit limpahan daging buah yang tergencet, di sisi kiri dan kanan punggungnya. Tak ada apa-apa di daerah punggung,  hanya kemulusan saja. Nah, ketika Aku menjamah di leher belakang, baru Meisya mendesah. Lalu kedua belah telapak tanganku bergantian merabai daerah tenguknya. Irama nafasnya mulai berubah. Aku makin semangat, kusibakkan rambutnya agar tak mengganggu. Desahan berubah menjadi erangan.
“Gimana rasanya, cu?”
“Yah …. enak ….” inilah kata enak yang pertama kali dari mulutnya meluncur sejak sejam lalu.
Lalu Aku coba rada nekat,  dengan agak susah payah supaya tubuhku tak menyentuh tubuhnya– kucium tenguk Meisya. Tak ada protes, dia malah melenguh. Rasanya ingin aku memindahkan seluruh tubuhku menindih belakang tubuhnya. Tidak…setidaknya bukan sekarang. Aku masih mampu menahan diri, walaupun keteganganku tak kunjung surut juga.
“Cukup,  Mbah … sudah” katanya terengah maka kulepaskan mulutku dari bibirnya.
“Saya boleh berbalik ya … sesak nafas”
“Silakan cu.  Jangan bangkit dulu… relaks saja lagi”
Walau nafasnya telah memburu, tetap saja tak ada kebasahan di selangkangannya. Setelah beberapa saat berlalu
“Boleh saya buka penutup mata ?”
“Jangan dulu cu. Mbah akan ulang lagi proses tadi, baru kita nanti diskusi”
“Hm … rasanya cukup saja dulu Mbah.  Besok lagi aja”
“Ya,  terserah cucu aja, besok kita lanjutkan. Setidaknya sekarang cucu relaks dulu, cuma 5 menit”
“Kenapa Mbah ?”
“Prosedurnya begitu” jawabku sambil mengetok dinding memanggil si Penyok
“Sekarang boleh dibuka matanya cu” kataku setelah Penyok berdiri di sebelahku.
Meisya lalu bangkit duduk.
“Cu,  kita tadi telah menemukan 3 titik,  yaitu di sini (dengan sikap wajar aku mengusapi daerah bawah perut), di sini (paha kiri sisi dalam), dan di sini (kuduk). Ketiga titik tadi besok kita latih lagi dan berulang, agar cucu bisa lebih mengenal rangsangan”
“Dan aku masih terus tegang, cu…huak…hak…hak!” kataku, tapi dalam hati …
Meisya mendengarkan penjelasanku tanpa banyak tanya sambil berbenah diri. Setelah pamitan dan membayar biayanya, ia pun meninggalkan tempatku ini.
“Bodinya oke banget ya Mbah” kata Penyok dengan wajah mupeng
Aku tak memperhatikan komentar Penyok, masih terbayang kecantikan Meisya dan tubuhnya yang asoy geboy.
“Udah dapet, Mbah?”
Aku tahu maksud pertanyaan ini. Penyok memang tahu semua. Aku kadang “dapet” kadang tidak. Maksudnya ‘dapet’ di sini adalah aku bisa icip-icip kehangatan tubuh pasien dengan ‘lancar’, tanpa protes atau ricut-ricut, mau sama mau, sukarela tanpa tekanan.
“Belom…pelan-pelan Nyok, tapi yakin 90% pasti dapet deh hak hak hak!!” tawaku
“Ntar kalau dapet bagi-bagi yah Mbah, saya kan juga ngefans sama si Meisya itu, ternyata emang bahenol ya orangnya huehehehe…!” pintanya penuh harap
“Hehehe…itu mah gampang, sekarang mah…sana beresin dulu tuh barang-barang!” perintahku padanya yang langsung dituruti.
#########################
Esok harinya
Sekitar jam 9, Meisya sudah berada di ruang praktek. Tanpa diminta lagi dia langsung menuju dipan dan membuka baju. Kali ini dia mengenakan bra dan cd warna hitam yang kontras dengan putihnya kulit ibu muda ini. Dia lalu naik ke dipan mengenakan kain penutup mata dan merebahkan tubuhnya. Kutunggu dia beberapa menit rebahan agar merasa santai, sementara Aku memberi isyarat Penyok agar keluar ruangan. Penyok keluar sambil senyum-senyum mupeng. Aku mulai mengelus langsung pada titik erotis di bawah perut. Rabaan lembut mengambang. Elusan berganti-ganti dengan ciuman. Kadang jariku sengaja “mendorong” karet cd-nya agar sedikit ke bawah. Beberapa kali dorongan jari di tempat berbeda-beda telah menguak ‘cakrawala’ baru,  pangkal bulu-bulu kelamin Meisya terkuak.  Ini memcuatku makin tegang. Belasan menit berlalu usahaku membawa hasil, nafasnya mulai tak teratur. Setelah dia bisa merasakan rangsangan pertama, aku harus terus memelihara rangsangan itu dan berusaha terus meningkatkannya. Tangan kiriku masih mengelus di situ sementara tangan kananku menerobos celah pahanya. Meisya membentangkan sedikit pahanya, tanganku leluasa menelusuri paha kiri sisi dalam, titik erotis kedua Meisya. Menit-menit berlalu, aku mengerjai kedua titik itu tampaknya tak ada kemajuan. Aku amati selangkangannya baik-baik, tak ada kebasahan juga. Rangsangan awal yang dia rasakan, tidak berkembang. Aku harus mengubah taktik. Kuhentikan elusanku dan mendekat ke arah kepala Meisya.
“Bagaimana Cu ?” tanyaku setengah berbisik.
“Tadi memang saya bisa merasakan enak ketika Mbah ciumin di bawah perut tadi,  tapi lama-lama kok hilang…”  dia menjawabnya juga ikut berbisik.
“Cucu memikirkan sesuatu ?”
