blog visitors

Digauli TTM Ibu

ternoda  perusahan pengolahan kayu om Herman tutup di Seruyan. Om Herman beralih haluan, dari pengusaha kayu ke perkebunan kelapa sawit. Meski perkebunan kelapa sawitnya masuk wilayah Kabupaten Seruyan, namun jaraknya dari Kota Sampit tak begitu jauh, hanya dua jam perjalanan.
Karena jaraknya dekat, om Herman semakin rutin menungunjungi kami berdua ibu. Sebulan sekali ia tidur dirumah kami, tapi belakangan semakin sering, dalam sebulan bisa tiga kali. Bahkan terkadang menginap hingga berminggu-minggu dirumah kami.

Semakin seringnya om Herman tinggal ditempat kami, semua kebutuhan keluarga dipenuhinya. Mulai dari kulkas tiga pintu, mesin cuci, hingga pemasangan parabola digital. Dapur rumah yang hanya 2 x 3 diperlebar lagi menjadi 4 x 5 meter. Kamar mandi hanya satu pintu ditambah menjadi dua pintu.
Begitu besarnya perhatian om Herman kedapa aku dan ibu. Sampai-sampai aku mengangan-angankan om Herman menjadi pendamping hidup ibu, sekaligus menjadi ayah bagiku. Mendapat restu dari aku, hubungan ibu dan om Herman semakin terbuka, tak seperti dulu, diam-diam taunya pagi hari hanya terlihat tanda merah melingkar didada ibu dan om Herman. Meski belum menyandang status suami istri alis teman tapi mesra (TTM), keduanya sudah berani tidur bersama didalam kamar, tak peduli aku ada didepan matanya.
Satu ketika om Herman datang dari Jakarta, mampir dan menginap dirumah kami. Saat om Herman datang sore itu, aku masih jalan bersama teman-teman. Pada malam harinya sekitar pukul 20.30 Wib, aku datang, saat aku menyelimap masuk dan diam-diam melintasi kamar ibu, aku mendengar suara tangisan merintih kesakitan.
Mulanya aku pikir ibu sedang sakit. Karena kamar tanpa daun pintu dan hanya ditutupi gorden, aku langsung membukaknya. Ternyata ibu dan om Herman sedang kuda-kudaan. Posisi ibu nungging, sedangkan om Herman posisi menunggangi ibu dari belakang.
Tapi anehnya, aku malah ingin terus menyaksikan hingga akhir permainan. Sedangkan ibu dan om Herman tak lagi memperdulikan aku, meski aku berdiri tegak didepan pintu menyaksikan hebohnya permainan orang dewasa dimalam itu.
Malah aku berkata kepada ibu dan om Herman. ”Asik niyeee......sampai-sampai ngga tau orang disamping,” ucapku menggoda ibu dan om Herman yang lagi asik kuda-kudaan. Lalu aku pergi masuk kemamarku.
Ibu dan om Herman tak berucap apapun, mereka berdua terus berjuang, hingga setengah jam kemudian aku mendengar suara teriak ibu. ”ohhhhhhhhhh...sudah lama aku tak merasakan nikmatnya, seperti malam ini sayang,” teriak ibu, dari balik dinding kamar tidurku.
Setelah menyaksikan permaian seru ibu dan om Herman, aku teringat dengan permainan aku dan papah Heny. Ingin rasanya aku kembali merajut kembali hubungan intim dengan papah Heny, tapi aku tak kuasa melihat pedihnya hati Heny melihat setelah tau hubungan intimku dengan papahnya.
Rasa itu aku pendamkan. Satu ketika aku digoda om Herman, meski itu aku tau calon ayahku, tetapi aku tak tahan juga menahan hasrat didada ini, ingin rasanya aku memeluk tubuh om Herman, membelai rambut yang lebat membaluti dadanya, dan merasakan nikmatnya bercinta dengan om Herman yang bertubuh tegab.
Lama aku mengidam-idamkan tubuh om Herman, dan ingin merasakan tusukan penis om Herman yang terlihat lebih besar dan keras dari papah Heny. Lantaran aku melihat saat ibu dan om Herman main kuda-kudaan dimalam itu.
