blog visitors

Papa sungguh Tega

ternoda dari kehancuranku. Pulang sekolah, kebiasaan mampir dirumah Heny tak bisa berubah. Maklum Heny butuh teman bermain, akupun demikian. Heny dan aku, sama-sama ditinggal orang yang kami cintai. Heny kehilangan ibu karena ditinggal mati, sedangkan aku kehilangan ayah, juga ditinggal kerna mati.
Kisah cinta ibu dan pemilik toko tempat ibu bekerja tetap berlanjut. Aku tak peduli lagi dengan apa yang terjadi. Setiap aku pulang malam dari rumah Heny, aku melihat ibu dan pemilik toko selalu berduaan di rumah.
Hari itu ibu tidak pergi ketoko. Sebagai anak murid sekolah yang disiplin, apapun masalah dikeluarga aku tetap harus sekolah. Sebenarnya aku bukan murid SMP yang berprestasi, Heny juga. Tapi kami berdua selalu masuk sepuluh besar.
Duduk di Klas II SMP tinggal tiga bulan lagi. Aku dan Heny siap menghadap ulangan kenaikan klas. Untuk meningkatkan prestasi, aku terpaksa ngikut les belajar. Tapi biaya les mahal, sekali pertemuan harus bayar Rp 25 ribu per orang, dalam semunggu tiga kali pertemuan.
Untung papah Heny baik padaku. Papah Heny sudah mengangap aku anaknya, lantaran tiap hari selama 2 tahun aku berada dirumah Heny, seakan tak ada lagi pemberlakukan batasan kepadaku di rumah Heny.
Apa yang menjadi milik Heny milik ku juga, terkadang kami berdua berganti memakai pakaian, bahkan terkadang pakaian dalaman Heny aku pakai, bila aku lupa bawa pakain dari rumah. Aku dan Heny bagaikan kakak dan adik.
Papah Heny yang sibuk dengan proyeknya, siang hari sangat jarang dirumah, kalaupun datang disiang hari setelah antar jemput kami kesekolah. Pulang sore hanya mampir untuk mengantarkan makanan, setelah itu pergi dan pulang malam hari.
Satu ketika dimalam itu. Waktu menunjukan pukul 22.30 Wib, aku dan Heny tertidur lelap di depan TV, datanglah papah Heny. ”Rahma, mari om antar Rahma pulang”. ”Heny kamu mau mau ikut,” tanya papahnya. ”Ngga pah..ngantuk. Biar papah aja yang ngatar Rahma,” jawab Heny.
Dengan perasaan masih ngantuk, aku kemudian melangkah keluar rumah dan menuju mobil yang terparkir didepan rumah. Seperti biasa bila diantar sendiri papah Heny, aku selalu diminta duduk di depan. ”Angga om, biar Rahma di kursi belakang aja biar bisa tidur-tiduran,” jawabku, ketika papah Heny menawari aku duduk didepan.
”Udahlah Rahma duduk didepan aja,” pinta papah Heny sambil menarik tanganku. Aku langsung menikuti permintaan papah Heny dan duduk di kursi depan. ”Rahma kalau mau tidur-tidur aja. Sini nyender di paha om”. Permintaan papah Heny sempat membuat aku kaget. Tapi yang namanya ngantuk berat, langsung aku senderkan kepalaku ke paha papahnya Heny.
Antara tidur dan bangun, aku merasakan ada benda keras dibalik celana jeans papah Heny, lama-lama terasa mengeras. Tapi aku tak peduli, akhirnya sampai juga didepan gang masuk rumah. Bisik-bisik papah Heny membangunkan aku, sambil mendaratkan ciuman kecilnya dikeningku. ”Rahma kita sudah sampai. Jangan lupa tas sekolahnya di kursi belakang,” kata papah Heny kepadaku.
Dengan posisi jongkok, dari kursi depan, aku mengambil tas dibagian kursi belakang, papah Heny bilang. ”Awas jatuh kamu nanti,” ucap papahnya mengiangtkan aku, tapi sambil memegang bokongku. ”Rahma bokongmu sintal juga ya,” puji papah Heny setelah memegang bokongku.
Tapi aku diam saja, tangaku terus meraih tas di kursi belakang bagian tengah. ”Upppssss maafkan om ya”. Ternyata tangan papah Heny nakal juga, pura-pura minta maaf seakan tak sengaja, tangannya masuk ke dalam rok sekolahku. ”Ngga apa-apa om, kan ngga sengaja, kalau sengaja aku gampar om,” jawabku mengancam.
Sebanarnya dalam hati kecilku tak mungkin aku menggampar papah Heny yang sudahku anggap sebagai ayah. ”Ngga lah om, cuma bercanda aja. Jangan diambil hati,” ucapku kembali meralat ancamanku itu.
Setelah mengambil tas, aku kemudian keluar mobil dan langsung pulang. ”Selamat bobo Rahma,” ucap papah Heny. ”Terimakasih om,” jawabku. Sampai dirumah, aku kemudian membersihkan seluruh tubuhku, lalu kemudian menggantikan pakaianku dengan baju tidur.
Ternyata aku sudah kehilangan rasa ngantuk. Pikiranku mulai melayang-layang memikirkan semua masalah dikeluarga. Memikirkan ayah yang telah meninggal, tanda merah didada ibu dan om Herman, paman ojek, pemilik toko, hingga pengalaman aku yang mengeluarkan cairan di ”anuku” setelah tanganku dipegang oleh papah Heny.