“Rasanya engga”
“Apa saja yang Icu bayangkan waktu saya ciumin tadi”
“Emm … saya membayangkan suami saya yang ciumin”
“Bagus … Lalu cucu ngebayangin situasi yang gimana ?”
“Saya membayangkan kami mau melakukan itu di kamar kami”
“Good….pertahankan bayangan cucu mau melakukan hubungan seks dengan suami, hanya jangan di kamar saja. Cucu harus kreatif membayangkan di lain tempat. Bisa di dapur,  kamar mandi,  ruang tamu,  atau di tempat terbuka sekalipun”
“Okay,  kita mulai lagi ya Cu”
“Sebentar … kadang bayangan saya terganggu” bisiknya, amat pelan.
“Terganggu apa, Cu”  Aku juga ikut berbisik
Tak ada jawaban hanya centikan jarinya mengisyaratkan sesuatu. Kudekatkan mulutku pada telinganya.
“Si Penyok?” bisikku.
Dia mengangguk.
“Cucu ingin Penyok keluar ?”
Mengangguk lagi.
“Nyok, kamu keluar sebentar gih!” kataku pura-pura bicara sama Penyok padahal dari tadi dia sudah di luar. Aku melangkah ke pintu, membukanya.
“Ntar kalau saya perlu kupanggil ya” aku bicara sendiri.
Pintu kututup lagi dan kukunci.
“Sudah Cu”
“Soalnya tadi waktu membayangkan suami,  seolah-olah Penyok ikut menonton” katanya.
“Ya,  bisa dimengerti Cu. Sekarang cucu buka mata dulu”
Dia melepaskan penutup mata.
“Coba lihat sekeliling, tak ada siapapun di sini, Okay?”
Dia mengangguk. Tanpa disuruh memakaikan penutup matanya kembali dan rebahan.
“Saya ada usul,  cucu boleh tak setuju”
“Apa Mbah ?”
“Kebanyakan wanita titik-titik rangsangan ada pada puting dada dan klitoris, nah kalau cucu setuju, mungkin kita bisa cari” nada bicaraku sewajar mungkin.
Tak ada jawaban.
“Mohon cucu tidak salah mengerti”
“Saya mengerti Mbah, cuma saya malu…selama ini hanya suami saya yang ….”
“Saya maklum, Cu.  Saya hanya melihat kemungkinan lain,  barangkali bisa membantu”
“Saya tahu Mbah”
“Cucu bisa seperti tadi,  membayangkan bahwa suami cucu yang melakukan”
Ah,  kok tiba-tiba Aku jadi ngotot begini. Biasanya kalau pasien tak setuju membuka bra
atau cd,  aku langsung membatalkan,  bukan “berusaha mati-matian” begini.  Terus terang aku memang ingin banget menjamahi buah dada dan kelamin artis cantik ini.
“Boleh, Mbah … tapi yang bawah jangan ya …”
Akhirnya.
“Kenapa, Cu ?”
“Malu ……”
“Ah, Cu …kan cuma saya yang ngeliat,  dan saya udah biasa kok. Cucu juga pernah melahirkan kan? Anggap saja cucu ke dokter kandungan”
“Iya … tapi,  yang atas dulu aja deh”
“Baik Cu”
“Maaf,  saya akan melepas kaitan beha Icu ya …”
Tubuh molek itu miring ke kiri sedikit.  Dengan sedikit gemetaran tanganku melepas kaitan bra-nya. Lalu tubuh itu kembali ke posisi semula, rebah. Lalu cup bra sebelah kanan aku buka sedikit demi sedikit (berdegup juga dadaku, untung aku ga ada sakit jantung, kalau ngga mungkin udah kumat). Lereng bukitnya mulai nampak. Terus dan terus…dan….sempurna. Hanya itu yang terucap (dalam hati) melihat pemandangan ini. Takjub….bukit itu memcusung seolah menantang langit, bersih dan ‘jernih’,  sampai urat-urat kehijauan tampak. Di puncaknya bertengger puting kecil kemerahan dan jernih dikelilingi lingkaran kecil warna coklat muda. Aku mati-matian menahan agar nafasku yang mulai tak teratur tak terdengar.
“Maaf Cu ya … saya harus meraba ….”
Meisya mengangguk. Mulai dari pangkal kuelus sekeliling. Uh…halus dan kenyal! Aku perhatikan perubahan nafasnya. Tak ada…yang berubah justru nafasku! Lalu aku mulai mendaki ke lerengnya (sementara penisku makin mengeras) Belum juga ada reaksi. Dengan ujung telunjuk, kusentuh putingnya. Lalu jari telunjukkupun menari-nari di sekitarnya. Tiba-tiba tangan Meisya menyingkirkan tanganku dari putingnya.
“Gimana Cu rasanya …?”
“Jangan di situ ….”
“Kenapa,  Cu ?”
“Engga enak”
Lalu tanpa menyentuh putingnya Aku perlahan meremas bukit indah itu. Buah kenyal itu berada di genggaman telapak tanganku. Dan puting itu tak kunjung mengeras, masih sama seperti pertama kali kubuka.
Kemudian cup bra satunya lagi kubuka dan aku mulai merabai seperti yang sebelah tadi. Kini kedua bukit kembar itu aku genggam. Hasilnya sama saja. Sampai di puting, Meisya menolak lagi. Coba cara lain, telunjuk dan ibu jariku mulai memelintir putingnya kini tanganku ditolaknya dengan agak kasar.
“Jangan Mbah …”
“Kenapa Cu, apa yang cucu rasakan?”
“Pokoknya engga enak,  engga nyaman”
“Kalau dipelintir ?”
“Makin engga enak. Saya juga melarang kalau suami saya menyentuh ujungnya”
Inilah yang tak normal. Kebanyakan wanita merasa ‘syur’ kalau puting dadanya distimulir.
“Saya coba bukan dengan tangan ya …”
Dengan nekatnya aku menjilat puting Meisya. Puting itu masih lembek juga. Lalu kepalaku disingkirkannya.
