blog visitors

Pemuda Nelayan

Ini bukanlah kejadian sebenarnya. Ide cerita datang sewaktu melihat foto cantik di bawah ini.



Namaku Alimudin, tetapi biasa dipanggil Udin saja. Umurku 27 tahun, sudah pantas untuk berkeluarga tetapi belum juga punya isteri. Sebabnya nanti aku jelaskan. Pekerjaanku nelayan tradisional. Aku menjadi anak buah perahu seorang kerabat dekatku yang berlaku sebagai juragan….. Kami biasanya berangkat melaut sore hari dengan perlengkapan lampu dan pulang keesokan harinya membawa hasil tangkapan.

Sebenarnya dalam usia yang sudah cukup tinggi bagi seorang pemuda desa, keluarga dekat dan teman-temanku sudah menganjurkan agar aku kawin supaya bisa hidup lebih tenang. Mereka sodorkan beberapa calon. Tetapi aku tolak.

Aku sebenarnya bukan tak mau punya isteri. Yang jadi ganjalan adalah: aku punya selera terlalu tinggi. Tak seorangpun dari yang mereka calonkan itu rasanya cocok dengan seleraku. Membayangkan mereka telanjang bulat-pun rasanya tak akan bisa membangkitkan hasratku. Lalu bagaimana aku dapat melaksanakan kewajibanku sebagai suami.

Tetapi jangan salah-kira. Aku bukannya impoten. Aku bisa “berdiri”. Dan keras sekali. Dan aku merancap setiap ada kesempatan. Tetapi aku hanya bisa “berdiri” kala merancap kalau membayangkan mojang cantik, gadis putri pengusaha yang juga pejabat yang memiliki rumah bagus tak jauh dari desa nelayan tempat aku tinggal. Namanya Lala.

Ya kepada kerabat dekat dan teman-temanku kukatakan bahwa Lala-lah gadis yang ingin aku per-isteri. Dan ini menyebabkan mereka tertawa terpingkal-pingkal dan mencemo’ohkan aku. Karena melihat aku sungguh-sungguh, mereka katakan aku burung pungguk yang merindukan bulan, pepatah bagi seorang yang mengimpikan sesuatu yang hampir tak mungkin terlaksana, sehingga jadilah namaku bertambah menjadi si Udin Pungguk.

Ya, aku sendiri juga sadar aku dan Lala seperti bumi dan langit. Aku hanya pemuda nelayan miskin yang smp-pun tak tammat, sedang Lala itu anak orang kaya berpangkat dan berpendidikan tinggi. Dia tinggal di pinggir kampung kami, di sebuah villa pinggir pantai yang dibangun bapaknya khusus untuk istirahat akhir pekan menikmati suasana pantai sekitar desaku yang indah permai. Kabarnya dia mahasiswi universitas paling bergengsi di Jakarta dan bakalan menikah dengan putra seorang menteri terkemuka yang juga terkenal kaya-raya.

“Apa kamu pernah berteguran dengan dia, Din?”salah seorang temanku nelayan yang sudah ber-isteri bertanya ketika kami hendak melaut. Aku menggeleng dan merekapun tertawa terbahak-bahak.

Sebenarnya dia pernah tersenyum ramah padaku, sewaktu aku berdiri bengong di pinggir jalan melihat dia lewat mengemudikan mobil bapak-nya. Waktu itu kami lagi membenahi jaring. Wah, waktu itu wajahnya deket benar karena aku berdiri di pinggir jalan. Ah kelihatannya dia tidak sombong. Malah kelihatannya dia suka padaku. Aku ini tidak jelek-jelek bener kok. Walau hitam, tubuhku kekar berotot dan punggungku yang telanjang berminyak diterpa terik matahari siang.

Dan juga ketika dia berdiri di pinggir pantai bergandengan dengan pacarnya yang kokoh tampan, saat perahu kami berlabuh ke pantai membawa ikan. Dia dan pacarnya mendekat hendak melihat ikan hasil tangkapan kami. Teman-temanku melirik padaku, menahan tawa mengandung ejekan.

“Banyak tangkapannya, Mang?” Aduhh merdunya suaranya. Bak suara bidadari sorga.
“Lumayanlah mbak”, jawab juraganku mendahului. Padahal aku tadi yang ditanya. Dan juga bau parfumnya adduhh …. mati aku ….

Dan berada di dekat dia rasanya benar-benar suatu keberuntungan dan kesempatan yang tidak ada taranya. Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa telah diberi kesempatan itu.

Dan rupanya kesempatan yang lebih baik untuk bisa berdekatan dengannya, memandang wajahnya yang ayu kemayu itu dari dekat, bahkan bercakap-cakap memang datang secara tak disangka-sangka.