Hubungan ibu dan om Herman tak bisa dibendung lagi, meski ibu tau om Herman telah punya istri. Karena kebutuhan rumah sudah tercukupi, apalagi om Herman berjaji menikahi ibu. Ibu kemudian memutuskan berhenti bekerja menjadi pelayan toko. Hubungan ibu dengan pemilik toko juga berakhir begitu saja.
Setelah ibu memutuskan berhenti bekerja di toko, hubungan ibu dan om Herman semakin intim. Seminggu di Kota Sampit, seminggu juga tidur dirumah. Kalau tak siang hari kuda-kudaan, dilakukan malam hari. Aku sudah tak dipedulikan lagi, sekalipun aku ada didepan TV, bila datang hasrat bercinta, ibu dan om Herman rela melakukannya didepan TV, sekalipun aku ada didepan TV.
Om Herman berkata. Waktu itu ia sedang ”main kuda-kudaan” bersama ibu diruang TV, dan saat itu aku juga duduk didepan TV. ”Rahma kalau mau gabung, mari sini”. ”Kalau kau berani menyentuh anakku, akan kubunuh kau. Demikian juga Rahma, kalau kau berani menyentuh om Herman juga ku bunuh kau,” ucap ibu mengancam.
Lalu aku pergi masuk kamar, memendam rasa. Hasrat bercintaku setelah melihat ibu dan om Herman ”main kuda-kudaan” disopa depan TV semakin menggebu-gebu membayangkan nikmanya bercinta dengan om Herman. Tak aku sadari, jari manisku masuk (disensor..?). Tak lama kemudian, sekitar satu jam kemudian aku kelelahan, tubuhku terdampar diatas kasur. Tak aku sadari, hari sudah pagi.
Tiga bulan sudah berlalu, sejak ditawar om Herman. Tibalah kesempatan yang tak sengaja mempertemukan hanya aku dan om Herman dirumah kami. Hari itu hari Minggu, ibu dan teman-temannya pergi ke pantai wisata Ujung Pandaran, sementara aku tinggal dirumah hanya tidur-tiduran.
Antara tudur dan bangun didepan TV aku melihat sosok lelaki masuk rumah, rupanya dia om Herman. ”Rahma ibumu mana?”. ”Ibu sedang pergi bersama teman-temannya ke pantai Ujung Pandaran,” jawabku. Mendengar begitu, om Herman ternyata tak menyia-nyiakan kesempatan.
Awalnya ia menggoda aku, godaannya aku respon, hingga akhirnya berlanjut kehubungan yang tak lazim. Tapi aku menikmatinya, aku tak memperdulikan lagi ancaman ibu. Aku berpikir jika aku harus mati ditangan ibu, memang itu sudah waktunya.
Kesempatan yang langka itu tak aku sia-siakan. Segala gaya sudah dicoba, tapi semuanya biasa, seperti yang pernah dijarkan papah Heny padaku. Hanya satu gaya terakhir yang tak biasa aku lakukan, yang nikmatnya luar biasa, hingga aku mencapai titik klimaknya, hingga menyemburkan lahar berkali-kali.
Mungkin om Herman bisa melakukannya karena tubuhku mungil, berat tak lebih dari 47 kilogram. Sementara tubuh om Herman tinggi besar, beratnya hingga 80 kilogram. Gaya yang terbilang luar biasa itu, benar-benar membuat aku puas hingga lunglay, seluruh tubuhku terasa tak berotot lagi.
”Mau tau ngga gayanya? Aku dijak berdiri saling menghadap. Kedua pahaku dirangkul dari dalam, kemudian diangkat, hingga posisi lututku terlipat menjuntai kebawah. Sementara kedua tangaku mengalungi leher dengan posisi menggantung. Tubuhku turun-naik, memompa sok tunggalnya om Herman,” cerita Rahma.
Jurus pemungkas yang dikeluarkan om Herman mengakhiri permainan, aku dan om Herman disaat itu. Setelah beristirahat sejenak, om Herman bergegas pergi. ”Jangan bilang sama ibu kalau om ada kerumah,” pesan om Herman. Akupun mengiyakannya.