“Sama saja …. tak nyaman”
Lebih nekat lagi, bibirku mengulumnya. Kepalaku disingkirkannya lagi. Aduh ….aku sudah tinggi begini. Rasanya ingin kulepas cd-nya, kutindih, dan kumasukkan penisku. Tapi jelas saja aku tak mungkin melakukannya sekarang. Bisa-bisa dia teriak dan aku dituduh memperkosanya. Kalau sudah begini bisa urusan gede nih.
“Cu, ritual kita barusan menunjukkan tak ada titik erotis di buah dada cucu”
“Emang begitu kenyataannya, Mbah”
“Terus terang saya tak percaya, Cu”
“Kenapa?”
“Sebab ini berbeda dengan wanita pada umumnya”
“Terus gimana?”
“Ini harus kita latih, bertahap, agar cucu bisa merasakan enaknya”
“Apa bisa berubah?”
“Bisa Cu,  lagian sayang kan”
“Sayang ?”
“Buah dada yang indah begini kok …..” kalimat yang rada kurang ajar ini meluncur begitu saja dari mulutku.
“Ah, Mbah ni …. indah apanya?”
“Saya berkata jujur Cu, ingat, saya udah banyak melihat dada wanita, lho. Tak ada yang seindah punya cucu”
“Ah udahlah… terus gimana”
“Oh iya. Kita latih pelan-pelan” Meisya mengenakan bra-nya kembali
“Jangan dulu, Cu. Kita coba stimulasi kombinasi”
“Kombinasi ?”
“Kita jelajahi titik erotis Icu,  sambil melatih di dada”
“Cucu sekarang miring ke kiri, menghadap ke sana” lanjutku.
Dengan posisi miring begini alur lengkungan tubuh Meisya makin indah. Dari punggung terus menurun sampai pinggang, selepas pinggang tiba-tiba mendaki tajam dan melengkung di bagian pinggul. Dengan amat perlahan kutempelkan bibirku ke tenguknya. Kuciumi daerah leher belakangnya dengan lembut. Kadang hanya menempel, kadang juga menggeser diselingi dengan jilatan-jilatan. Meisya merintih pelan, amat pelan nyaris tak
terdengar. Sambil terus mencumbui, tanganku menyusup di sela lengan atasnya dan mencapai buah dada. Kuremas-remas dengan lembut dan penuh perasaan. Sesekali kusentuh
putingnya. Beberapa lama remasan dan bergantian kiri-kanan tak juga “membangunkan” puting Meisya. Lalu tanganku bergerak mengikuti alur lengkungan indah pinggir tubuhnya. Melewati pinggul tanganku terus menyusup ke sela pahanya dan stop di titik erotis temuanku,  sisi dalam paha kiri. Aku mengusap-usap daerah itu dan sesekali menyentuh selangkangannya. Rintihan Meisya makin keras dan  sering. Aku harus melakukan ‘test’ tentang reaksi fisik yang dialami pasienku, makanya tanganku lebih sering menekan selangkangannya dibanding mengusap pahanya. Sejauh ini tanganku tak merasakan ada kebasahan di situ. Mulutku makin intens menciumi tenguknya. Tiba-tiba ia bangkit,  kepalaku terhempas ke kasur.
“Saya… kira… cukup, ..Mbah …” katanya dengan nafas terengah, suaranya agak tinggi seperti marah.
Dia lalu membuka penutup matanya dan duduk bersandar ke dinding. Wowow! Buah dada itu tetap tegak menantang ke depan, tak ada kelihatan ‘turun’ sedikitpun. Pemandangan indah yang hanya sekejap kunikmati sebab tangan kirinya segera menutupi begitu dia sadar aku
memelototi dadanya. Tangan kanannya meraih bra dan mengenakannya.
“Tampaknya cucu mengalami kemajuan” kataku
“Yah … mungkin … engga tahu saya!”
“Apa yang cucu rasakan ?”
“Eemm … yah … memang agak beda …”
“Hmm maaf,  apakah cucu juga merasakan basah di bawah?” aku menegaskan pengamatanku.
“Saya engga tahu …”
“Cucu engga merasakannya ?”
“Engga”
“Begini,  ya,  Cucu harus sering-sering melatih seperti barusan. Mintalah suami melakukannya supaya berlanjut. Tidak terhenti seperti tadi” nasehatku.
“Terus dilatih sampai cucu merasa makin tinggi” tambahku “dan … bagian vagina jadi basah sebab inilah pangkal persoalannya. cucu rasakan sakit karena memang belum siap berhubungan. Kita telah temukan titik-titik erotis cucu. Titik itu harus rajin dilatih agar cucu terangsang, kemudian lalu basah dan cucu akan merasakan nikmatnya hubungan seksual”
“Tapi saya tak yakin, Mbah. Walaupun saya tadi sempat merasakan rangsangan, kenyataannya saya belum basah juga”
“Kita perlu eksplore daerah itu, kalau cucu setuju”
“Ah,  engga’lah” sahutnya cepat.
“Bukan tangan saya yang melakukan, Cu”
Meisya diam. Sepasang mata indahnya menatapku, minta penjelasan.
“Saya punya alat untuk itu” kataku sambil beranjak menuju meja kerjaku dan mengambil sebuah kotak dari laci meja.
Mata Meisya lekat mengamati tanganku membuka kotak karton itu. Kukeluarkan sebuah ‘dildo’, tiruan kelamin lelaki yang sedang ereksi, dari bahan khusus yang “feel like”
“Ih …..” serunya kaget.
“Jangan kaget dulu, Cu. Alat ini bisa membantu melatih area di bawah sana secara bertahap”
“Engga deh, Mbah. Yang asli aja sakit apalagi ini”
“Ya engga langsung dimasukin, dong.  Seperti yang saya bilang tadi, tahap demi tahap dan  berulang-ulang, kalau cucu setuju, kita bisa mulai sekarang di permukaannya dan daerah sekitarnya, barangkali kita bisa menemukan titik-titik lagi”
“Engga’lah. Lagian sekarang udah siang, jam dua nanti saya ada pemotretan” katanya sambil turun dari dipan.