Waktu itu sekitar pukul 10 pagi hari Minggu. Aku masih di pantai disuruh juraganku membenahi lambung perahu yang retak kecil.

“Kang”, aku terkejut mendengar suara seorang laki-laki yang tidak aku kenali di belakangku. Dan makin terkejut lagi ketika menoleh melihat tiga orang: Lala, pacarnya, dan adiknya yang kudengar namanya Lili.

“Ya, ada apa mas?” jawabku gugup.
“Kang, kami bermaksud ke Pulau Umang, apakah akang bisa membantu mencarikan sampan yang bisa kami sewa?”
Pulau Umang tidak jauh dari pantai, bahkan kelihatan jelas. Hanya mendayung sekitar setengah jam kalau ombak tidak besar. Terkadang wisatawan lokal minta diantar ke sana. Pulau kecil itu tidak berpenghuni, pasirnya putih, dikitari bunga-bunga karang dan ikan kecil aneka warna. Pulau itu tempat penyu bertelur dan kalau nasib mujur juga bisa di dapat kepiting besar di sana.
“Untuk kapan mas”, tanyaku. Dari sapuan pandang kulihat masing-masing mereka membawa ransel perbekalan.
“Untuk sekarang juga kang, pulang sorenya. Jadi hanya beberapa jam”.
Aku minta waktu beberapa saat untuk menyelesaikan pekerjaanku. Dan sesudahnya tidak sulit bagiku untuk menemukan sampan yang dalam kondisi bagus yang bisa memuat tiga atau empat orang.
“Apakah akang bisa ikut menyertai kami?”, tanya Hendra yang sebelumnya sudah memperkenalkan dirinya padaku.
Aku gembira sekali, sebab itu segera kusanggupi tanpa menanya berapa bayaran yang bakal aku terima. Karena dalam hati, tanpa dibayarpun aku rela bahkan tak diberi makan atau minumpun tak apa-apa.

Sampan kami melaju cepat di laut yang tenang. Aku duduk di belakang menempatkan kayuh sebagai kemudi menuntun arah. Merekalah yang mengayuh dengan riang gembira. Masing-masing kami memegang dayung. Aku senang sekali mendengar tawa renyah Lala menanggapi gurauan pacarnya. Dan tak cukup setengah jam kamipun sampai. Aku dan Hendra menarik sampan agak jauh ke darat.

Satu hal yang kuperhatikan pada mereka, Lala sayang sekali pada adiknya Lili yang memanggil kakaknya Teteh. Sementara Lili yang lincah dengan kecantikan yang setara dengan kakaknya saya lihat kentara sekali kesengsem sama abang-iparnya Hendra. Saban bicara kepada Hendralah itu ditujukan. Dia memakai celana pendek putih dan baju merah jambu yang hanya menutup bagian dada yang kata orang namanya tank top, sementara Lala mengenakan rok kulit hitam separuh paha yang ada ritsleting di samping bawah dan kaus yukensi warna lila. Walau Lili tampak lebih segar karena lebih muda, dimataku Lala jauh lebih cantik.

Kami berjalan menyusur pantai berkeliling pulau. Mereka menanggalkan sepatu kalau melewati genangan air laut. Aku sendiri lebih bebas karena tidak memakai sepatu. Sepanjang perjalanan Lala memungut kulit lokan atau batu yang dia anggap cantik dan memasukkannya ke ransel. Sekali-sekali dia juga menggunakan kamera kecilnya memotret, sementara Lili asyik mengganggu dan menggoda bakal iparnya Hendra. Terkadang mereka berkejar-kejaran tertawa-tawa. Dua tiga kali saya lihat Hendra berlagak seperti memiting Lili dalam posisi seperti berpelukan tertawa dan cekikikan dan saya lihat Lala melihatnya sebagai kewajaran bahkan ikut tertawa.

Kami berhasil mengelilingi pulau itu setelah berjalan sekitar satu jam ketika Hendra dan Lili berkejar-kejaran lagi. Kami tidak memperhatikan mereka. Kulihat Lala lama menikmati keindahan panorama pantai di kejauhan sana dan sekali-sekali memotret. Dan aku diam-diam menikmati kecantikan dan keelokan tubuhnya dari belakang.