Pikiran mulai campur aduk, hingga aku memikirkan bagaimana sampai bisa tangan papah Heny tiba-tiba masuk ke selangkangan dibalik rok. Pikiran bener-benar melayang, tak aku sadari, ayam jantan yang biasa dipakai saungan oleh rumah tetangga depan berkokok, berarti pertanda mulai pagi, akhirnya aku tertidur.
Belum satujam aku tertidur, kemudian dibangunkan ibu. Karena aku ada kewajiban sekolah, aku kemudian bergegas bangun, kemudian mandi dan mengenakan pakaian seragam. Belum sampai diujung gang, jemputan sekolah datang.
”Heny...mana om?” tanyaku kepada papahnya. Setelah aku melihat Heny tak berada didalam mobil. ”Heny ada dirumah, dia sakit. Om antarkan kamu kesekolah ya, nanti om jemput kalau sudah pulang sekolah”. ”Ngga om, biar saya langsung kerumah aja, biar ngga usah masuk sekolah hari ini. Aku ngantuk, tadi malam ngga bisa tidur”. ”Kenapa?” tanya papah Heny. ”Ngga tau, ngga mau tidur aja,” jawabku.
”Oke lah... kalau gitu, saya antarkan Rahma kerumah, nanti biar om yang minta izin dengan sekolah, kamu berdua ngga masuk”. ”Memang bisa om?” tanyaku. ”Apa yang ngga bisa kalau om ini. Guru ditempat kamu berdua sekolah itu semuanya mata diuitan. Tuh biaya les aja, kalau ditempat lain Rp 15 ribu sekali pertemuan, di sekolahmu itu malah Rp 25 ribu per sekali pertemuan,” gerutu papah Heny.
Sampai dirumah Heny, aku langsung masuk. ”Rahma, Heny ada di kamar om,” ucapnya papah Heny. Akupun langsung masuk kekamar papah Heny melihat kondisi Heny, ternyata Heny memang sakit keras, suhu tubuhnya panas sekali.
”Rahma kalau mau makan cari sendiri di kulkas, semua sudah siap, tinggal dipanasin aja. Kalau mau tidur siang, masuk aja ke kamar Heny, jangan kamu ikut tidur dekat Heny entar ketularan sakitnya,” kata papah Heny mengingatkan aku.
Makan sudah, waktunya tidur siang. ”Rahma, om mau keluar dulu. Kamu tinggal dirumah temani Heny”. ”Ya om,” jawanku. Sore itu, sekitar pukul 16.00 WIB, papah Heny pulang. ”Rahma, besokkan hari minggu, Rahma ikut sini aja tidurnya”. ”Boleh om, tapi aku kasih tau dulu ibu,” kataku kepada papah Heny. ”Kau telpon aja ibumu,” kata papah Heny.
Setelah aku ceritakan kondisi Heny, ibu mengijinkan aku menginap di rumah Heny. Betapa senangnya aku saat itu. Dua tahun berteman dengan Heny baru kali pertamanya aku ditawarin menginap dirumah Heny.
Sore itu semakin gelap, jam menunjukan pukul 20.30 Wib. Papah Heny tak kunjung datang. Sebelum aku pindah kamar, aku minta Heny minum obat sebelum tidur. Tak lama setelah minum obat, resep dari dokter, Heny tertidur pulas, akupun pidah kamar.
Karena belum tidur siang, apalagi malam sebelumnya begadang, begitu kepalaku menyentuh bantal langsung tertidur pulas. Tak aku sadari tiba-tiba papah Heny sudah ada disampingku. Jam meja yang tersimpan diatas lemari pakaian Heny menunjukan pukul 12.30 Wib.
Papah Heny sambil bisik-bisik ditelingaku, sambil memijat kaki, lama-lama tangannya naik. Baru aku sadar, saat aku merasakan dadaku dingin, ternyata baju tidur yang aku kenakan terangkat keatas.
Awalnya aku sempat memberontak, tapi lama-kelamaan aku merasakan nikmatnya, lebih nikmat dari pertama kali dipegang tangan oleh papah Heny. Belayan tangan papah Heny membuat seluruh tubuhku terasa bergetar, lama-lama tak aku sadari seluruh pakaian tidur yang membaluti tubuh mungilku terlepas.
”Ahhh...nikmatnya dimalam itu. Meski terasa sakit..aku malah minta lagi,”. Baru tiga ronde, hari sudah pagi. ”Papah” teriak Heny. ”Papah tidur di mana,” tanya Heny kepada papahnya. ” Tidur disopa depan TV,” jawab papahnya. ”Rahma mana,” tanya Heny kepada papahnya. Padahal aku sebenarnya belum tidur.
”Masih tidur dikamarnya. Jangan dingganggu, biar aja dia tidur. Tadi malam dia menunggu Heny sampai papah pulang,” kata papahnya, kepada Heny. Padahal aku sebenarnya belum tidur. ”Baru pertama kali aku nginap dirumah, mahkotaku hilang diterobos rudal-Nya papah Heny, yang aku anggap selama ini sebagai ayahku sendiri”.
Teganya papah Heny menghancurkan masa depanku. Saat pertama kali aku melakukannya, bergejolak amarahku kepada papah Heny. Lama-lama aku kesenangan, apa lagi setiap aku habis melakukan hubungan intim dengan papah Heny, aku selalu diberikan sesuatu. Celana baru, baju baru, dan bahkan uang yang tak sedikit jumlahnya.
Layaknya orang dewasa, setiap ada kesempatan bertemu, aku dan papah Heny selalu menyempatkan melakukannya, terkadang dimobil, saat papah Heny mengantar aku pulang kerumah. Namun akhirnya, hubungan yang tak lajim itu, ketahuan Heny. Hubungan aku dan Heny retak, sekolah tak lagi dijemput.

0 komentar:

Posting Komentar