“Atau kita coba dulu sebentar saja. Saya ingin tahu respons fisik cucu”
Aku begitu memaksa kali ini karena sudah demikian tingginya rangsangan menguasai seluruh tubuhku. Tapi Meisya tetap menolak.
“Baiklah,  cucu bisa pikir-pikir dulu,  mungkin besok saja kita lakukan” aku tak menyerah begitu saja.
“Baiklah Mbah…gimana besok saja” katanya menyiratkan aku masih punya harapan.
#######################
Keesokan harinya Meisya yang kutunggu-tunggu tak juga muncul. Entah dia memang tak bersedia membuka cd-nya atau dia benar-benar sibuk. Jadi seharian ini aku menganggur saja. Aku terbangun ketika pintu kamarku di ketuk.
“Mbah … Mbah …. ada tamu” suara Penyok.
Kulihat jam, wah … jam 9 lebih. Kesiangan.
“Siapa ?”
“Bu Meisya”
Meisya! Datang juga dia akhirnya. Aku langsung bersemangat.
“Suruh tunggu,  sediain minuman”
“Udah”
Aku mandi dengan cepat dan hanya sempat melahap setangkup roti dan segelas teh manis.
“Selamat pagi, Cu … maaf lama menunggu” sapaku.
“Pagi Mbah. Engga apa-apa kok. Baru bangun ya ?”
“Iya …”
“Mengganggu tidur Mbah dong”
“Ah,  engga. Udah seger kok” (gimana ga seger kalau ada yang bening-bening gini)
“Gimana perkembangannya Cu?”
“Maksud Mbah ?”
“Cucu melatih engga ?”
Setelah diam agak lama, dia lalu membuka mulut
“Kemarin saya minta suami menciumi leher belakang”
“Terus ?”
“Sambil meraba-raba paha” diam sejenak
“Tapi ya itu … saya udah mulai enak, seperti biasa, dianya engga sabaran”
“Hmm …”
“Langsung naik …. sakit lagi”
“Engga apa-apa Cu untuk tahap pertama, teruskan saja. Sedikit demi sedikit minta dia lebih lama merabanya”
“Cucu juga bisa melatih sendiri di bawah perut dan di paha”
“Iya,  cuman ternyata saya rasakan yang paling enak di kuduk”
“Nah,  itu juga suatu kemajuan, cucu sudah bisa membedakan mana yang lebih enak”
“Eeng … ada satu lagi ….saya kemarin …..”
Aku tunggu,  kalimatnya tak berlanjut.
“Kemarin apa Cu ?”
“Hmm … apa tuh …. susah ngomongnya ah,  malu”
“Tenang Cu, disini semua kerahasiaan dijamin, ga perlu malu” aku menenangkan sambil memegang pundaknya, “ceritakan sajalah”
Setelah menghela nafas menenangkan diri, Meisya pun mulai bercerita
“Sebelum dia masuk,  suami saya pegang-pegang itu….”
Diam lagi.  harus super sabar, memang.
“Rasanya … enak …”
“Nah kan,  seperti yang saya bilang kemarin. Kelihatannya di situ perlu dilatih”
“Kemarin aja tumben dia pegang-pegang, biasanya engga pernah”
“cucu sendiri saja melatihnya?”
“Sudah saya coba, kalau dipegang sendiri engga enak”
“Baik, engga apa-apa.  Gimana dengan tawaran saya kemarin”
“Tawaran apa”
“Pakai alat yang itu”
“Itu … yang ingin saya coba”
Mendengar jawaban itu, mendadak aku gembira luar biasa bak menang lotere. Penisku mulai memuai.
“Cucu …. kenapa engga bilang dari tadi?”
Dia hanya senyum malu-malu.
“Kita mulai saja, Cu”
“Penyok nanti engga masuk, kan ?”
“Engga.  Kalau engga saya suruh dia engga masuk”
Meisya membuka pakaiannya dan rebahan di dipan. Aku mengambil penutup mata dan dildo. Bra dan cd-nya masih menempel di tubuhnya. Meisya melirik dildo di tanganku.
“Kenapa engga dibuka semuanya?”
“Nanti aja Mbah, saya mau rileks dulu”
“Okay,  bagus. cucu udah mulai mengikuti metode saya. Rileks lalu berkhayal ya!”
Kubantu dia mengenakan penutup mata. Sementara dia rileks, mataku melahapi tubuh mulusnya. Penisku makin tegang terangsang membayangkan apa yang akan kulakukan nanti. Kubiarkan dia barang 10 menitan, lalu aku mulai meraba bawah perutnya.
“Dari belakang saja, Mbah” Meisya langsung memiringkan tubuh.
Kuciumi tenguknya. Dia memang mengalami kemajuan, tak lama kemudian nafasnya mulai tak teratur dan mulutnya mengeluarkan erangan-erangan. Aku makin terangsang. Kubuka kaitan bra-nya lalu tanganku meremas-remas susunya. Heran aku, puting itu tetap saja tak
menjadi keras. tanganku menelusur turun merabai bawah perutnya. Ketika suara erangannya makin keras dan sering, kulepas ciuman di tenguk dan aku bergeser ke bawah tubuhnya.