Kami baru sadar Hendra dan Lili sudah tidak ada ketika suara tawa mereka terdengar jauh dan lenyap. Lala melihat ke arah suara tawa mereka terdengar terakhir kali. “Kemana mereka, Kang?”, tanyanya. Kami kembali berjalan ke tikungan pantai, kalau-kalau bisa melihat mereka di sana. Tetapi setelah berjalan 200 meter, ternyata sampai tikungan berikutnya kami tidak melihat mereka sampai ke ujung sanapun. “Mungkin mereka masuk ke dalam pulau”, kataku. Kulihat Lala mulai gelisah. Dia memanggil nama adiknya dan Hendra. Tidak ada sahutan. Dia memanggil lagi lebih keras, berteriak. Senyap. Hanya suara ombak. Lalu aku memanggil dengan teriakan keras: “Neng Lily! Mas Hendra!”. Tetap tak ada sahutan. Lala merogoh ransel mengeluarkan HP-nya. Mengutak-atik sebentar dia mendekatkan HP itu ke telinganya. Kulihat dia kecewa. Dia utak-atik lagi dan mendekatkan lagi ke telinganya dan kembali dia kulihat kecewa. Aku kembali memanggil dengan teriakan sekeras-kerasnya: “Neng Lili!! Mas Hendra!!!” Kembali sepi, hanya suara ombak.
“Mungkin mereka ke balik pulau di sana”, katanya bergegas mendahului aku. Dan kami kesana sambil berteriak juga memanggil-manggil. Tapi tak ada. Lala kembali mengutak-atik HP-nya. Ternyata juga gagal.
“Apakah Akang pernah mendengar cerita yang mungkin tidak pernah saya dengar mengenai bahaya di pulau ini, kang? Misalnya lobang yang membuat orang terperosok?” Kulihat dia mengatakan itu dengan wajah cemas.
“Tidak Teh, saya tidak pernah mendengar cerita apapun mengenai bahaya”, jawabku. Aku memanggil dia Teteh untuk menghormati walau aku tahu usianya di bawah aku.

Kami kembali lagi ke tikungan dimana kami kira-kira keduanya tadi menghilang.
“Saya akan memanjat batang kelapa ini untuk melihat berkeliling Teh”, kataku menunjuk sebuah pohon kelapa yang kelihatannya mudah dipanjat. Dibesarkan di pantai, memanjat pohon kelapa tidaklah sulit bagiku.
“Hati-hati Kang”, katanya. Dan akupun memanjat.

Aku baru memanjat sekitar lima meter ketika aku melihat mereka. Dan pelan-pelan supaya jangan sampai terlihat kupanjat dua meter lagi untuk melihat dengan lebih jelas.

Mereka berbaring di sana dalam posisi yang membuat aku sesak nafas dan “berdiri”. Hendra sedang berada di atas tubuh Lili memompa. Keduanya bertelanjang bulat di atas pasir di keteduhan gundukan pohon bakau. Tank top, BH, short, celana dalam, baju, blujins dan kolor Hendra menumpuk di samping mereka. Batu besar dan semak-semak menyebabkan kami tadi tidak melihat mereka dari arah pantai. Mereka berada hanya sekitar 10 meter dari pohon kelapa yang kupanjat. Aku naik lagi satu meter, tidak khawatir Lili akan melihatku. Walau dalam posisi telentang wajahnya menghadap ke arah lain dengan badan pada posisi melintang di depanku. Dari atas kulihat dia baru menangis, tetapi tak lepas dari perhatianku kedua pahanya menjepit mesra panggul bakal abang iparnya itu sementara kedua tangannya merangkul punggung dan leher Hendra dengan erat sementara Hendra sambil terus mengayun dan memutar panggulnya menghunjamkan keluar masuk batangnya ke lobang memek gadis cantik bertubuh aduhai itu, sekali-sekali mengecup dan menikmati bibir Lili dan menyosor buah dadanya dan mengunyah-ngunyah pentilnya. Tampaknya gadis remaja yang kudengar dari para pemuda kampung teman-temanku baru kelas dua SMA itu baru saja diperawani calon abang iparnya. Dan sisa tangisan dimatanya adalah tangis perih saat kesuciannya diambil si calon abang-ipar beberapa saat yang lalu. Dan sekarang mereka sedang melanjutkan mereguk nikmat mengharungi surga dunia.

“Apakah akang melihat mereka, kang?” kudengar Lala bertanya di bawah. Aku tidak menjawab, khawatir keberadaanku diketahui Lili dan Hendra. Perlahan-lahan aku turun.
“Apakah akang melihat mereka?”, tanya Lala lagi sesampai aku di tanah.
“Tidak, saya tidak melihat mereka Teh,” jawabku tanpa melihat ke matanya.
“Barangkali mereka sudah kembali ke tempat sampan di tambat.” Aku melangkah meninggalkan tempat itu dan dia mengikuti. Kutoleh ke belakang kulihat dia menangis. Aku tahu dia tidaklah terlalu bodoh untuk tidak mengerti apa yang sudah terjadi. Calon suaminya itu tidak menyia-nyiakan peluang mendapatkan kegadisan adik ipar cantik yang tidak menolak ditarik ke balik semak-semak di pasir empuk di sela rimbunan pohon bakau yang sejuk nyaman. Kelihatannya Hendra bukanlah macan yang begitu dungu membuang kesempatan melahap daging segar. Hukuman urusan belakang.