Hari menjelang sore, ibu pulang dari pantai Ujung Pandaran. Saat itu aku baru keluar dari kamar mandi. ”Rahma, om Herman ada kerumahkah”. ”Ngga ada bu. Mingkin juga datang, soalnya waktu aku tidur rumah aku kunci,” jawabku, pura-pura seakan tak ada terjadi, antara aku dam om Herman disaat itu.
Seminggu sudah berlalu, setelah kejadian hubungan tak biasa aku dan om Herman terjadi. Tiba-tiba om Herman datang kerumah bersama temannya, dari logat bahasanya, pria yang dibawa om Herman kerumah kami, bukan asli orang Indonesia. Wajahnya oriental Cina, tapi bisa bahasa Indonesia. Kata om Herman Cina dari Malaysia, pemilik salah satu perkebunan sawit di Seruyan.
Hatiku kepincut sama wajah oriental itu. Namun sayangnya, om Herman bersama teman Cina-nya itu keburu pergi, hingga aku tak sempat berkenalan nama, tapi suara, logat bicara dan wajahnya aku selalu ingat dan tak pernah aku lupakan. Saat itulah pertama dan terakhir aku mengenal lelaki yang mampu meluluhkan hatiku, sekalipun didepan wajah om Herman yang aku idam-idamkan selama ini.
Tiga tahun lebih hubungan ibu dan om Herman tanpa status. Kalau diluar rumah keduanya kompak mengaku teman, tapi dirumah mesra bagaikan Romeo and Juliet. Kisah cintaku dengan om Herman dibalik kemesraan ibu juga berjalan hampir dua tahun. Saat itu usiaku baru menginjak 17 tahun, baru duduk di Klas 3 SMU Swasta di Kota Sampit.
Malang nasib, kisah cintaku dengan om Herman akhirnya ketahuan ibu juga. Hari itu Sabtu menjelang sore, om Herman datang dan menginap dirumah. Aku sudah mengerti maksut om Herman menginap dirumah. Usai maghip, aku pamit jalan, dan baru pulang sudah dini hari, kira-kira sekitar pukul 01.30 Wib. Saat aku masuk, dan melintasi kamar tidur ibu, aku melihat keduanya tertidur pulas dengan kondisi telanjang bulat.
Melihat itu nafsuku tak terbendung lagi. Akupun berpikir bagaimana meraih nikmatnya dimalam itu bersama om Herman. Diam-diam aku menyelinap masuk kamar ibu, lalu aku hampiri om Herman, kugerakan kakinya, ternyata ia bangun dan melihat aku. Kemudian aku beri kode agar om Herman bergegas keluar kamar dan mengikuti aku ke kamar mandi.
Baru setengah jam aku dan om Herman didalam kamar mandi. Saat itu aku dan om Herman sedang ”gendong-gendongan”. Belum mencapai puncak nikmatnya, keburu ibu memergok aku dan om Herman. Bak petir disiang bolong, saat membuka pintu kamar mandi, ibu mengacungkan golok, seakan haus membunuh aku dan om Herman. Tak ada yang bisa aku dan om Herman perbuat kecuali pasrah.
Beruntung ibu tak setega itu, membunuh anak kesayangan satu-satunya. Ibu hanya mengusir aku dan om Herman dari rumah. Kubawa barang-barangku, kemudian melangkah keluar rumah bersama om Herman. Malam itu aku dan om Herman menginap di salah satu hotel dekat pasar Mentaya Kota Sampit.
Tiga hari menginap di hotel, aku memutuskan pindah sekolah, ke salah satu sekolah swasta di Kota Palangka Raya. Hidup sendiri hanya tinggal dibarak. Menyambung hidup, aku mulai menjajakan diri. Disinilah awal kisah hidupku menjadi seorang ladies karaoke yang sukses.
Tapi bukan sukses karena penghasilan di karaoke, melainkan sukses karena berhasil menggaet seorang pria pengusha perkebunan kelapa sawit, kewarganegaraan Malaysia hingga menjadi suami, dan punya anak seorang laki-laki yang kini telah berusia 3 tahun, bernama Rajiv Justin.

0 komentar:

Posting Komentar