Aku berdiri di ujung dipan, di sisi bawah tubuhnya. Kedua kakiku naik ke pijakan yang telah kusiapkan. Kuoleskan dildo itu di bawah perutnya. Sesekali menyusup ke karet cd-nya.  Pahanya juga kuusapi. Tubuhnya mulai tak tenang, menggeliat walaupun geliatan kecil. Sambil masih mengusap-usap dengan dildo, tanganku yang bebas secara perlahan menggeser dua dudukan tinggi yang tadi rapat ke dinding.  Inilah saatnya, perlahan kutarik karet cdnya ke bawah. Wow! bulu-bulunya tertata rapi, mungkin dicukur secara berkala. Kupelorotkan lagi cd-nya hingga lepas dan dengan sopan dan pelan kubuka pahanya. OH! Wanita ini memang istimewa. Kewanitaannya begitu bersih dan indah. Merah muda mendekati pink. Tak ada “gelambir” atau warna kecoklatan di bibirnya. Benar-benar ‘jernih’. Clit-nya kecil menonjol agak “panjang”. Kelamin yang terlalu sayang kalau dilewatkan. Vagina yang pantas dijilati. Ingin rasanya aku menjulurkan lidahku menyentuh clit-nya atau menelusuri belahan bersih ini. Hanya sayangnya, bagian tubuh wanita yang terpenting ini kering. Seandainya ia basah, menjadi mengkilap dan akan menambah keindahannya. Kugeser dildo itu ke bawah,  menelusuri bulu-bulu kelaminnya. Aku tak bisa mengamati efek dari stimulan ini sebab dia memang mulai terangsang. Tak bisa membedakan dari mana asal rangsangannya. Apakah dari stimulasiku sekarang pada bulu-bulu kelaminnya ataukah memang hasil rangsangan dari tadi di tenguknya. Efek gesekan dildo ini baru nyata setelah dia nanti basah, pertanda rangsangannya meningkat. Aku menurunkan lagi geseranku. Mendadak datang ide di kepalaku, sebelum dildo itu menyentuh clit-nya. Ide yang nakal dan beresiko, tapi nikmat. Kenapa tak dicoba saja? Sambil masih menyeruaki bulu-bulu dengan dildo di tangan kiriku, aku melangkah mengambil posisi di bagian kepala Meisya. Tubuhnya masih berkelejot kecil. Tangan kiriku lalu mengelusi buah dadanya, sekedar memberitahu kehadiranku disitu.
“Cucu bisa bergeser ke bawah ?” kataku berbisik di dekat telinganya,  kubuat suaraku mendesah.
Dia menggeser tubuhnya ke bawah.  Aku check posisinya.
“Sedikit lagi Cu” masih berbisik “stop” kataku ketika pantatnya telah mencapai pinggiran dipan.
Aku kembali ke posisi semula dan kakiku naik ke pijakan sehingga posisinya kurasa sudah
pas. Dildo masih di seputar bulu kelaminnya, sementara tangan kiriku mengelus paha kanannya, lalu bergeser ke betis dan kakinya. Kakinya kuangkat sambil kubuka lebar, lalu kuletakkan di dudukan tinggi yang tadi telah kuatur letaknya. Dildo kupindah ke tangan kiri
dan tangan kananku membuka paha kirinya yang kemudian kuposisikan seperti tadi tapi berlawanan arah. Posisi Meisya kini mengangkang persis seperti posisi ibu yang akan melahirkan. Kewanitaannya sudah semakin jelas terpampang.
“Cu … sebelum dengan alat,  boleh saya menyentuhnya?” tanyaku pelan.
Meisya mengangguk beberapa kali. Rupanya dia memang menunggu saat-saat kelaminnya disentuh. Menurut pengalamannya kemarin, memang menimculkan rasa ‘enak’. Sungguh, bagiku inilah saat-saat yang paling “membahagiakan”. Susah diceritakan perasaanku waktu itu. Terangsang hebat, dan aku diperbolehkan merabai vagina yang paling indah ini. Aku mulai dari pinggir kiri dan kanan, tak langsung ke clit. Lalu ke kedua belah labia mayora.
“Enak …Cu …?”
Meisya mengangguk.
Dengan ujung jari telunjuk kusentuh clit-nya pelan, amat pelan.
“Uuhh …” dia melenguh.
Berikutnya clit itu kuelus dan tekanan jari kutambah. Berikutnya lagi telunjukku berputar-putar. Meisya mengerang. Lalu jariku bergeser menelusuri kedua belah labia minoranya. Menggeseknya kemudian turun sedikit mencapai pintu vaginanya. Aku
berhasil! Kurasakan ada kebasahan di sana. Rangsangannya telah meningkat.
“Sekarang pakai alat ya Cu!” suaraku jelas serak.
Aku melepaskan kemeja lusuh dan sarungku hingga bugil. Penisku yang tegak mengacung kupegang di pangkalnya. Lalu dengan amat hati-hati Aku maju. Hati-hati jangan sampai ada bagian tubuhku yang menyentuh pahanya. Supaya Meisya tetap mengira aku menggunakan alat untuk menstimulir vaginanya. Padahal Aku menggunakan “alat”ku yang vital. Kugeser-geserkan kepala penisku menelusuri seluruh permukaan vaginanya. Di bagian clit kutekan-tekan.
“Gimana rasanya Cu ?” aku mengatur nafas dulu sebelum bicara.
Meisya hanya mengangguk-angguk, tak mampu lagi bicara. Aku lalu berputar-putar sekitar liang senggamanya. Lalu ketika kepala penisku tepat di lubang, aku menekan. Hups … mentok, dan …
“Auuff” teriakan lirih Meisya. “Jangan Mbah…sakit!”
Aku makin sabaran melumatnya karena birahiku sudah sedemikian tinggi. Aku sudah siap lahir dan batin buat penetrasi. Aku maklum kenapa suami Meisya jadi tak sabaran. Lelaki mana yang tahan dengan segala penampilan fisik seperti Meisya ini? Aku harus bersabar. Kujelajahi lagi seluruh permukaan vaginanya dengan kepala penisku. Berulang kali aku juga mencoba menusuk. Perlakukan saja seperti akan menyetubuhi seorang perawan. Sampai suatu saat tak terdengar lagi suara ‘aauuf’ dari mulut Meisya. Aku telah masuk sampai leher, sungguh rasanya seperti punya anak gadis saja, padahal sudah pernah dipakai melahirkan. Aku harus melicinkan ‘jalan’ dulu. Kutarik penisku dan kutusuk lagi, hanya sebatas leher, begitu berulang-ulang.