Aku baru saja melintasi genangan air laut yang menjorok ke pantai ketika kudengar Lala menjerit kesakitan. Aku berbalik dan kulihat Lala memegang sebelah kakinya di air. Sepatunya tergantung di bahu. Dia menangis seperti anak kecil. Aku mengejar tetapi terlambat menangkapnya ketika dia roboh ke air.
“Kenapa Lala?” bisikku ketika dia dengan pakaian basah-kuyup sudah dalam pondonganku.
“Saya menginjak sesuatu Kang”, katanya sesunggukan menangis tersedu-sedu.
Kuturunkan dia dan kududukkan di pasir basah. Kulihat darah mengalir dari telapak kakinya di bagian tengah yang tipis. Apa gerangan yang sudah diinjak Lala? Batu tajam biasa, karang atau bulu babi? Kalau bulu-babi bisa menyebabkan bengkak besar dan demam seminggu. Tanpa pikir panjang kuraih kakinya yang luka itu dan kuhirup darahnya dengan mulutku lalu meludahkannya. “Saya khawatir bulu babi teh, saya menyedot racunnya supaya jangan sampai bengkak”, kataku menoleh menjelaskan sebelum menyedot lagi darah dari luka itu. Dan ketika menoleh ke wajahnya itulah aku melihat pemandangan yang luar biasa indahnya. Diantara celah kangkangan pahanya yang putih padat kulihat meqi-nya yang tebal membayang jelas di balik celana dalam putih tipis yang basah. Jelas sekali jembutnya bahkan beberapa lembar jembut itu terlihat mengintip dari pinggir celana dalamnya. Dan blusnya yang juga basah memperlihatkan dengan jelas bentuk sempurna kedua payudaranya. Dari sejak berangkat dari pantai aku sudah tahu Lala tidak mengenakan BH di balik blus lila yukensinya. Aku tak berani memandang lama-lama, takut dianggap kurangajar. Kembali kuarahkan perhatian ke telapak kakinya dan menyedot lagi.

“Di ranselku ada alkohol dan obat luka, Kang”, katanya. Kuberdirikan dia, kutanya apakah dia bisa berjalan. Dia berjalan pincang dan hendak roboh, karena itu kembali dia kurangkul dan kupondong ke arah sampan tertambat dimana dia meninggalkan ranselnya. Duhh .. nikmat sekali membopongnya. Badannya tidak berat sama sekali. Di kedua lengan dan dadaku yang keras karena kerja berat di laut dan di pantai tubuhnya terasa empuk nikmat. Wajahnya yang begitu dekat seperti meneliti setiap bagian mukaku yang sama sekali tidak tampan. Tentu dia sudah melihat bekas luka di pipi dan keningku yang membuat rupaku semakin buruk, membuat jijik perempuan.

Kududukkan dia di atas pasir padat di bawah kerindangan pohon-pohon bakau tidak jauh dari sampan tertambat. Lalu kuambil ranselnya di sampan yang sewaktu melewati tadi dia tunjuk diantara ransel Hendra dan ransel Lili yang juga tergeletak di sana. Kami membuka ransel itu. Ada handuk kecil, tiga botol aqua, apel, pisang, roti selai, renjengan rantang kecil yang kukira berisi nasi dan lauknya, dan kotak kecil yang diambil dan dibuka Lala. Didalamnya ternyata ada beberapa obat. Dia memoleskan carik resapan alkohol ke lukanya, lalu membubuhi luka itu dengan obat luka. .
“Masih sakit Teh?” tanyaku.
“Tidak lagi Kang”, katanya mengambil handuk dari ranselnya.
“Takutnya saya tadi bulu-babi. Kalau bulu-babi kaki Teteh bisa bengkak seminggu.”
“Rasanya tidak Kang, hanya karang yang agak tajam”, katanya sambil menyeka kan handuk kecil ke wajah dan rambutnya lalu menekankan ke dadanya agar blusnya yang basah cepat kering.
“Syukurlah”, jawabku.

Aku heran mengapa dia tidak lagi menanyakan dan terkesan cemas atas lenyapnya adik dan pacarnya. Apakah dia tadi memperhatikan dari bawah reaksiku di atas pohon dan juga sikapku sewaktu menjawab pertanyaannya? Kelihatannya dia sudah maklum apa yang terjadi. Meski demikian pertanyaan itu datang juga sewaktu kami lagi makan.
“Akang melihat mereka kan, Kang?” Aku diam tak menjawab. Dan dia tidak bertanya lagi.

Kami baru selesai makan ketika mendengar Lili memanggil. Juga terdengar suara Hendra memanggil nama Lala dan juga aku. “Lala!!! Akang !!!”. Sudah berapa lama sejak mereka menghilang? Satu jam setengah? Sempat berapa trip, Hendra? Lalu alasan apa yang akan mereka berikan? Tersesat di dalam pulau dan bingung mencari jalan keluar? Kulihat wajah Lala keruh. Dia meletakkan telunjuknya ke bibir, memberi isyarat supaya aku diam saja. Keberadaan kami juga tertutup batu besar dan semak-semak sehingga tidak terlihat dari pantai. Suara mereka yang masih memanggil-manggil menjauh, lalu sepi lagi. Masih belum puas Hendra? Mumpung ada kesempatan mau satu trip lagi? Kubayangkan mereka sudah bergumul lagi di balik semak-semak di sana. Barangkali di rumput empuk di bawah pohon kelapa yang tidak berbuah.

“Kang kakiku capek pegal sekali. Akang bisa tolong mengurut?” Tentu saja kesempatan itu aku sambut dengan senang hati. Kumulai dengan kakinya yang luka yang sudah dibalut perban. Dari pergelangan kaki naik ke betis dan lututnya. Lala menekan dengan tangan pinggir roknya ke antara dua kaki sehingga aku tidak bisa kembali melihat celana dalamnya. Kemudian kupindahkan urutan ke kaki yang sebelah lagi. Mengurut kaki dan betisnya yang mulus sungguh merupakan kenikmatan bagiku. “Bagaimana dengan bahu dan leher, Teteh?”, tanyaku memberanikan diri.
“Boleh juga Kang. Memang disana terasa pegal juga”. Dan akupun pindah ke punggungnya. Kupijat kedua bahunya, lalu bergeser ke pangkal lengan dan tulang belikat di punggung lalu pindah ke kedua tulang lengannya”.
“Enak Kang”, katanya. Dia bahkan meletakkan kepala di dadaku dan kulihat dia memejamkan mata. Nafasku sesak. Aku bisa mencium rambutnya, malah dia sebenarnya sudah dalam pelukanku. Nafsu berahiku bangkit bergejolak. Pemandangan dari atas pohon kelapa kembali terbayang.

Dan aku sungguh tidak tahu bagaimana mulanya setan bisa menguasai aku sehingga aku kehilangan kendali dan berubah menjadi binatang. Kutarik handuk yang menutup dadanya dan kedua tanganku mencengkam dan meremas kedua buah dadanya yang sekal sementara mulutku menerkam mulutnya dan melumat-lumat bibirnya. ………. Dan aku sungguh heran. Dia diam tidak menolak. Dia membiarkan aku, terus memejamkan mata. Dia juga membiarkan ketika aku menarik blus kaus-nya ke atas melewati kepalanya dengan meninggikan tangannya, lalu menyerbu kedua payudaranya yang montok indah dengan mulutku. Dengan gerakan cepat penuh nafsu karena dia seperti mengizinkan, kubaringkan tubuhnya yang setelah telanjang lalu jongkok diantara kedua kakinya. Kulihat dia hanya terpejam ketika aku mulai mengusap dan menciumi kedua kaki, betis, lipatan lutut dan naik ke pangkal pahanya. Kusosor bagian dalam pangkal pahanya dengan rakus, lalu kutarik celana dalamnya ke bawah dan kutanggalkan melewati kedua kakinya yang kemudian kutempatkan di bahu dan punggungku yang tiarap di celah selangkangannya. Adduhhh biuuung … tebalnya meki itu. Jembutnya panjang-panjang tetapi teratur rapi. Tak menunggu lama-lama lagi segera kuserbu dan kusudu bukit kemaluan itu dengan hidung dan mulutku. Kuciumi sepuas-puasnya jembut dan apem tembem itu, lalu kujilat-jilat belahannya yang merah jambu, kukulum dan kuhisap kedua bibir puki-nya, lalu kelentitnya. Kuminum air perasannya. Kudengar desisnya dan juga isak-tangisnya. Bergegas kutanggalkan kaus dan celana pendek kumalku. Senjataku sudah tegak mengacung seperti sangkur terhunus yang siap dihunjamkan. Diantara kangkangan kakinya aku merayap ke atas. Kutempatkan paha kiriku di bawah paha kanannya. Pinggiran rok kulitnya yang tidak sempat aku tanggalkan kunaikkan ke atas setelah membuka ritsleting di samping paha kirinya itu. Lalu dengan tangan kiri kutuntun batangku ke celah liang nikmatnya yang sudah basah oleh ludahku dan lendir kewanitaannya. Di samping paha kananku kurasakan dia menaikkan paha kiri dengan menekuk lutut kirinya ke atas, dan kudengar dia berbisik dalam tangis sebelum kejantananku menyentuh celah nikmatnya.
“Kang, kamu akan meringkuk lama di penjara karena ini”, katanya sesunggukan tetapi aku yakin juga menahan nikmat. Aku sudah tak peduli. Aku sudah kesurupan. Aku tak peduli apakah dia rela kusetubuhi atau tidak. Aku tak peduli apakah dia membiarkan aku melahap tubuhnya karena memang ingin menikmati kelelakianku atau karena sakithati pada pacar yang sudah mengkhianatinya dan mau balas dendam.