Aku mulai menikmati enaknya, tubuhku mulai seakan melayang-layang, sampai aku lupa memperhatikan reaksi Meisya. Dia sudah seperti layaknya perempuan normal. Merintih-rintih, kepalanya mendongak, tubuhnya berkelejotan. Saatnya Aku masuk lebih dalam. Pinggulku terus bergerak maju-mundur, sedikit demi sedikit penisku makin dalam menusuk. Sampai akhirnya batang penisku telah tenggelam seluruhnya ke dalam
liang vaginanya. Kelamin kami telah benar-benar menyatu. Aku lupa menjaga agar tubuhku tak menyentuh pahanya. Kini pinggul depanku telah menempel erat ke selangkangannya. Kalau sudah begini dengan sendirinya akupun bergoyang memompa. Tiba-tiba Meisya bangkit, dilepaskannya penutup matanya dan ditariknya tubuhnya.
“Kamu…!” teriaknya dengan nada marah, tak lagi memanggil dengan ‘Mbah’, kelamin kami pun terlepas.
“Kamu ambil kesempatan ya!” katanya lagi, tapi matanya menatapi penisku yang masih tegang.
“Maafkan Mbah…Cu” apa boleh cuat, aku memang melakukan kesalahan.
“Begitu ya caranya mengobati, sengaja mengambil keuntungan …dasar dukun cabul!” ia marah dan menghardikku
“Engga selalu, Cu. Tadi Mbah benar-benar tak mampu menahan diri …” aku tertunduk dan menjawab pelan
Dia diam, beberapa kali matanya tertangkap melirik kelaminku.
“Sumpah, Cu. Mbah benar-benar lepas kontrol tadi”
Dia masih terdiam, kesempatanku untuk membela diri.
“Habisnya ….cucu begitu mer ….”
“Apa? nyalahin aku lagi!?” potongnya.
“Sama sekali tidak. Mbah ngaku salah. Mbah gak tahan soalnya cucu begitu istimewa” aku menunggu reaksinya….tak ada.
“Semua yang ada pada cucu,  begitu indahnya ….lagipula…ini memang bagian dari ritual” kataku sambil menatapi susu dan kelaminnya yang masih terbuka, bergantian.
Dia memutar tubuhnya menghadap dinding membelakangiku begitu tahu aku menatapi
tubuhnya. Dia menunduk diam…sunyi. Sungguh suasana yang tak enak. Cukup lama hingga akhirnya,
“Saya tadi sungguh kaget, tak menyangka, bukan apa-apa …” nada suaranya berubah, tak lagi marah seperti tadi tapi masih membelakangiku.
Aku menunggu ucapan berikutnya.
“Kalau memang begitu … Mbah tak usah curi-curi …”
Harapanku timbul kembali, dia kembali memanggil dengan ‘Mbah’.
“Mbah bisa minta baik-baik…” tak salah lagi.
Mendadak aku gembira.
“Maksud cucu?” dia menoleh,
“Ya…Mbah tahu maksudku” lalu kembali menatap tembok.
Aku mendekatinya,  ketika persis di belakang punggungnya, kubelai-belai rambutnya. Tak ada penolakan, bahkan kulihat dia memejamkan mata. Aku berlanjut. Kucium tenguknya pelan, kutelusuri seluruh permukaan leher belakangnya dengan mulutku. Meisya mendesah erotis. Memang di sinilah harus dimulai bila menginginkan dia terangsang. Aku berani taruhan suaminya tak pernah melakukan begini. Melewati kedua bahunya, kedua tanganku meluncur menjamah buah dada.  Kuraba, kuelus, kuremas kedua buah kembarnya dengan perasaan utuh yang memang bertujuan untuk menikmati bulatan daging indah itu. Berbeda dengan tadi pada saat aku pertama kali merabai dadanya, perasaanku hanya setengah hati menikmatinya. Setengah lainnya memang sedang mencari-cari titik-titik erotis. Kali ini penghayatanku sepenuh hati. Entah karena perasaan yang penuh tadi mungkin saja
berimbas kepada dia, yang jelas dia tak mencegah ketika jari-jariku merabai putingnya. Kutarik punggungnya hingga merapat erat ke bagian depan tubuhku dan kelaminku merapati pinggangnya, agar kedua tanganku bisa lebih intens menikmati dadanya.
Benar saja, telapak tanganku yang sudah kasar dan keriput merasakan puting itu mengeras. Teknik remasanku sebenarnya sama dengan remasan tadi pagi, hanya sekarang lebih menimbulkan sensasi. Beda rasanya meremas buah dada dalam keadaan puting keras terangsang dibanding buah dada yang “tak responsif”.
Sebelah tanganku meluncur ke bawah ingin tahu, semacam ‘test’.  Pahanya sedikit membuka memberi jalan ketika tanganku menyusup ke selangkangannya. Benar, dia telah lembab. Basah layaknya wanita-wanita normal. Kuputar punggungnya jadi menghadapku.
Kuangkat dagunya sedikit lalu kulumat bibir indahnya. Meisya menyambut lumatanku, bahkan bibirnya minta disedoti. Kurebahkan punggungnya ke kasur, aku lalu naik ke dipan dan menindih tubuhnya. Pahanya membuka memberi tempat untuk pinggulku. Aku masih melanjutkan ciuman di bibirnya sebentar sebelum turun ke leher dan terus ke dada. Aku menciumi kedua belah dadanya juga dengan sepenuh hati. Buahnya serasa lebih kencang dibanding tadi. Tak ada protes atau keluh kesakitan ketika aku menjilati dan bahkan menyedot-nyedot puting dadanya. Segalanya normal. Lalu ketika tanganku memegang penis tegangku dan menyapu-nyapu permukaan vaginanya, reaksinyapun seperti wanita normal, mendesah-desah, merintih dengan tubuh bergerak-gerak tak beraturan. Aku tak ingin mengulangi kesalahan yang tadi, tak ingin cepat-cepat menusuk. Dengan kepala penisku,
kutelusuri seluruh permukaan kewanitaannya, mulai clit sampai seputar liang senggamanya,
berulang-ulang. Mati-matian aku menahan diri untuk tak menusuk. Nah ketika liangnya memcuat kepala penisku terpeleset, tibalah saatnya cuat mencoba masuk.