Kenikmatan tak ada taranya dirasakan oleh kepala kontolku yang memiliki syaraf-syaraf peka itu sewaktu dia mencecah dan langsung menyeruak diantara bibir memek perempuan cantik seksi itu. Duhhh nikmatnya. Takut rejeki kesempatan berada di mulut mangkok rasa sorgawi itu akan terlepas, kudorong terus sampai kelelakianku masuk separuh. Adduhh Lala, lezatnya meqimu sayang, kataku dalam hati. Kulihat mukanya mengernyit, kedua tangannya mencakar pasir. Kudorong lagi panggulku sampai penisku tenggelam seluruhnya. Saat itulah aku merasa Lala, gadis cantik yang digilai banyak laki-laki itu sekarang sudah menjadi milikku. Dia sudah kukuasai. Liang nikmatnya kini menjadi sarang, milik penuh batang kejantananku. Lala sekarang bukan hanya pacarku, tetapi juga isteriku. Walaupun terjadi hujan-petir, kepalaku ditembak atau aku dipenggal orang saat itu, semua tidak akan mengingkari kenyataan bahwa Lala sudah berhasil dan sedang kusetubuhi sebagai milikku. Yang jelas pada saat ini, detik ini, Lala adalah perempuan milikku. Saat ini, detik ini, akulah suaminya. Meqi dan seluruh tubuh dan kecantikannya akulah yang memiliki. Akulah yang menikmati.

Dengan segala kegembiraan berhasil memiliki ini, kurapatkan badanku ke atas tubuhnya. Kuselusupkan kedua tanganku ke bawah kedua lengannya, dan sambil bertelekan akupun mulai memompa. Mula-mula pelan-pelan tetapi kemudian semakin cepat. Di dekat telinganya kubisikkan apa yang kurasakan: “Duhh nikmatnya Lala …. Duhh nikmatnya Lala ….” Dari jarak dekat kulihat Lala mengernyitkan kening dan mukanya. Mungkin dia jijik? Atau mungkin dia merasa kesakitan? Yang jelas aku merasakan kelezatan yang tak ada taranya. Batang kelelakianku rasanya pas sekali berada dalam liang kewanitaan Lala. Barangkali seperti keris dengan sarangnya atau pistol dengan sarungnya. Ujung butuhku tepat mencecah dasar lobangnya. Aku memompa terus semakin bersemangat walau aku tahu Lala tidak bereaksi. Atau yang lebih tepat lagi, dia berusaha menyembunyikan bahwa diapun sebenarnya sangat menikmati persetubuhan dengan aku.
Tentu saja dia berusaha menyembunyikan karena aku hanya pemuda tukang pukat buruk rupa, hitam, tak berpendidikan, dengan kedudukan yang jauh di bawah dia dalam masyarakat.

Akui terus menggoyang menikmati meqi-nya saat mulut dan hidungku mulai menyosor telinga dan leher sampingnya. Dan dia mengeluarkan suara rintihan sewaktu mulut dan hidungku mencium diantara belahan dadanya, lalu kubenamkan wajahku di bukit dadanya yang bagus itu berganti-ganti yang kiri dan yang kanan. Dan sambil terus juga memompa mereguk madu di ceruk telaga keperempuanannya, kukulum, kuhisap dan kugigit sayang pentil payudaranya yang montok. Dia bersuara semakin lirih seperti kesakitan. Dan aku sekarang mencium lehernya dan terus juga memompa.

Lalu kulihat Lala sudah tidak mampu lagi berpura-pura tidak menikmati. Kedua belah tangannya yang semula mandah dibirkan terhantar di samping tubuhnya sekarang merangkul leher dan tubuhku.
“Kang”, bisiknya dan mulut kami bertemu. Bibir-bibir kami berlumatan saling mengulum. Lalu sesudah itu lidah kami juga saling membelit dan menghisap. Kedua pahanya sekarang juga gelisah digosok-gosokkan dan dijepitkan ke paha dan panggulku. Dan panggulnya juga bergerak-gerak gelisah menanggapi kocokan batangku, tak mampu lagi pura-pura diam seperti tadi.
“Kang enak sekali!”, bisiknya menahan rasa dengan nafas tersengal dekat telingaku sewaktu mulut kami terlepas sebentar dari berpagutan. Dan ini semua semakin mengobarkan birahi kelelakianku.
Kupompa dia lebih dahsyat dan lebih bersemangat. Kurasakan lendir pelumas di memeknya juga semakin banyak yang mengeluarkan bunyi kecipak-kecipak seiring dengan pompaan batangku.

Aku sebenarnya belum pernah bersetubuh. Aku hanya mendengar seloroh teman-temanku sesama nelayan yang sudah punya anak banyak dalam memberi nasehat kepada teman-temanku yang baru kawin. “Jangan hanya mau enak sendiri”, kata mereka. “Naikkan dulu berahi isterimu sebab perempuan itu lebih lambat panasnya dibanding kita laki-laki. Kalau kau mencrot dulu sedang isterimu belum apa-apa dia mungkin diam saja tetapi dalam hati dia memaki kamu. Dan kalau begitu terus-menerus bukan tidak mungkin dia akan mencari laki-laki lain untuk menuntaskan hasratnya. Misalnya aku.” Dan biasanya warung tempat kuliah itu berlangsung akan ribut oleh sorakan dan tawa mendengar seloroh itu. Lalu teman yang lebih muda menambahkan : “Kau jilat itilnya supaya dia lebih cepat naik, jangan cuman pemanasan diatas saja”. Dan sorak-tawa-pun semakin keras.

Semua nasehat itulah yang kupraktekkan pada Lala. Dan kelihatannya aku belajar dengan baik karena terbukti Lala menikmati permainanku. Dalam goyangan panggulku menyodok liangnya , perempuan putih cantik itu tak henti-hentinya merintih. Dan rintihannya menambah lezatnya nikmat yang kutimba dari tubuhnya. Dan akhirnya aku tak tahan lagi. Aku mempercepat mengocok memeknya, airmaniku mendesak hendak keluar dengan hebat. Lala tersentak seperti ingat sesuatu. Tangannya tiba-tiba menolak aku. “Jangan masukkan airnya Kang!! Jangan masukkan airnya!” Dan dia berusaha membalikkan badan hendak melepaskan diri. Tetapi posisi tubuhku sangat kokoh di atas perut dan dadanya. Perlawanannya menyebabkan hasratku agak kendor dan spermaku yang semula sudah hendak muncrat mundur kembali. Lebih kuperkuat lagi posisiku dengan menumpukan lutut kiriku yang berada di bawah paha kanannya ke pasir lembut. Dan kedua tangannya kutempatkan di atas kepalanya dan kudekap dengan tanganku . Setelah dia tidak bisa bergerak lagi akupun melanjutkan pompaanku. Lala menangis tersedu-sedu. “Kulaporkan kau ke polisi. Kamu memperkosa aku”, katanya dalam tangis. Tapi aku tak peduli. Ini adalah kesempatan sekali dalam seumur hidup. Walau takkan pernah berhasil menjadikan dia isteri, namun saat detik-detik ini dia adalah isteriku. Akan kutanamkan benihku di rahimnya. Diam mungkin saja akan mencabut dan membuangnya nanti, tetapi yang jelas dia harus kutanami dengan benihku.

Aku merasakan perbedaan rasa menyetubuhinya saat dia mau seperti tadi dan saat sekarang ketika dia marah dan merasa diperkosa. Bagi seorang pemerkosa mungkin malah lebih nikmat tetapi tidak demikian halnya dengan aku. Barangkali karena aku sudah lama menaruh rasa sayang dan cinta kepadanya. Dia terus menangis terisak-isak dalam penguasaanku dan ini memperlama persenggamaan walau aku terus juga memompa dengan mantap.

Entah sudah berapa lama aku menyetubuhinya ketika aku merasakan spermaku kembali mendesak hendak muncrat. Sekali lagi Lala menghiba: ”Kang, jangan lepaskan di dalam.” Aku tak menghiraukannya, kupompa dia lebih dahsyat. Kupurukkan batangku lebih dalam dan sesudah beberapa tusukan menghunjam spermaku muncrat dengan hebat di dasar peranakannya. Barangkali ada enam atau tujuh kali semburan.