“Cu… boleh ya?” bisikku.
Meisya mengangguk.
“Cucu benar tak keberatan kan?”
Lagi dia mengangguk, berkali-kali kubuka lagi pahanya lebih lebar, kutempatkan ujung
kelaminku tepat di liangnya, lalu aku menekan. Kepala penisku masuk.
“Sakit,  sayang?” Uh aku memanggilnya sayang, meluncur begitu saja.
Dia menggeleng. Hanya sebatas kepala aku memompa. Kuamati wajahnya. Kepalanya mendongak,  matanya terpejam rapat, mulutnya terus merintih dan mengerang, kedua tangannya gelisah ke sana kemari,  kadang meremas bantal kadang seperti mencabut sprei. Nafasnya memburu. Aku berhenti memompa, ingin masuk lebih dalam, aku
menekan lebih kuat.
“Ah …..” serunya kecil,  keningnya berkerut, tanda kesakitan.
“Sakit?”
Meisya mengangguk lemah. Kutarik penisku lagi pada posisi semula.
“Tapi engga apa-apa …. terus aja …” kata Meisya lirih.
Aku menekan lagi. Wajahnya berkerut lagi. Kutarik lagi dan kugoyang sebatas kepala, lalu menusuk lagi. Kerutan wajahnya menandakan kesakitan walau tanpa mengaduh. Masuknya harus pelan-pelan, bertahap, senti demi senti. Persis seperti menyetubuhi seorang perawan. Harus ekstra sabar.
Kesabaran memang membawa hasil. Tangan Meisya yang tadi memeluk punggungku meluncur turun ke pantatku, dan menekannya. Suatu isyarat untuk lebih ke dalam lagi. Pinggulku menekan. Penisku masuk lebih dalam, tapi lagi-lagi keningnya berkerut. Aku menarik pinggulku, tapi tangan Meisya menekan pantatku lagi. Mungkin dia merasa sedikit sakit, tapi sebaliknya juga merasa enak sehingga memintaku untuk terus masuk sampai seluruh batang penisku tenggelam. Aku mulai memompa. Memang sih tidak seperti vagina perawan yang yang begitu susah dimasuki namun cukup terasa gesekan alat kelamin kami. Otot-otot dinding vaginanya masih terasa digeseknya. Kulihat tak ada sisa ruang lagi ketika penisku keluar masuk liang vaginanya. Ya! Aku benar-benar telah menyetubuhinya. Rasanya bagai mimpi, tak kusangka sekarang aku berhasil berhubungan seks dengan artis cantik dan seksi, berkulit putih, punya buah dada yang sempurna, dan kewanitaan yang “jernih” dan indah.  Kelamin yang indah ini sekarang sedang kupompa dengan penuh semangat. Pemilik vagina yang jernih ini sedang menikmati pompaanku. Kepalanya menengadah menatap dinding di atasnya, mulutnya sibuk mengerang dan merintih, keringatnya membasahi sekujur tubuhnya dan bercampur dengan keringatku. Ketika pendakianku menuju puncak hampir sampai, aku mempercepat ‘langkah’ku dan kemudian bersiap-siap menunggu moment yang tepat untuk dicabut. Saat itu pula Meisya malah mengeratkan jepitan kakinya pada pinggulku seakan dia tak rela aku meninggalkannya. Apa boleh buat, dicabutpun sudah terlambat. Beberapa detik setelah hujaman kuat, aku ejakulasi di dalam vaginanya. Ejakulasi yang membuat tubuhku bergetar, suatu tanda puncak yang kucapai memang tinggi. Babak berikutnya Meisya dengan penuh semangat menggoyang-goyangkan pinggulnya di atas penisku. Sambil meremas buah dadanya yang montok itu secara bergantian aku tekan penisku lebih kencang ke dalam vaginanya. Penis besarku keluar masuk sampai mentok kedalam vaginanya.
“Uhh.. enak Mbah…terussshh…terus…ahh!” ceracau Meisya merasakan gesekan alat kelamin kami.
Aku menghentak-hentakkan pinggulku ke atas sehingga penisku dengan ganas menusuk-nusuk vaginanya. Ia mencondongkan tubuh ke depan sehingga wajahnya di atasku. Kulumat bibirnya dengan ganas sambil kuremas-remas kedua pantatnya yang montok itu. Meisya langsung teriak-terikan dan mendesah keenakann. Dalam hitungan 10 menit ia sudah tidak dapat menahan kenikmatan itu lebih lama lagi dan
“Ahh… ennaakk… aku orgasmeee Mbah!” erang Meisya panjang.
Aku membiarkannyaa menikmati orgasmenya beberapa waktu. Setelah reda kulanjutkan lagi genjotanku ke vagina yang sangat sempit, legit dan merangsang itu dengan menindih tubuhnya.  Setelah sejam lebih persetubuhan penuh gairah itu kami terbaring lemas berduaan, nafas kami telah mereda. Aku masih menindihnya dan penisku masih di dalam tubuhnya. Masih terbayang-bayang, betapa nikmatnya hubungan seks yang baru saja kami lakukan. Ejakulasi yang benar-benar di puncak yang tinggi. Nikmatnya bersetubuh dengan sang artis cantik yang vaginanya masih peret seperti Meisya. Sungguh nikmat yang susah disamai. Meisya tersenyum.
“Kenapa cu?” tanyaku.