Lala menangis semakin keras sesudah semuanya selesai. Aku bangkit lunglai dari tubuhnya untuk meraih singlet dan celana pendekku dari hamparan pasir. Lala juga segera duduk mencari celana dalamnya yang kemudian dia jepitkan di selangkangan. Saat itulah kudengar kembali Hendra dan Lili memanggil-manggil. Aku sudah kendor sebab itu aku keluar. “Kami disini Mas Hendra”, kataku. Kulihat matanya terbelalak melihat aku, begitupun Lili.
“Kemana saja kamu sudah kami panggil-panggil dan kami cari mengharungi pulau ini selama dua jam?”, teriaknya. “Lala kemana?”, teriaknya lagi. “Ada disini mas”, kataku menunjuk ke balik batu dan semak. Dia segera bergegas ke sana diikuti Lili. “Lala kenapa?”, kudengar dia bertanya dengan nada khawatir. Tapi tak kudengar jawaban. Lalu kudengar Lili bertanya, juga tidak kudengar Lala menjawab. Lalu kulihat Hendra mendekatiku: “Apa yang terjadi?”, katanya kasar.
“Teteh menginjak bulu-babi Mas”. Dia tidak bisa jalan, karena itu saya angkat dia kemari, kataku menjelaskan sebagian yang terjadi.
“Mengapa kamu tidak memanggil aku?”, hardiknya. Kulihat mukanya merah padam karena marah.
“Kami sudah mencari-cari dan memanggil-manggil Mas dan Neng Lili kemana-mana”, kataku. “Kami baru berhenti mencari sesudah Teh Lala keinjak bulu-babi di genangan airlaut”, sambungku.
“Dan ketika kami memanggil-manggil disini, kalian dimana??”
“Disini Mas,” jawabku. Sebenarnya darahku sudah mulai mendidih tetapi aku ingat orang ini adalah bakal suaminya Lala. Aku tak mau Lala makin memusuhiku karena cekcok dengan calon suaminya.
“Disini!! Lalu kalau disini mengapa kamu tidak menjawab ketika saya dan Lili memanggil-manggil setinggi langit??!!”
Aku mengkertakkan gigi. Orang ini mengira aku ini si to’oh betul yang tidak mengerti sandiwara-nya.
“Teteh Lala melarang saya menyahut Mas,” kataku, dan aku bernafas lega karena sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan mataku menantang matanya.
“Kamu mau melawan saya Tukang Sampan??!!”, teriaknya berang.
“Saya tidak bermaksud melawan Mas Hendra, saya hanya mengatakan yang sebenarnya. Teteh Lala marah karena Mas menghilang bersama Neng Lili tanpa memberitahu dia lebih dulu”, kataku berusaha mendinginkan suasana. Aku sadar percekcokan tidak akan menguntungkan aku sedikitpun pada saat itu.
“Kami tersesat di tengah pulau dan berputar-putar bingung mencari jalan keluar”, katanya. “Dan ketika tiba kembali di pantai rupanya di balik sana sehingga mesti jalan panjang lagi ke sini”, katanya lagi. Aku tahu penjelasan itu bukan untukku, seorang tukang sampan yang tak ada harganya untuk diberi penjelasan, melainkan untuk Lala.

Kulihat Lili menopang kakaknya yang berjalan berjingkat-jingkat dengan ransel Lala di punggungnya. Hendra mendekat hendak menggantikan menopang Lala yang kulihat masih berlinang airmata tetapi tangannya yang terulur ditepiskan oleh Lala.

Aku sudah hendak menarik sampan ke laut ketika Hendra berkata: “Aku dan Lili masih belum makan. Kami mau makan dulu.”
“Saya mau pulang sekarang!!”, Lala tiba-tiba berteriak. “Saya tidak mau lebih lama lagi di pulau jahanam ini”, aku bergidik mendengar kalimatnya yang terakhir itu, apakah itu ditujukan padaku?
Dan Hendra dan Lili tidak berbicara lagi. Dan kukira mereka sudah maklum bahwa Lala tahu apa yang sudah mereka lakukan dan karena itu tak perlu berpura-pura lagi.

Mendayung sampan kembali ke pantai makan waktu lebih lama karena boleh dikatakan aku hanya mendayung sendirian. Tapi akhirnya hampir sejam kemudian kami sampai.
Seperti perkiraanku semula mereka tidak memberi aku sepeserpun. Bahkan sewaktu mengangkat ranselnya Hendra menempelak. “ Saya sungguh kecewa sekali dapat tukang sampan seperti kamu. Barangkali kalau sampanmu tenggelam takkan ada usahamu hendak menolong penumpang, hanya menyelamatkan dirimu dan mencari keuntunganmu sendiri saja. Lebih satu jam kami tersesat, tak ada usahamu untuk menolong mencari. Saya akan melaporkan kamu ke kepala kampung.”
Aku hanya diam. Syukurlah tadi uang sewa sampan sudah di bayar di muka.

0 komentar:

Posting Komentar