Senyuman berubah jadi ketawa kecil.
“Ada apa sih cu, kesambet jin ya?” aku makin heran.
Ketawa kecil itu tiba-tiba jadi ngakak. Aku bangkit menatap matanya.
“Jadi begini ya … cara mengobati…” katanya setelah berhenti ketawa.
Aku merasa tersindir.
“Ya begitulah cu, supaya tahu hasil terapi …” jawabku asal.
Tiba-tiba ketawanya meledak lagi.
“Berarti…sama dia…sama dia juga hihihihi?” tanyanya sambil tertawa.
“Siapa cu? Dia siapa?” tanyaku bingung
“Itu…Mpak Atiek, saya dulu kan pernah ngobrol sama dia, dia bilang pernah berobat ke Mbah” jawabnya menahan geli.
Mpok Atiek, ya aku ingat deh sama ‘mantan’ artis cantik itu. Lagi-lagi dia ketawa, barulah aku menyadari arti ketawanya.
“Ya eellah…engga semuanya dong cu. Mbah juga milih-milih, Mpok Atiek emang waktu dulu pernah dateng ke Mbah gara-gara perkawinannya gagal melulu, itu ga lama sebelum dia kawin yang ketiga. Ya Mbah udah kasih jampi-jampi sampe akhirnya dia dapet laki juga kan tapi ya karena penampilan fisiknya sama faktor lain juga, ya seperti itu Mbah juga cuma bisa ngebantu segitu lah, ga sampe main seperti sama cucu tadi”
“Udah berapa ratus orang emang Mbah?” tanyanya sinis.
“Ah, itu sih rahasia perusahaan Cu, kan Mbah udah bilang. Kasus cucu ini juga aman cuma kita berdua yang tau.” jelasku.
“Heemm….oke oke deh Mbah saya percaya kalau gitu”
“Sekali lagi maaf ya cu, Mbah tak mampu menahan diri habis cucu begitu indahnya.” jawabku
“Huh … gombal, tapi jujur saja, aku udah ngerasain beda kok setelah ritual tadi Mbah, saya akan terus latih sama suami saya, untuk itu saya harus bilang makasih ke Mbah”
“Hehehe…ga apa-apa Cu, udah seharusnya, tuntutan profesi” aku juga sempat memuji keindahan seluruh bagian tubuhnya,  mulai dari kulit, wajah, buah dada sampai keindahan kewanitaannya.
Meisya hanya terdiam, entah apa yang dipikirkannya. Mungkin bangga atau karena belum ada lelaki yang pernah menggambarkan keindahan dirinya begitu detil. Ia lalu ke kamar mandi, aku memberesi pakaian dalamnya yang berserakan. Keluar dari kamar mandi aku
membantunya mengenakan pakaian. Setelah membayar, dia pun pamitan, ini salah satunya kenapa aku betah menjalani profesi ini, sudah dapet yang enak-enak masih dibayar pula.
“Terima kasih ya, baru kali ini aku bisa menikmati” katanya menjelang keluar pintu.
Kutarik tangannya,  dan kupeluk tubuhnya erat-erat. Kucium bibirnya lagi sebelum berpisah. Penisku menggeliat lagi. Merasakan itu Meisya lalu merenggangkan tubuhnya.
“Terus dilatih sama suami ya. Mbah siap membantu kapan saja”
Sambil tersenyum ia keluar dan menutup pintu ruang praktekku. Setelah semuanya selesai, seperti bias aku memasang dupa pada sesajen di atas meja kerjaku berterima kasih pada jin yang telah membantu menjalani proses ritual ini hingga akhir. Mulutku komat-kamit membaca mantra selama beberapa menit hingga akhirnya selesai.
“Nyok…beresin Nyok!” aku memanggil si Penyok untuk membereskan semuanya.
Semenit kutunggu…tapi yang dipanggil belum juga datang ataupun menyahut. Weleh…ngapain nih anak dipanggil kok ga dateng-dateng. Aku berjalan ke arah pintu, sekonyong-konyong terdengar bunyi desahan dari luar sana. Pintu kubuka dan kudapati si Penyok sedang duduk memangku Meisya yang menaik turunkan tubuhnya di atas penisnya. Baju Meisya sudah tersingkap sana-sini dan branya terangkat sehingga Penyok dapat menyusu pada payudaranya sambil menikmati genjotannya. Mereka bersetubuh dengan sangat liar sampai tidak menghiraukan kehadiranku. Meisya yang cantik itu begitu bergairah bersetubuh dengan si Penyok yang mukanya seperti ketabrak truk itu.
“Hehehe…sebentar ya Mbah…aaahh…abis ini saya beresin, lagi asyik nih, uhhh!!” sahut Penyok sambil meremasi kedua payudara montok Meisya.
“Yeee…dicariin malah ngembat pasien ogud, ya udah ntar kalo udah kerja lagi!” kataku
“Beres Mbah…uuhhh…enakkkhh!! mmm!!” jawabnya lalu melumat payudara kiri Meisya dengan rakusnya.
Aku kembali ke dalam ruang kerjaku membiarkan mereka meneruskan aktivitas asyik masyuknya. Aku melihat data-data calon pasienku berikutnya di atas meja kerjaku. Hhhmmm…yang satu ini dari Bang Haji Rhoma Irama, keluhannya keperkasaanya tambah lama tambah payah, sampe cuma lima menit langsung crut dan lemes, sampe seorang istri sirinya tidak puas dan minta cerai darinya (hhhmmm…si Angel Lelga kah?) jadi dia minta bantuanku untuk mengembalikan keperkasaanya supaya bisa memuaskan seorang penyanyi dangdut yang terkenal dengan julukan ‘ratu ngebor’. Weleh…weleh….aku geleng-geleng kepala membaca keluhan ini. Setelah itu aku berbaring tidur-tiduran untuk beristirahat sebelum pasien berikutnya datang.

0 komentar:

Posting Komentar